Mohon tunggu...
Agus Salim Jombang
Agus Salim Jombang Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Hadir untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengawal Pesta Demokrasi "Don't be Crazy"

20 April 2019   06:26 Diperbarui: 23 April 2019   06:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenapa? Sebab dalam realitasnya para caleg akan berjuang mati-matian agar bisa duduk menjadi anggota legislatif di DPRD atau DPR RI dengan caranya masing-masing, bahkan terkadang hanya menyuarakan kepentingan dirinya, bukan menyuarakan partai visi misi partai pengusungnya.

Artinya sang caleg bukan lagi menunjukkan wakil dari partai ~sementara kita sama-samaa mengetahui, bukankah Presiden saja bisa diklaim sebagai utusan partai~ tetapi tampil menenujukkan sebagai pribadi yang memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dan ini sudah menjadi rahasia umum dan menurut hemat kami inilah biang keroknya sumber terjadinya money politic. 

Sebab politik uang semakin tumbuh subur bak jamur tumbuh di musim penghujan. Kenapa? Sebab masing-masing pribadi rela memberikan sejumlah uang kepada masyarakat agar ia dipilihnya. 

Dan budaya itu masih terasa hidup di masyarakat, bahwa siapa yang memberi ~politik transaksional begitu terasa~, maka ia akan dipilih. Sementara kami merasakan, bahwa literasi politik masyarakat masih jauh untuk dikatakan memadai.

Oleh karena itu jika sistem dan budaya itu terus dibudayakan dan dikembangkan, maka budaya korupsi pun akan semakin terasa, sebab kita sendiri yang menumbuhkembangkan dan memeliharanya. Ibaratnya kita memelihara anak harimau. Sehingga saat harimau itu besar dan lapar, maka kita akan dilahabnya pula. 

Bukankah harimau itu termasuk binatang karnivora? Bukankah legislatif ~dan kita manusia~ termasuk jenis omnivora? Sehingga dampaknya akan lebih luas dan masif jika legislatif yang terpilih mengeluarkan ongkos demokrasi yang tinggi, maka jangan salahkan jika mereka akan mencari uang penggantinya dengan berdiam diri ketika menelorkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Sebagai contoh kongritnya saat kenaikan harga dalam beberapa tahun yang lalu, tidak ada suara anggota dewan atau suara fraksi yang menyuarakan aspirasi raktyat yang terlilit harga yang semakin membumbung tinggi. 

Kenapa? Mungkin para caleg yang kita pilih sedang berupaya mengembalikan uangnya yang melayang, bukankah ada adagium nothing free to lunch, tidak ada makan siang gratis ~demikianlah istilah dari sananya. 

Padahal kita sangat memerlukan untuk menyuara aspirasi kita dan itu telah dijual dengan harga yang sedikit. Ibarat sembelit yang sulit untuk dikeluarkan, maka akibatnya kita akan sakit. Lalu kapan kita bangkit? Menggurai benang kusut ini memang sulit, namun berati tidak bisa. Indonesia bisa!

Pesta demokrasi don,t crazy! 

Di tenggah maraknya budaya yang permisif, dimana budaya ada uang abang sayang digadang-dagang, pembagi uang disebut pejuang, bahkan dikemas dengan istilah religius: sedekah politik. Jika dalam adagium agama ada istilah as-shadaqatu tadlfal bala', bahwa sedekah itu menolak bencana. Maka politikus memelintirnya dengan an-nuquudu tarfal ashwaat, uang mengangkat suara. Nadzubillahi min dzalik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun