Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (2)

4 Juli 2021   06:35 Diperbarui: 6 Juli 2021   12:22 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                               Dok.pribadi                                

Pukul 23.06 WIB, Kereta Api Wijayakusuma tujuan akhir Cilacap memperlambat lajunya. Kereta yang digerakkan Lokomotif CC201/203 ini, sudah menempuh jarak 596 km, diukur dari keberangkatan awal, Stasiun Ketapang, Banyuwangi

Terdengar dari pelantang suara,  kereta  sebentar lagi akan berhenti di Stasiun Tugu, Jogjakarta. Aku berdiri dari tempat duduk, bersiap mengemasi barang bawaan. Sudah  11 jam aku duduk. Rasanya pegal sekali. Padahal, hanya duduk saja, tidak melakukan aktivitas fisik yang melelahkan. Tapi nyatanya aku kelelahan.

"Perjalanan setiap orang berbeda. Dalam makna dan tujuannya. Sebagaimana perjalannku ke Borobudur kali ini. Bagiku, perjalanan ini adalah perjalanan spiritual bukan tamasya hura-hura, piknik asik-asik."

Ada kerinduan yang dalam untuk melihat, menyentuh, dan menghirup momen di Candi Borobudur. Candi yang pernah ditulis di dalam Babad Mataram tahun 1757, di mana diceritakan pangeran Keraton Yogyakarta meninggal dunia setelah megunjungi "Satria dalam kurungan" yang merujuk pada arca Budha dalam stupa di bukit Borobudur. 

Pada waktu itu ada pantangan untuk mengunjungi Borobudur. Tapi pangeran tersebut menerabas pantangan. Setelah pulang, pangeran tersebut sakit, sehari kemudian meninggal.

Borobudur tetap impresif, berselimut misteri dengan arsitektur mengagumkan hingga saat ini. Saat ruang angkasa menjadi medan jelajah manusia. Saat perang sudah tidak lagi menggunakan pedang. Borobudur tetap istiqomah dalam kemisteriusan. Borobudur benar-benar Wonderful Indonesia.

Candi yang membuat orang sekelas Alfred Russel Wallace dan Thomas Stamford Raffles tertegun penuh kekaguman. Bahkan Nieuwenkamp seniman Belanda, tahun 1931 berimajinasi, Borobudur bak setangkai teratai di genangan air. Hipotesa danau Borobudur mencuat dan memicu perdebatan hebat.

Diriku bukan ketiga tokoh legenda itu, diriku hanya bloger Kompasiana yang menang kompetisi dan mendapat kartu hijau untuk mengunjungi Borobudur. Namun, aku meyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Aku menyadari kekagumanku dan ketertarikanku tentang Borobudur sangat kuat. Aku merasakannya. Mungkin karena itu juga aku ditarik oleh daya, sebagaimana Rhonda Byrne sebut "the law of attraction". Duh, berteori lagi!

Pertemuanku nantinya dengan Blogger Kompasiana, Mbak Nurul, Mbak Vicky, Mbak Ratih, Pak Khun, Pak Djulianto, Mbak Tety, Mas Detha, Mbak Riana atau dengan Penggagas Sound Of Borobudur Mbak Trie, Bli Bujana, Bang Vicky, Mas Wibi, Mas Bachtiar, Mas Redy, Mas Supri dan panitia acara Mbak Cilla, Mbak Putri, Mbak Irene, Mbak Yola dan lainnya bukanlah kebetulan belaka, ini terencana dalam kemisteriusan kosmik. Duh, terlalu banyak baca karya H.G Wells.

******

Kereta semakin melambat.  Tangan kiriku meraih ransel, menariknya dari bagasi, tangan satunya menahan agar tidak jatuh. Ku angkat ransel tersebut dan kuposisikan di punggung. Kereta semakin pelan, dan berhenti statis. Ada suara mendesis. Aku melangkah menuju pintu keluar, menurut suara dari pelantang, ada di sebelah kiri posisi laju kereta.

Rasa haus menerjang kerongkongan, selama perjalanan seharian aku hanya minum satu botol air mineral ukuran 500 ml. Aku berhenti di warung stasiun untuk membeli air mineral.  Segera kuputar ke kanan tutup botol tersebut. Ku minum setengahnya sambil berdiri, aku kehausan.

Setelah minum rasanya lebih fresh, lebih cerah melihat lampu stasiun. Mungkin ini hanya perasaanku. Kadang begitu memang perasaan, gampang tidak stabil kalau sedang haus dan lapar. Aku melangkah menuju pintu keluar setasiun. Ada banyak bangku kosong di ruang tunggu.

Aku melihat arloji di tangan, pukul 23.15 WIB. Sebelum berangkat aku punya rencana, yakni bertemu teman SMA yang sekarang bermukim di Jogja. Sudah 20 tahun tidak bersua. Rencananya kami bertemu di Stasiun Tugu ini. 

Namun, manusia hanya mampu berencana, dan kejadiannya selalu lain. Kemarin dirinya mengabariku bahwa kondisinya sakit, dan berencana akan Swab. Akhirnya pertemuan tersebut batal. Dirinya juga bercerita, teman kerjanya baru meninggal karena pagebluk. Duh...

Inilah mengapa perjalanan menerima undangan Sound Of Borobudur ini layak aku tulis. Ini bukan perjalanan wisata; beli tiket, naik kereta, duduk manis melihat lewat jendela kereta, nginap di penginapan, lalu ikut tour sesuai jadwal. Setelah acara selesai tinggal pesen tiket untuk keberangkatan pulang. Bukan semacam itu. 

Butuh keberanian memutuskan berangkat. Ini perjalanan menerabas ketakutan. Perjalanan melawan diri sendiri. Mulai tes genose-19, Swab antigen dan semua itu harus kami jalani. Apakah saat tes swab tidak grogi? grogilah, bagaimana kalau positif!

Undangan tour Sound of Borobudur adalah undangan adu nyali. Ini mungkin perjalanan spiritual. Tanpa tekad yang kuat, tak mungkin diriku malam ini terdampar di Stasiun Tugu. Apa lagi akan menghabiskan malam yang dingin sambil menunggu pagi. Untuk selanjutnya menuju penginapan di Balkondes, Ngargogondo, Magelang.

Handpone ku berbunyi, layar berpendar, tanda ada pesan yang masuk;

            "Selamat malam Pak, benar ini sampai Jogja pukul 23.00?" 

            Chat dari Mbak Cilla, salah satu panitia Sound Of Borobudur.

            "Benar Mbak" jawabku

            "Pak, nginap di mana rencananya?"

            "Nginap di stasiun Mbak, pagi saya ke Ngargogondo" setelah itu komunikasi terjeda sekitar 5 menitan.

            "Gini aja deh Pak, Bapak langsung saja naik Grab, menuju penginapan malam ini"

            "maksud Mbak Cilla, aku boleh check in penginapan malam ini?"

            " Iya Pak, gak apa-apa, dari pada kedinginan di stasiun"

            "Makasih Mbak Cilla" Balasku, ada perasaan lega. Setidaknya satu masalah terurai.

Alhamdulillah pikirku, setidaknya malam ini tidak didekap kedinginan. Ku buka aplikasi Grab, mengisi tempat tujuan, melakukan scan wajah segala. Sudah lima menit saya tunggu  tidak ada respon. 

Aku duduk, meletakkan ransel yang kemungkinan berbobot 5 kg. Ku hempaskan punggungku di kursi tunggu stasiun. Ku buka aplikasi lagi, ku tunggu 5 menit tidak ada reaksi balik. Dalam situasi semacam itu, ku letakkan HP. Aku meminum air mineral yang tersisa. Kulihat ada dua anak muda mudi yang berada dekat situ, berdiri sambil sibuk dengan Hp nya masing-masing.

"Maaf Mas, boleh nanya. Saya pesan taksi lewat Grab, kok gak bisa ya!" 

dua anak manusia itu melihatku, dirinya sepertinya juga melakukan hal yang sama, pesan Grab.

"Maaf mas, saya juga pesan Grab ini, juga belum bisa"

" ohh ya, makasih Mas" Jawabku.

Aku kembali ke tempat duduk. Kalau kepepet, akan ku gunakan jasa taksi konvensional dan pastinya akan lebih mahal dibanding pakai aplikasi.

"Mas, saya sudah bisa ini"  Teriak anak muda mendekatiku.

dia tunjukkan pesanannya direspon. Aku dipandu untuk mengisi dari awal lagi. Tak lama kemudian, ada panggilan dari driver Grab, mengklarifikasi nama dan posisiku.

Saya mengucapkan terima kasih, dia memperkenalkan diri namanya, Budi.

Aku berdiri di tepi jalan seberang Hotel Unisi, dari depan ada mobil Daihatsu Sigra warna perak AA 9261 TD. Setelah dekat drivernya menyapa

 " Pak Agus ya?" 

" Iya Pak" Jawabku

Mobil berhenti, dan drivernya keluar untuk membuka pintu. Sebuah penghormatan buatku dibukakan pintu. Jadi teringat delegasi RI waktu lawatan ke luar negeri. Ah, ngacau pikiranku. hehe

Aku segera masuk, menghembaskan ransel dan juga tubuhku di jok mobil yang terasa nyaman.  Arlojiku menunjukkan pukul 23.35. Kendaraan melaju ke Ngargogondo, Magelang.

*******

Tidak terasa kendaraan sampai di pelataran Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo tepat pukul 00.57. Aku buka pintu mobil, kuserahkan ongkos 196.000, dan aku bilang terima kasih banyak atas layanannya yang sangat baik.

Ku lihat sekeliling Balkondes, Ngargogondo ini. Aku langsung betah dengan suasana khas Jawa. Aku menghirup hawa dingin, tubuhku menggigil. Jaketku dengan mudah ditembus hawa Lembah Menoreh. Aku masuk ke pendopo penginapan, lalu duduk dan mengeluarkan handphone, ada chat dari Mbak Cilla

 "Kalau sampai kabari Pak ya" chat yang belum ku balas sejak sejam lalu.

"Mbak, saya sudah di Ngargogondo, tapi sepi gak ada orang"

"Bentar Pak, saya hubungi petugasnya" tak lama ada chat dari mbak Cilla, mengirimi nomor pihak berwenang di Ngargogondo. Nomor itu saya hubungi, namun tidak nyambung. Saya chat masih centang satu.

"Mbak, orangnya tidak bisa dihubungi, mungkin ketiduran Mbak ya" 

Saya berdiri, memeriksa ke dalam. Namun tidak ada orang. Akhirnya, ku angkat ransel aku mencari Mushollah, aku akan tidur di Mushollah.

Ku buka tas, ku ambil sarung, aku bersiap untuk tidur. Sengaja ku matikan lampu Mushollah biar lebih nyaman tidurnya. Ku rebahkan tubuhku di alas kayu lantai mushollah, hawa dingin menerjang di sela-sela sarung yang saya gunakan menutup wajah. Suara belalang hijau, seperti jangkrik, nyaring terdengar.

Aku bangkit lagi, membuka ransel, mengambil tolak angin, segera ku minum. Aku tidak kuat dengan hawa dingin, takut tubuhku ngedrop, bisa pilek dan pastinya membuat kacau suasana. Pada saat pagebluk ini, pilek menjadi objek perhatian banyak kalangan. Jangan coba-coba batuk di kendaraan, seluruh mata penumpang seolah melemparmu hidup-hidup keluar.

Besok, sesuai jadwal akan ada tes swab, takut sekali kalau tubuh ngedrop dan aahhh sudahlah! Mengerikan dibayangkan.

Dari arah utara, lecutan kilat susul menyusul. Suara gluduk terdengar jauh bersahutan. Akan ada hujan deras pikirku. Saat itu pun sudah gerimis. Pastinya saya semalaman akan ditemani kedinginan.

Ku rebahkan lagi tubuhku, mataku melihat langit-langit Mushollah, lamat-lamat semakin kabur dan sebentar saja aku sudah tertidur. Namun, mataku segera melek lagi ada suara mobil dan diikuti suara langkah menuju Mushollah, aku menoleh sambil rebahan. Ohh bener ada orang yang datang.

"Pak Agus ya? tanya orang itu.

"Iya Mas" jawabku.

"Ayo Pak, kita cari Home Stay lainnya untuk malam ini"

Beliau adalah Mas Wibisono salah satu panitia yang akan mendampingi kami selama tour di Borobudur dan sekitarnya. Ku kemasi tas dan sarung yang sempat ku keluarkan. Aku masuk ke mobil Mas Wibi, yang ternyata ada Mas Arif sebagai drivernya. 

Kami menuju penginapan Watu Agung di depan pintu masuk area Candi Borobudur. Gerimis turun, dengan konstan saat aku keluar dari mobil. Aku berterima kasih kepada Mbak Cilla, yang juga belum tidur sampai pukul 02.00 dini hari. 

Ku ucapkan terima kasih juga untuk Mas Wibi dan Mas Arif yang dengan sigapnya mengungsikan diriku dari kutub utara ke area tropis yang hangat, Penginapan Watu Agung.

Setelah sikat gigi, cuci muka dan berganti celana pendek aku meghempaskan--bener-bener kuhempaskan--ke kasur empuk penginapan. Oh, betapa nyamannya bisa rebahan! waktu menunjukkan pukul 02.15 WIB.

Borobudur, aku memenuhi pangilanmu.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun