Selain itu lingkungan di sekitar pelajar atau mahasiswa itu juga punya andil untuk membesarkan dan membentuk karakter mereka. Pelajar yang mempunyai kelompok bermain anak-anak yang "alim" biasanya cenderung akan menjadi alim juga. Namun bila kelompok yang diikutinya adalah kelompok anak-anak "berandal", maka biasanya anak tersebut akan ketularan berandal juga.
Itu baru untuk anak yang berstatus pelajar, belum bagi mereka-mereka yang berstatus mahasiswa; tentu sudah bisa kita bayangkan bagaimana dampak lingkungan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan karakter mereka yang notabene tidak suka dikekang dan memuja kebebasan hidup.
Dan di zaman teknologi serba canggih seperti sekarang ini, peranan media sosial melalui "gawai" juga ikut ambil bagian dalam permasalahan yang melibatkan pelajar maupun mahasiswa tersebut.
Menurut data yang dirilis oleh Global Web Index (2019) seperti dikutip bbc.com, disajikan data bahwa rata-rata orang Indonesia berusia 16 -- 24 tahun menghabiskan waktunya selama 195 menit (3 jam 15 menit) untuk mengakses internet per hari. Tahun sebelumnya (2018), waktu yang dihabiskan oleh kelompok usia tersebut untuk online adalah 203 menit (3 jam 23 menit) per hari.
Sejumlah pakar menyatakan bahwa kian lama kita menghabiskan waktu untuk beraktivitas di media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial biasanya "kurang bahagia." Demikian dikemukakan asisten Profesor Sekolah Bisnis Harvard, Ashley Williams. Pada kasus ekstrem, pemakaian media sosial secara berlebihan bisa memicu depresi, kecelakaan, dan bahkan berakhir dengan kematian.
Sementara kita semua tentu tahu bahwa media sosial dapat memuat konten-konten positif maupun negatif. Sebagian pelajar atau mahasiswa bahkan memanfaatkan konten-konten tersebut untuk membentuk "citra dirinya."
Syukur-syukur bila konten yang dijadikan panutan sifatnya positif. Bila yang kerap diakses para pelajar dan mahasiswa tersebut adalah konten negatif, yang diantaranya memuat kekerasan; tentu bisa kita bayangkan bagaimana hasilnya kemudian.
Melalui media sosial di zaman sekarang, kita tidak hanya dimungkinkan untuk membaca aneka tulisan saja; akan tetapi konten yang kita akses dapat berwujud gambar dan video bergerak. Bila konten-konten kekerasan tersebut setiap hari dikonsumsi oleh para pelajar dan mahasiswa kita, lambat laun akan mengendap di alam bawah sadarnya.
Bukan tidak mungkin, di suatu ketika - bila ada kesempatan atau peristiwa yang menjadi pemicunya, pelajar atau mahasiswa yang telah "terpapar" konten kekerasan itu akan melakukan hal serupa di dunia nyata. Dan ini bisa fatal akibatnya, baik bagi si pelaku atau korban kekerasan itu sendiri!
Satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah keberadaan games (baik offline mauupun online) yang dimainkan oleh anak-anak atau remaja kita. Sebagian dari games tersebut ternyata mengandung adegan kekerasan dan pornografi.
Barangkali tidak semua orang tua yang menyadari ancaman di balik permainan games yang kelihatan mengasikkan ini. Konsep untuk "selalu" menang dengan cara mengalahkan orang lain melalui adegan kekerasan dalam games tersebut, tentu akan berpengaruh terhadap psikologis para pemainnya.