Barangkali gerah karena tidak merasa penunjukkan kemitraan itu hasil kongkalikong maka Adamas Belva pun akhirnya angkat bicara. Salah satu pembelaannya adalah, tidak satu pun rapat pengambilan keputusan terkait kartu Prakerja melibatkan kehadiran dirinya. Namun demikian Belva siap mundur dari stafsus presiden jalur milenial jika memang penunjukkan kemitraan itu mengandung cacat etis atau administrasi (kompas.com, 15/04/2020).
Kasus kop surat yang tertukar
Andi Taufan pemilik PT Amartha punya problem yang lebih berat, ia salah pakai kop surat secara fungsional dan struktural.
Secara fungsional Andi dianggap tidak berhak menggunakan kop surat resmi Sekretariat Kabinet. Secara struktural pemilik start up Amartha ini dianggap offside dengan langsung mengirim surat setingkat pemerintahan pusat kepada pejabat di bawah kepala daerah tingkat II yaitu camat.
Andi Taufan Garuda, stafsus dan pemilik Amartha:
"Perlu saya sampaikan bahwa surat tersebut bersifat pemberitahuan dukungan kepada Program Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi."
Semangatnya mungkin adalah shortcut birokrasi; karena lewat pintu depan terlalu jauh, stafsus Andi nekat lompat lewat jendela. Memang cepat tetapi secara etis hal itu mudah sekali digoreng sebagai kasus abuse of power. Mantan wakil ketua KPK, Laode M Syarif, langsung mengingatkan ancaman 20 tahun penjara (tribunnews.com, 14/04/2020).
Bos stafsus yaitu Kepala KSP Donny Gahral juga mengatakan bahwa Andi Taufan sudah mendapat teguran keras. Tetapi pemecatan stafsus bukan menjadi wilayah KSP karena hal itu sudah masuk ranah hak prerogatif presiden.
Persoalan Andi Taufan sebagai pemilik Amartha untuk mundur atau dimundurkan punya dua sisi yang berbeda. Mundur hanya bisa dilakukan atas inisiatif Andi Taufan sendiri; sedang kalau dimundurkan berarti harus melibatkan penilaian Jokowi sendiri.
Publik tidak akan paham anatomi kasus kop surat tersebut kecuali apa yang tersaji dari media.
Bagi stafsus Andi sebagai subjek pelaku, pertimbangan hati nurani adalah yang utama; sejauh manakah ia mengukur interest yang ada pada dirinya ketika menggunakan kop surat Setkab. Sementara bagi Jokowi tentu lebih mudah lagi, ia bisa menilai letak kekeliruan administrasi itu ada pada siapa; apakah memang maladministrasi itu terjadi karena kesembronoan Andi ataukah karena faktor lain.
Seharusnya menjadi persoalan juga di luar kasus Skill Academy dan kop surat Setkab, bagaimana kontribusi stafsus milenial yang lain dalam membantu program-program pemerintah.