Mohon tunggu...
Agus Salim Jombang
Agus Salim Jombang Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Hadir untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengawal Pesta Demokrasi "Don't be Crazy"

20 April 2019   06:26 Diperbarui: 23 April 2019   06:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilu telah berlalu, jangan berlagu pilu

Mari menata hati, pikiran, dan laku

Rela menunggu hasil real count KPU

Sebagai lembaga negara penyelenggara Pemilu

Pemilu Capres-Cawapres, DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II telah berlalu tanggal 17 April 2019. Alhamdulillah pesta demokrasi yang dikuti oleh 20 partai yang terdiri dari 16 partai nasional dan 4 partai lokal berjalan lancar dan sukses. 

Tentu itu merupakan hasil perjuangan bersama seluruh fihak yang terlibat menyelenggara pemilu mulai dari KPU Pusat, KPUD di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, PPK ditingkat Kecamatan, PPS ditingkat desa, dan KPPS sebagai ujung tombaknya di TPS-TPS seantero negeri tercinta.

Tentu pahlawan demokrasi patut disandangkan kepada seluruh fihak yang membantu  penyelenggaraan pesta demokrasi, terutama kepada KPPS-KPPS di daerah terpencil dan terluar di negeri tercinta ini ~dan itu sudah dimuat beritanya serta menjadi tajuk berita disebuah media televisi. Indonesia layak bergelar kampium demokrasi, sebab walau pesta demokrasi diikuti oleh multi partai, namun dapat berjalan dengan lancar dan damai.

Menilik sejarah pesta demokrasi di Indonesia yang diikuti multi partai begitu terasa, sebab negeri ini memiliki beragam potensi dan alhamdulillah rukun dan damai terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika. 

Lihatlah jumlah peserta pemilu dari tahun ke tahun: tahun 1955 lebih dari 40 partai dan akhirnya difusikan menjadi 3 partai pada masa orde baru, maka setelah reformasi tahun 1998 ditahun 1999 ada 48 partai, tahun 2004 ada 24 partai, tahun 2009 menjadi 38 partai, tahun 2014 ada 12 partai, dan tahun 2019 menjadi 20 partai kembali. 

Naik turunnya peserta pesta demokrasi merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasinya di bidang politik dan itu sah menurut undang-undang.

Namun menurut hemat kami sejak diperlakukannya sistem bahwa caleg yang jumlah pemilihnya terbanyak dialah yang akan menjadi wakil legislatif dari partai, maka ada perubahan besar kembali, yaitu dari multi partai menjadi bias pribadi. 

Kenapa? Sebab dalam realitasnya para caleg akan berjuang mati-matian agar bisa duduk menjadi anggota legislatif di DPRD atau DPR RI dengan caranya masing-masing, bahkan terkadang hanya menyuarakan kepentingan dirinya, bukan menyuarakan partai visi misi partai pengusungnya.

Artinya sang caleg bukan lagi menunjukkan wakil dari partai ~sementara kita sama-samaa mengetahui, bukankah Presiden saja bisa diklaim sebagai utusan partai~ tetapi tampil menenujukkan sebagai pribadi yang memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dan ini sudah menjadi rahasia umum dan menurut hemat kami inilah biang keroknya sumber terjadinya money politic. 

Sebab politik uang semakin tumbuh subur bak jamur tumbuh di musim penghujan. Kenapa? Sebab masing-masing pribadi rela memberikan sejumlah uang kepada masyarakat agar ia dipilihnya. 

Dan budaya itu masih terasa hidup di masyarakat, bahwa siapa yang memberi ~politik transaksional begitu terasa~, maka ia akan dipilih. Sementara kami merasakan, bahwa literasi politik masyarakat masih jauh untuk dikatakan memadai.

Oleh karena itu jika sistem dan budaya itu terus dibudayakan dan dikembangkan, maka budaya korupsi pun akan semakin terasa, sebab kita sendiri yang menumbuhkembangkan dan memeliharanya. Ibaratnya kita memelihara anak harimau. Sehingga saat harimau itu besar dan lapar, maka kita akan dilahabnya pula. 

Bukankah harimau itu termasuk binatang karnivora? Bukankah legislatif ~dan kita manusia~ termasuk jenis omnivora? Sehingga dampaknya akan lebih luas dan masif jika legislatif yang terpilih mengeluarkan ongkos demokrasi yang tinggi, maka jangan salahkan jika mereka akan mencari uang penggantinya dengan berdiam diri ketika menelorkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Sebagai contoh kongritnya saat kenaikan harga dalam beberapa tahun yang lalu, tidak ada suara anggota dewan atau suara fraksi yang menyuarakan aspirasi raktyat yang terlilit harga yang semakin membumbung tinggi. 

Kenapa? Mungkin para caleg yang kita pilih sedang berupaya mengembalikan uangnya yang melayang, bukankah ada adagium nothing free to lunch, tidak ada makan siang gratis ~demikianlah istilah dari sananya. 

Padahal kita sangat memerlukan untuk menyuara aspirasi kita dan itu telah dijual dengan harga yang sedikit. Ibarat sembelit yang sulit untuk dikeluarkan, maka akibatnya kita akan sakit. Lalu kapan kita bangkit? Menggurai benang kusut ini memang sulit, namun berati tidak bisa. Indonesia bisa!

Pesta demokrasi don,t crazy! 

Di tenggah maraknya budaya yang permisif, dimana budaya ada uang abang sayang digadang-dagang, pembagi uang disebut pejuang, bahkan dikemas dengan istilah religius: sedekah politik. Jika dalam adagium agama ada istilah as-shadaqatu tadlfal bala', bahwa sedekah itu menolak bencana. Maka politikus memelintirnya dengan an-nuquudu tarfal ashwaat, uang mengangkat suara. Nadzubillahi min dzalik!

Dampak dari budaya tersubut adalah para pemilih akan menyalurkan suaranya kepada para caleg pemberi uang dan itu sudah menjadi rahasia umum. Jika demikian kondisinya dan kita melakukan pembiaran secara struktural dan kultural, maka tunggulah kehancurannya. 

Namun jika kita secara bersama-sama menghendaki perbaikan setidaknya ada empat hal yang harus kita upayakan sebagai ikhtiyar kebangsaan demi masa depan bangsa dan negara kita untuk keberlangsungan kehidupan anak-cucu kita, penerus estafet kita.

Pertama: kembalikan  bahwa caleg itu wakil atau representasi dari partai pengusungnya, bukan orang yang memiliki kepentingan pribadi. Namun ia berjuang atas nama partai untuk membangun negeri ini. Artinya hapus perundang-undangan, bahwa caleg dengan suara terbanyaklah yang menjadi wakil partai. 

Kenapa? Sebab itulah sumber utama maraknya politik uang. Jika kita biarkan, maka akan menumbangkan nama negeri, bahkan negeri kita yang seyogyanya patut mendapat gelar kampium demokrasi, menjadi bergelar kampium demo crazy.

Oleh karena itu kembalikan, bahwa nomer urut caleg itu merupakan urutan wakil kita yang yang telah digodok sebagai kader terbaik partai yang akan duduk di dewan legislatif untuk menyuarakan suara pemilihnya, suara rakyat yang sudi menitipkan aspirasinya melalui partai, sebab tidak mungkin kita melaksanakan demokrasi langsung di negeri yang luas dan beragam ini, kecuali untuk pemilihan presiden dan wakil presiden sebagaimana pada tiga periode Pilpres terakhir ini. 

Alhamdulillah sukses, namun salah satu peran MPR untuk memilih dan menetapkan presiden dan wakilnya menjadi hilang. Itulah amandemen hasil pemikiran wakil rakyat kita?

Kedua: kami sangat sepakat dengan adanya perundang-undangan ambang batas parlemen dan wajib ditegakkan setegak-tegaknya. Artinya jika suatu partai sudah kalah bertanding, maka para elit politiknya seyogyanya tahu diri dan sadar diri agar tidak membuat partai baru, namun berfusilah dengan partai yang sevisi dan semisi. Menurut hemat kami jangan cemari dengan bias pribadi untuk membangun negeri tercinta ini.

Ketiga: hadirkanlah peran KPU yang transparan dan akuntabitas. Oleh karena itu, maka negera harus menghadirkan saksi partai, jangan hanya Panwaslu semata yang bekerja untuk mengawasi kinerga KPU. Jika bisa seluruh saksi partai harus hadir mulai dari TPS-TPS, PPS-PPS, PPK-PPK, hingga KPU semuanya dibiayai negara. 

Hal itu sebagai konsekwensi dari sitem multi partai yang kita sepakati. Dengan demikian, jika sebuah partai sudah tidak bisa mencapai ambang batas parlemen, maka negara harus tegas untuk memaksanya berfusi dengan partai yang sevisi dan semisi, jangan beri kesempatan berevolusi. 

Dan elit partai juga harus ikhlas dan tahu diri, bahwa jualan idenya sudah tidak laku dan jangan terus belagu dengan mengemas partai gaya baru. Tentu ini sebuah ide yang mungkin akan menjadikan kita hidup akan lebih bermartabat.

Keempat: buang dan jauhkan quick count menjadi real count. Secara ilmiah sebenarnya quick count yang dilakukan oleh lembaga independen boleh adanya, namun jika meracuni demokrasi dengan opininya, bahwa paslon tertentu menang dan lainnya kalah. Lalu itu dianggap mutlak adanya, maka akan lebih indahnya jika kita tunduk dan menunggu pada real account yang dilakukan oleh KPU. 

Namun syaratnya KPU harus transparan dalam mengawal pesta demokrasi kita. Artinya panwaslu dan saksi partai sebagaimana pada point ketiga di atas turut hadir mengawal suara rakyat.

Jika PPS bekerja dan memasukkan hasil pencoblosan dari TPS-TPS dengan diawasi oleh panwas dan saksi-saksi dari setiap TPS, kemudian mengirim hasilnya ke PPK. Jika PPK bekerja dan memasukkan hasil perolehan suara dari PPS-PPS dengan diawasi oleh panwas dan saksi partai tingkat desa, demikian seterusnya sampai ke KPUD hingga KPU Pusat sehingga suara itu aman dan transparan.

Jika langkah itu sudah ditempuh dan dilaksanakan sebaik mungkin, namun kita masih tidak percaya terhadap kinerga anak bangsa sendiri, maka kita telah kehilangan harga diri. Semoga demokrasi yang kita anut belum bermetamosfosis menjadi democrazy! @GUSSIM99.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun