Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memahami Bersatunya Kubu Oposisi dengan Pro-Jokowi dalam Kasus Stafsus Milenial

16 April 2020   09:03 Diperbarui: 16 April 2020   09:14 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bersama staf khusus kepresidenan yang berasal dari kalangan muda yang lazim dikenal sebagai generasi milenial (cnbcindonesia.com).

Kasus misuse kop surat yang dilakukan staf khusus milenial kepresidenan mendadak viral. Awal sekali penulis ketahui soal tersebut dari twitter salah satu tokoh senior nasional yang getol mengkritik Jokowi. Biasa saja sebenarnya, memang behavior beliau sudah demikian adanya.

Tetapi sesuatu yang janggal terjadi kemudian; peristiwa tak lazim yang lebih langka dari penampakkan komet Halley.

Beberapa dedengkot pro Jokowi garis batu seperti Denny Siregar dan penulis Seword pun ternyata mengangkat masalah ini juga. Suaranya sama, menuntut stafsus Andi Taufan Garuda yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut untuk mundur dari jabatan stafsus.

Tak berapa lama berselang, stafsus Adamas Belva Devara ternyata menyusul nongol di media. Ia menyatakan siap mundur meletakkan jabatan setelah start up Ruangguru yang ia dirikan bersama Iman Usman dikuliti massa terkait program kartu Prakerja.

Konfigurasi kepentingan di sekitar istana

Sebelum menginjak tema layak tidaknya stafsus mundur atau dimundurkan/ dipecat, baiknya kita kaji secara seksama bagaimana posisi stafsus milenial dalam pergulatan kepentingan di sekitar ring 01. Hal ini perlu sebagai referensi untuk memahami mengapa persekutuan 'ilegal' antara pro-Jokowi dan anti-Jokowi bisa terjadi.

Seperti kita tahu, sejak Jokowi menang pilpres, di pusaran istana terjadi persaingan sengit beragam kepentingan yang ingin mendapatkan posisi. Selain kursi menteri dan setingkat menteri yang sebagian merupakan jatah partai koalisi (plus Gerindra), Jokowi juga menambah nomenklatur jabatan wamen, wakil menteri. Salah satu relawan kemudian mendapat pos wamen lewat lika liku plot yang tidak kalah serunya  dari drakor, drama Korea.

Tentu tidak semua kepentingan dapat terpenuhi karena gerbong istana terbatas. Bahkan mungkin sebagian besar relawan lain justru hanya bisa nyengir kuda; Tuhan menganugerahi mereka kesempatan mengikuti ujian keikhlasan tingkat mahir.

Bukan berarti bahwa tuntutan mundur pro-Jokowi kepada stafsus itu adalah semata buah dari kecemburuan sosial, tidak selalu begitu. Bagi tokoh pro-Jokowi tertentu mungkin juga melihat bahwa stafsus milenial itu kurang menggigit perannya. Sudah 100 hari lebih belum unjuk kebolehan, belum sepadan dengan gaji bulanan dan fasilitas yang mereka dapatkan.

Lantas, apakah parameter yang menjadi tolok ukur layak tidaknya stafsus mundur atau dimundurkan?

Sebelum menjawabnya, harus kita sepakati dahulu bahwa kasus yang menimpa Andi Taufan dan Adamas Belva itu adalah sesuatu yang berbeda. Tidak bisa disamaratakan.

Skill Academy, salah satu mitra pelatihan kartu Prakerja

Kasus staf Adamas Belva itu duduk perkaranya berikut ini.

Skill Academy, salah satu (dari 8) mitra pelatihan online kartu Prakerja, merupakan  ekstensi dari Ruangguru yang digawangi duet founder Belva dan Iman Usman.

Presiden Jokowi dan Adamas Belva dalam satu dialog di Istana Bogor (kumparan.com).
Presiden Jokowi dan Adamas Belva dalam satu dialog di Istana Bogor (kumparan.com).
Start up ini ikut disorot media terkait tingginya biaya pelatihan yang diselenggarakan oleh platform mitra kartu Prakerja. Sementara, banyak platform sejenis menawarkan harga miring atau bahkan gratis; sebagai contoh youtube dan MOOC luar negeri semacam Harvard atau Coursera. Kepanjangan MOOC yaitu Massive Online Open Course.

Adamas Belva, CEO Ruangguru:

"Jika ada, tentu saya siap mundur dari stafsus saat ini juga. Saya tidak mau menyalahi aturan apapun."

Media kemudian menghubungkan kemitraan Skill Academy dengan status Belva sebagai stafsus presiden, terkait soal anggaran.

Hitungan sederhananya sebagai berikut.

Kuota total 5,6 juta kartu Prakerja masing-masing mengalokasikan Rp 1.000.000 untuk biaya pelatihan. Nilai itu berarti sekitar Rp 5,6 triliun yang jika dibagi 8 mitra berarti masing-masing memperoleh sekitar Rp 700 miliar. Demikian gelondongan hitungan kasar dan tergesa-gesa para pengamat anggaran.

Kenyataannya tidak begitu, pemerintah tidak hanya menyediakan kelas online tetapi juga akan menggelar pelatihan offline ketika kondisi memungkinkan. Saat ini pelatihan tatap muka langsung tidak bisa dilakukan karena wabah corona belum kelar. Sekolah saja bubar masak pemerintah malah menciptakan kerumunan, nanti malah digebuki Satgas Covid-19 dan Satpol PP.

Jadi Rp 700 miliar hasil hitungan tadi masih berupa angin surga. Dengan penambahan kelas offline nanti jumlahnya sudah pasti menyusut. Distribusi 5,6 juta kartu itu sendiri tidak dilakukan sekaligus; ada 30 batch seleksi yang akan berlangsung selama beberapa bulan.

Kemudian mari kita perinci lagi komponen-komponen biaya per item pelatihan.

Misal, kursus Bahasa Arab Rp 300.000 untuk 10 kali pertemuan, maka nilai per sesi jatuhnya Rp 30.000; dan itu tidak semua masuk kantong pemilik platform. Mitra kartu Prakerja seperti Skill Academy punya puluhan hingga ratusan mitra umum sebagai penyedia konten.

Analoginya begini.

Jika Anda bayar ongkos ojol Gojek Rp 10.000, maka uang itu tidak semua masuk dompet Nadiem Makarim. Ada jatah perusahaan untuk iklan, maintenance sistem dan gaji pegawai; ada bagian untuk abang driver; belum lagi potongan pajak dan hak investor. Seperti itulah kira-kira  proses penjatahannya.

Jangan lupakan pula faktor kompetisi.

Di kalangan sesama mitra penyedia konten terjadi persaingan, tema macam apa yang diminati para pemegang kartu Prakerja. Lalu pada level platform, persaingan menggaet pelanggan juga pasti terjadi antar penyelenggara. Mitra yang pelayanannya jelek bisa tersungkur dihajar rating bintang 1 oleh customer jika materi pelatihan yang diberikan tidak sesuai harapan.

Pengalaman penulis mengikuti pelatihan online di beberapa platform (bukan kartu Prakerja), biayanya memang pada kisaran tadi. Bisa dianggap tinggi karena mungkin peminat masih sedikit sementara ongkos yang dikeluarkan penyelenggara belum balik modal.

Sebagai pembanding, walau mungkin kurang pas. Biaya bimbingan belajar sekolah offline SD hingga SMA itu bisa mencapai belasan juta hingga puluhan juta rupiah; jangka waktunya 1 tahun atau paling singkat 1 bulan. Biaya bimbingan persiapan khusus menjelang tes masuk PTN favorit bisa mencapai lebih dari Rp 50 juta, padahal durasinya hanya sekitar 1 bulan saja.

Lalu benarkah ada platform pelatihan yang dibilang gratis oleh para pengamat itu? Mari kita cek bersama.

MOOC Harvard  atau apa pun yang sejenis, mereka tidak sepenuhnya free. Biaya tertentu untuk fasilitas yang lebih lengkap tetap dipungut, misalnya untuk sertifikasi. Atau, bisa saja gratis dalam versi trial dengan waktu terbatas 30 hari, untuk selanjutnya bayar.

Untuk platform gratis seperti youtube, tetap harus kita sadari bahwa pelatihan lewat platform ini juga punya kekurangan yang cukup mendasar.

Youtube secara umum tidak menyediakan tim untuk mengkurasi kualitas konten (selain tombol like atau dislike). Seburuk apa pun konten dapat tayang di platform tersebut selama tidak melanggar ketentuan, penontonlah yang menjadi hakimnya. Youtube juga tidak menyediakan sertifikat dan paket pelatihan yang disajikan pemilik kanal juga belum tentu lengkap dan tuntas.

Kembali ke Skill Academy yang jadi mitra kartu Prakerja.

Barangkali gerah karena tidak merasa penunjukkan kemitraan itu hasil kongkalikong maka Adamas Belva pun akhirnya angkat bicara. Salah satu pembelaannya adalah, tidak satu pun rapat pengambilan keputusan terkait kartu Prakerja melibatkan kehadiran dirinya. Namun demikian Belva siap mundur dari stafsus presiden jalur milenial jika memang penunjukkan kemitraan itu mengandung cacat etis atau administrasi (kompas.com, 15/04/2020).

Kasus kop surat yang tertukar

Andi Taufan pemilik PT Amartha punya problem yang lebih berat, ia salah pakai kop surat secara fungsional dan struktural.

Secara fungsional Andi dianggap tidak berhak menggunakan kop surat resmi Sekretariat Kabinet. Secara struktural pemilik start up Amartha ini dianggap offside dengan langsung mengirim surat setingkat pemerintahan pusat kepada pejabat di bawah kepala daerah tingkat II yaitu camat.

Staf khusus Andi Taufan Garuda Putra dan surat berkop Sekretariat Kabinet yang ramai diperbincangkan (makassar.tribunnews.com).
Staf khusus Andi Taufan Garuda Putra dan surat berkop Sekretariat Kabinet yang ramai diperbincangkan (makassar.tribunnews.com).
Sisi baiknya, konteks surat itu adalah terkait bantuan Amartha yang bekerja sama dengan Kemendes dalam hal penanganan wabah Covid-19. Semacam pengantar yang ditujukan kepada camat di Indonesia agar membantu kelancaran  operasional di lapangan. Program bantuan yang diberikan berupa edukasi terkait pandemi corona dan pendataan kebutuhan APD Puskesmas di daerah.

Andi Taufan Garuda, stafsus dan pemilik Amartha:

"Perlu saya sampaikan bahwa surat tersebut bersifat pemberitahuan dukungan kepada Program Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi."

Semangatnya mungkin adalah shortcut birokrasi; karena lewat pintu depan terlalu jauh, stafsus Andi nekat lompat lewat jendela. Memang cepat tetapi secara etis hal itu mudah sekali digoreng sebagai kasus abuse of power. Mantan wakil ketua KPK, Laode M Syarif, langsung mengingatkan ancaman 20 tahun penjara (tribunnews.com, 14/04/2020).

Bos stafsus yaitu Kepala KSP Donny Gahral juga mengatakan bahwa Andi Taufan sudah mendapat teguran keras. Tetapi pemecatan stafsus bukan menjadi wilayah KSP karena hal itu sudah masuk ranah hak prerogatif presiden.

Persoalan Andi Taufan sebagai pemilik Amartha untuk mundur atau dimundurkan punya dua sisi yang berbeda. Mundur hanya bisa dilakukan atas inisiatif Andi Taufan sendiri; sedang kalau dimundurkan berarti harus melibatkan penilaian Jokowi sendiri.

Publik tidak akan paham anatomi kasus kop surat tersebut kecuali apa yang tersaji dari media.

Bagi stafsus Andi sebagai subjek pelaku, pertimbangan hati nurani adalah yang utama; sejauh manakah ia mengukur interest yang ada pada dirinya ketika menggunakan kop surat Setkab. Sementara bagi Jokowi tentu lebih mudah lagi, ia bisa menilai letak kekeliruan administrasi itu ada pada siapa; apakah memang maladministrasi itu terjadi karena kesembronoan Andi ataukah karena faktor lain.

Seharusnya menjadi persoalan juga di luar kasus Skill Academy dan kop surat Setkab, bagaimana kontribusi stafsus milenial yang lain dalam membantu program-program pemerintah.

Fokus Jokowi hari-hari ini adalah penanganan pandemi corona, soal administrasi ia lebih tahu seperti apa prioritasnya termasuk juga gambaran besar struktur stafsus milenial dalam pemerintahannya.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun