Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Gawai dan Kekerasan: Apakah Pernah Menjalin Kisah Cinta?

29 Mei 2020   19:45 Diperbarui: 29 Mei 2020   19:46 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Bermain Gawai (Sumber foto: https://www.mediaindonesia.com)

Berita kekerasan rasanya sekarang sudah acapkali wara-wiri di berbagai platform media yang tersedia. Bukan hanya melalui media televisi dan radio saja, tetapi juga bisa tersampaikan melalui gawai yang kini mudah dimiliki dan diakses oleh siapa saja.

Kekerasan yang diberitakan tidak hanya melibatkan sektor rumah tangga, perseorangan, atau kelompok tertentu saja. Namun juga tentang kekerasan yang melibatkan mahasiswa atau pelajar di dalamnya. Bahkan tidak sedikit yang kemudian harus menjalani proses hukumkarena berurusan dengan pihak berwajib maupun pihak pengadilan.

Pada 28 Mei 2020, kompas.com merilis berita yang mengulas kasus "polisi terbakar" dan penjatuhan vonis terhadap 5 orang mahasiswa dengan hukuman penjara. Kasus yang disidangkan di PN (Pengadilan Negeri) Cianjur tersebut mengungkap hal ikhwal sebab-musabab yang menyebabkan beberapa polisi terbakar.

Empat orang anggota polisi dalam insiden itu mengalami luka bakar saat pengamanan aksi unjuk rasa gabungan elemen mahasiswa di depan gerbang Pendopo Bupati Cianjur, Kamis, 15 Agustus 2019 silam.

Salah satu korban, yakni Ipda Erwin Yudha Wildani, meninggal setelah menjalani perawatan intensif di RS Pusat Pertamina, Jakarta, selama 11 hari. Petugas Bhabinkamtibmas itu mengalami luka bakar mencapai 70 persen. Sedangkan tiga korban lainnya harus menjalani perawatan intensif di RS Hasan Sadikin Bandung, akibat luka bakar mencapai 40 persen.

Kejadian naas tersebut dipicu oleh aksi unjuk rasa anarkis di depan Pendopo Bupati Cianjur. Empat orang mahasiswa dijatuhi hukuman 9 tahun penjara, dan 1 orang lainnya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Putusan yang dijatuhkan melalui sarana virtual tersebut dipandang lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, dimana 3 orang sebelumnya dituntut 13 tahun penjara, dan sisanya dituntut 15 tahun penjara.

Kelima orang mahasiswa tersebut rata-rata berusia antara 19 hingga 22 tahun. Usia muda yang tentu masih sangat produktif. Jika yang berusia paling muda saja harus mendekam selama 9 tahun di ruang jeruji, maka saat keluar nanti usianya sudah menjadi 28 tahun. Bayangkan jika yang berusia paling tua harus menjalani hukuman dibalik jeruji besi selama 12 tahun, maka saat dia keluar penjara akan berusia 34 tahun.

Membaca pemberitaan ini, saya merasa miris dan merenung dalam balutan aneka pertanyaan yang berkecamuk di kepala saya. Mengapa kejadian anarkis itu terjadi? Apa yang menjadi pemicunya? Siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab?

Kekerasan oleh Mahasiswa dan Pelajar: Ini Serius?

Berita di atas tentu bukan satu-satunya berita yang mengulas perihal kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun pelajar di negeri ini. Pada 28 September 2019, kompas.com juga menerbitkan tulisan yang mengulas fakta anarki pelajar saat demo mahasiswa dan mencoba mencari tahu pihak mana yang patut dipersalahkan.

Dalam analisa fakta tersebut diungkapkan bahwa dari beberapa kejadian demo mahasiswa di  sejumlah daerah yang berakhir dengan bentrok dan tindakan anarkis, ternyata ada ratusan pelajar yang terlibat di dalamnya dan ditangkap saat kejadian berlangsung.

Bahkan di Medan, polisi menemukan "2 bom molotov" dalam sebuah tas yang dibawa oleh seorang siswa yang ikut demo. Beberapa siswa yang tertangkap mengaku "tak takut" meski harus menerima sanksi dari guru-gurunya di sekolah akibat ikut serta berdemonstrasi.

Dalam situasi ini, Dinas Pendidikan dan sekolah akhirnya "menuai kritik" dari berbagai pihak. Apa yang sebenarnya terjadi dengan para siswa tersebut, sehingga kemudian termotivasi dan mau melibatkan diri dalam berbagai aksi demo tersebut.

Menurut Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si, banyaknya pelajar berseragam yang ikut demo, bahkan sampai siswa sekolah dasar ikut berdemo, disebabkan oleh dorongan dalam diri mereka untuk menunjukkan "eksistensi diri". Drajat menyoroti fenomena tersebut sebagai akibat adanya "kelemahan" pada sistem pendidikan di Tanah Air.

Lebih lanjut Drajat berkomentar, seharusnya pihak sekolah adalah pihak yang "paling" bertanggung jawab terhadap "perilaku menyimpang" siswanya yang mengarah kepada tindakan anarkis. Kementerian Pendidikan maupun sekolah tidak cukup hanya menyampaikan larangan dan imbauan, tetapi harus menyediakan pendidikan berdemokrasi sejak dini, sehingga siswa nantinya dapat menyalurkan aspirasi dan sikap politiknya secara damai dan benar.

Menurut hemat saya pribadi, apa yang dikemukakan di atas tidak sepenuhnya benar bila kita perbandingkan fakta dan kenyataan di lapangan.

Mari kita renungkan bersama, seorang mahasiswa per semester maksimal mengambil jadwal kuliah sebanyak 24 SKS untuk Program Sarjana (S-1), dengan total 145 SKS hingga lulus menjadi sarjana. Jika 1 semester sama dengan 6 bulan, maka dalam sebulannya terdapat 4 SKS yang harus diselesaikan. Satu SKS biasanya berdurasi 3 sampai 5 jam pelajaran.

Sedangkan untuk mereka yang duduk di bangku sekolah menengah, per hari siswa masuk rata-rata 7 jam untuk yang bersekolah Senin sampai Sabtu. Untuk yang mengalami full day school, dari Senin sampai Jumat, rata-rata siswa akan bersekolah selama 8 sampai 9 jam per harinya.

Berdasarkan perhitungan di atas, maka seorang mahasiswa maupun siswa akan mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berada di luar sekolah atau kampus. Entah itu berada di rumah, bersama teman-temannya, atau di luar rumah.

Kebiasaan Misuh dan Kecanduan Gawai: Salah Siapa?

Menurut saya, peran orang tua "tidak dapat disangkal" memiliki persentase pengaruh terbesar terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya; entah yang masih tercatat sebagai pelajar atau pun mahasiswa. Sudah menjadi rahasia umum, bila seorang pelajar atau mahasiswa mempunyai kebiasaan misuh-misuh (memaki dengan bahasa verbal kasar), sudah bisa diduga orang tuanya di rumah pun punya kebiasaan serupa.

Jika si pelajar atau mahasiswa itu "lebih memilih" kekerasan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya, bisa ditebak orang tuanya pun sebagian juga memiliki karakter atau temperamen yang kerap menjadikan kekerasan sebagai "solusi adil" bagi masalah-masalahnya.

Selain itu lingkungan di sekitar pelajar atau mahasiswa itu juga punya andil untuk membesarkan dan membentuk karakter mereka. Pelajar yang mempunyai kelompok bermain anak-anak yang "alim" biasanya cenderung akan menjadi alim juga. Namun bila kelompok yang diikutinya adalah kelompok anak-anak "berandal", maka biasanya anak tersebut akan ketularan berandal juga.

Itu baru untuk anak yang berstatus pelajar, belum bagi mereka-mereka yang berstatus mahasiswa; tentu sudah bisa kita bayangkan bagaimana dampak lingkungan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan karakter mereka yang notabene tidak suka dikekang dan memuja kebebasan hidup.

Dan di zaman teknologi serba canggih seperti sekarang ini, peranan media sosial melalui "gawai" juga ikut ambil bagian dalam permasalahan yang melibatkan pelajar maupun mahasiswa tersebut.

Menurut data yang dirilis oleh Global Web Index (2019) seperti dikutip bbc.com, disajikan data bahwa rata-rata orang Indonesia berusia 16 -- 24 tahun menghabiskan waktunya selama 195 menit (3 jam 15 menit) untuk mengakses internet per hari. Tahun sebelumnya (2018), waktu yang dihabiskan oleh kelompok usia tersebut untuk online adalah 203 menit (3 jam 23 menit) per hari.

Sejumlah pakar menyatakan bahwa kian lama kita menghabiskan waktu untuk beraktivitas di media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial biasanya "kurang bahagia." Demikian dikemukakan asisten Profesor Sekolah Bisnis Harvard, Ashley Williams. Pada kasus ekstrem, pemakaian media sosial secara berlebihan bisa memicu depresi, kecelakaan, dan bahkan berakhir dengan kematian.

Sementara kita semua tentu tahu bahwa media sosial dapat memuat konten-konten positif maupun negatif. Sebagian pelajar atau mahasiswa bahkan memanfaatkan konten-konten tersebut untuk membentuk "citra dirinya."

Syukur-syukur bila konten yang dijadikan panutan sifatnya positif. Bila yang kerap diakses para pelajar dan mahasiswa tersebut adalah konten negatif, yang diantaranya memuat kekerasan; tentu bisa kita bayangkan bagaimana hasilnya kemudian.

Melalui media sosial di zaman sekarang, kita tidak hanya dimungkinkan untuk membaca aneka tulisan saja; akan tetapi konten yang kita akses dapat berwujud gambar dan video bergerak. Bila konten-konten kekerasan tersebut setiap hari dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa kita, lambat laun akan mengendap di alam bawah sadarnya.

Bukan tidak mungkin, di suatu ketika - bila ada kesempatan atau peristiwa yang menjadi pemicunya, pelajar atau mahasiswa yang telah "terpapar" konten kekerasan itu akan melakukan hal serupa di dunia nyata. Dan ini bisa fatal akibatnya, baik bagi si pelaku atau korban kekerasan itu sendiri!

Satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah keberadaan games (baik offline mauupun online) yang dimainkan oleh anak-anak atau remaja kita. Sebagian dari games tersebut ternyata mengandung adegan kekerasan dan pornografi.

Barangkali tidak semua orang tua yang menyadari ancaman di balik permainan games yang kelihatan mengasikkan ini. Konsep untuk "selalu" menang dengan cara mengalahkan orang lain melalui adegan kekerasan dalam games tersebut, tentu akan berpengaruh terhadap psikologis para pemainnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aneka permainan tradisional dewasa ini sudah sangat jarang sekali dimainkan oleh anak-anak maupun para remaja kita. Misalnya permainan berlari, melompat, dan sejenisnya. Karena bagi anak-anak dan remaja zaman sekarang, bermain games jauh lebih nikmat dan menantang. Apalagi bisa sambil rebahan sembari menikmati cemilan dan minuman kesukaan.

Jadi mari kita sama-sama introspeksi diri. Tidak bijak rasanya jika banyak pihak yang hanya menuding lembaga pendidikan atau Dinas Pendidikan sebagai lembaga yang "paling" bertanggung jawab manakala kekerasan terjadi dan dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa kita.

Dan di saat inilah para orang tua pun bisa mulai berkaca dan melihat kepada diri masing-masing seraya bertanya, "Apakah saya sudah mendidik anak-anak saya dengan baik dan benar selama ini?"

Semoga opini sederhana ini bisa membantu kita semua untuk menjawab pertanyaan singkat yang dikemukakan pada judul tulisan di atas, "Antara Gawai dan Kekerasan: Apakah Pernah Menjalin Kisah Cinta?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun