Persepsi yang Melenceng
Coba renungkan bahwa persepsi manusia sering salah dan melenceng. Saat Anda duduk di bus dalam perjalanan jauh menuju pulang. Penumpang pria sebelah Anda, menunjukkan gelagat mencurigakan. Sering melihat ke kanan ke kiri.
Anda--mungkin saja--berpikir bahwa orang tersebut adalah pelaku kriminal. Sepanjang perjalanan, Anda waspada dan tidak mau lengah. Anda bersikap dingin. Menghindari obrolan lebih jauh. Hanya basa-basi standar yang Anda lakukan. Takut kena hipnotis. Sepanjang perjalanan, yang Anda rasakan hanya kecemasan, ketakutan, dan sekuat tenaga melekat pada barang berharga yang Anda bawa. Semalaman Anda tidak bisa memejamkan mata.
Sepanjang itu pula hidup Anda di dalam bus seolah berada di neraka. Anda telah menciptakannya, dan itu bukan kondisi yang sebenarnya.
Namun, saat pria tersebut akan turun dari bus--setelah sampai di tujuan. Orang tersebut berpamitan dengan santun ke Anda, dan menawarkan untuk singgah di rumahnya. Tidak lupa dirinya memberikan sebungkus kudapan oleh-oleh untuk Anda. Anda tidak bisa menolak, karena pria tersebut langsung memberikan.
Di depan pintu bus, ada ibu dan anak yang menyambut dengan haru. Anda baru sadar bahwa orang tersebut habis merantau jauh. Bekerja--berjuang untuk keluarganya--dan sudah lama tidak bersua keluarga. Kejadian semacam itu sering terjadi pada kita semua, saat menilai orang.
Orang yang Anda curigai adalah orang yang ditunggu kehadirannya dengan cinta oleh keluarga. Anda membuat pengadilan terhadap orang itu di pikiran. Hanya karena orang tersebut terlihat mencurigakan. Anda pengadil yang jahat, karena tidak ada fakta sudah memfonis orang lain sebagai penjahat.
Dari pemikiran model beginilah, kesalahpahaman sering terjadi. Orang menciptakan bibit konflik bukan berdasar sesuatu yang riil tapi oleh pikirannya sendiri. Dari bacaan yang dibaca, dari film komersial yang dilihat, dari informasi media yang terpajan setiap hari. Pikiran diprogram untuk menyimpulkan--dan ternyata salah--dan itu yang sering terjadi.
Kebenaran yang dipercaya bersumber dari sesuatu yang lemah untuk diyakini yakni pikiran. Bagaimana jika Anda adalah kepala pemerintahan. Pemegang otoritas tertinggi yang bisa mengirimkan rudal nuklir dengan perintah "tembakkan". Keadaannya semakin runyam. Maka tidak salah jika perang dimulai di pikiran dan seharusnya diakhiri di pikiran pula.
Berlatih Bijak
Â