Api yang sulit dikendalikan itu pernah terjadi pada saat peristiwa El Nino pada 1982/1983 dan 1997/1998. Dari sumber bacaan sejumlah publikasi ilmiah, pada 1982/1983 kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia telah menghanguskan areal sekitar 3,6 juta hektare (ha). Kebakaran kembali berulang pada 1997/1998 menghanguskan areal sekitar 10 juta ha (lebih dari dua juta ha adalah lahan gambut).
Berbasis Masyarakat
Wajar jika Marinus serta semua pihak tidak menginginkan bencana kebakaran itu terulang lagi. Apalagi fenomena El Nino tahun ini diprediksi akan berdampak mirip dengan El Nino pada 1982/1983 dan 1997/1998. “Siapa saja yang ketahuan lalai atau sengaja bermain api di dalam hutan akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku,” tegas Marinus.
Selain aktif berpatroli, Marinus bersama aparat pemerintahan di Kalimantan Tengah, beberapa tahun terakhir berusaha melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan. Mereka mereplikasi pendekatan pengelolaan hutan dan lahan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management, CBFM) yang sukses diterapkan di Australia dan Kanada.
Di dua negara tersebut, upaya mengendalikan kebakaran hutan melibatkan peran masyarakat sekitar hutan. Mereka telah membentuk suatu lembaga khusus yang tumbuh dari masyarakat untuk mengatasi kebakaran hutan. Lembaga itu berada di tingkat desa dan kecamatan. Jika terjadi kebakaran, lembaga itu yang mengatasinya dengan sukarela alias tanpa biaya.
Marinus bersama timnya telah membentuk regu kerja di sejumlah wilayah di Kalimantan Tengah. Regu kerja ini bertanggung jawab jika ada kebakaran di sekitar wilayahnya, semisal di Desa Tumbang Nusa dan Desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Nama dari regu bisa bermacam-macam, seperti Masyarakat Peduli Api, Tim Serbu Api, dan sebagainya.