Mohon tunggu...
Agung Parningotan
Agung Parningotan Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi - NIM 55523110020 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 4 - Pemeriksaan Pajak - Kritik dan Evaluasi Compliance Risk Management dalam Perspektif Aristoteles, Cartesia, dan Nash

8 Oktober 2024   21:34 Diperbarui: 8 Oktober 2024   21:49 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo

Apa itu Compliance Risk Management (CRM) ?

Compliance Risk Management (CRM) adalah kerangka kerja yang diterapkan dalam organisasi untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memitigasi risiko ketidakpatuhan terhadap regulasi dan hukum. Dalam organisasi modern, CRM berfungsi sebagai alat strategis untuk melindungi perusahaan dari dampak hukum, finansial, atau reputasi yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan. Namun, memahami efektivitas CRM memerlukan pendekatan yang lebih mendalam. Dengan mengevaluasi melalui lensa pemikiran Aristoteles, René Descartes, dan John Nash, kita dapat memperoleh wawasan mengenai bagaimana konsep etika, skeptisisme rasional, dan teori permainan berperan dalam membentuk strategi manajemen risiko kepatuhan yang lebih komprehensif.

Pemikiran Aristoteles tentang Etika dan CRM

Etika dalam CRM
Aristoteles, salah satu filsuf besar Yunani, mendasarkan konsep etikanya pada areté atau kebajikan, yang merupakan kondisi moral optimal individu dan keseimbangan antara dua ekstrem, yaitu kelebihan dan kekurangan. Bagi Aristoteles, inti dari kebajikan adalah menemukan "mean" (keseimbangan yang tepat). 

Dalam CRM, pemikiran ini relevan dalam memastikan bahwa kepatuhan organisasi tidak hanya mengikuti aturan secara kaku, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai etika yang mendasarinya. Kebijakan kepatuhan, menurut Aristoteles, bukan hanya instrumen teknis untuk memastikan bahwa sebuah organisasi tidak melanggar hukum, tetapi juga harus mencerminkan karakter moral dan komitmen terhadap kebaikan.

Aristoteles juga menekankan pentingnya phronesis (kebijaksanaan praktis), yaitu kemampuan untuk memahami konteks yang berbeda dalam menjalankan kebijakan kepatuhan secara bijak. Implementasi CRM tidak boleh menjadi pendekatan satu ukuran untuk semua, melainkan harus disesuaikan dengan situasi yang berbeda, menggunakan pertimbangan yang matang agar menghasilkan tindakan yang benar.

Mengapa Etika Penting?
Dari sudut pandang Aristoteles, CRM yang hanya fokus pada penerapan aturan dan sanksi kehilangan elemen paling mendasar, yaitu moralitas individu. Orang yang mematuhi aturan hanya karena takut pada hukuman tidaklah mencapai tingkatan tertinggi dari perilaku yang baik. Bagi Aristoteles, tindakan etis harus datang dari niat yang baik dan kesadaran akan nilai intrinsik dari tindakan tersebut. 

Dalam dunia korporasi, penerapan CRM yang tidak didasari oleh etika dapat menyebabkan kepatuhan yang superfisial. Meskipun organisasi mungkin terlihat mematuhi aturan dari luar, mereka tidak menciptakan budaya yang benar-benar etis dan mendukung pertumbuhan moral karyawan mereka.

Konsep eudaimonia, atau kebahagiaan tertinggi menurut Aristoteles, dicapai ketika seseorang bertindak berdasarkan kebajikan. Dalam konteks organisasi, kebahagiaan ini dapat dipahami sebagai keberhasilan perusahaan yang tidak hanya menguntungkan dari sisi finansial tetapi juga mendukung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas. CRM yang didasarkan pada etika bertujuan untuk mencapai eudaimonia bagi semua pihak yang terlibat—baik perusahaan maupun masyarakat luas.

Implementasi Etika dalam CRM
Agar CRM mencerminkan pemikiran Aristoteles, organisasi harus berupaya membangun karakter moral yang kuat dalam perusahaan melalui pengembangan budaya etis. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan etika yang komprehensif kepada karyawan, menanamkan pentingnya virtue ethics (etika kebajikan), serta menunjukkan kepemimpinan yang konsisten dalam mempraktikkan nilai-nilai moral. 

Kepemimpinan dalam organisasi memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku etis, di mana manajer dan eksekutif harus menjadi contoh dalam menegakkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

Pelatihan yang menekankan kebajikan moral akan mendorong karyawan untuk memahami bahwa kepatuhan adalah bagian dari tanggung jawab moral mereka terhadap organisasi dan masyarakat, bukan sekadar kewajiban hukum. 

Karyawan yang hanya patuh karena takut akan sanksi cenderung tidak memiliki komitmen jangka panjang terhadap aturan tersebut, sedangkan mereka yang berkomitmen pada nilai-nilai etis akan lebih mungkin mematuhi aturan secara konsisten.

Dalam implementasi CRM yang berlandaskan pada etika Aristoteles, evaluasi dan refleksi moral juga menjadi komponen penting. Setiap keputusan kepatuhan harus dipertimbangkan dalam konteks moral, bukan hanya dari perspektif hukum atau profit. Pemikiran kritis dan diskusi tentang nilai-nilai etis di dalam perusahaan akan membantu memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan.

Dengan demikian, CRM yang mengadopsi pendekatan etika Aristoteles tidak hanya berfokus pada prosedur formal tetapi juga pada penciptaan lingkungan kerja yang mendorong integritas, kejujuran, dan keadilan. 

Hal ini akan memastikan bahwa organisasi tidak hanya mematuhi peraturan dari segi teknis, tetapi juga menjalankan bisnisnya dengan tanggung jawab sosial yang lebih besar.

Pemikiran Cartesian tentang Rasionalitas dan CRM

Rasionalitas dalam CRM
René Descartes, melalui filsafat skeptisisme metodisnya, mengajarkan pentingnya mempertanyakan segala sesuatu untuk menemukan kebenaran yang pasti. Prinsip ini sangat relevan dalam Compliance Risk Management (CRM), yang sering kali terjebak dalam rutinitas kebijakan lama tanpa mempertanyakan apakah pendekatan tersebut masih efektif dalam konteks yang berubah. Menurut Descartes, organisasi harus secara rasional dan kritis menguji setiap aspek CRM, mulai dari kebijakan hingga prosedur yang diimplementasikan. 

Rasionalitas dalam CRM tidak hanya berfokus pada penerapan aturan, tetapi juga pada refleksi terus-menerus mengenai kegunaan dan keberlanjutan dari aturan tersebut.

Penerapan pemikiran Cartesian dalam CRM berarti mempertimbangkan validitas kebijakan kepatuhan secara berkala, menguji keefektifannya, dan tidak berpegang teguh pada keyakinan atau kebijakan yang sudah tidak relevan. Descartes percaya bahwa semua keputusan harus melalui proses keraguan metodologis—di mana kita tidak menerima sesuatu sebagai benar kecuali telah diuji secara menyeluruh melalui penalaran yang kritis.

Mengapa Skeptisisme Penting?
Skeptisisme metodis Descartes berfungsi sebagai fondasi untuk membangun kebenaran yang objektif dan rasional. Dalam konteks CRM, skeptisisme penting karena menghindarkan organisasi dari jebakan kepatuhan formalitas atau kebijakan usang yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika organisasi gagal mempertanyakan efektivitas prosedurnya, mereka rentan terhadap risiko operasional, hukum, dan reputasi. 

Descartes mengajarkan bahwa untuk mencapai kepastian dalam sebuah sistem, kita harus terus-menerus mempertanyakan dan memvalidasi asumsi-asumsi yang ada.

Dalam dunia yang terus berubah—di mana regulasi, teknologi, dan lingkungan bisnis berkembang pesat—skeptisisme membantu organisasi untuk tetap fleksibel dan adaptif. CRM yang tidak didukung oleh evaluasi kritis dan skeptis akan menjadi sistem yang kaku, rentan terhadap kegagalan, dan tidak responsif terhadap ancaman baru. Skeptisisme rasional memaksa organisasi untuk terus berinovasi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar efektif dalam mencegah risiko kepatuhan.

Skeptisisme Rasional dalam CRM
Penerapan skeptisisme rasional dalam CRM melibatkan proses evaluasi yang mendalam terhadap setiap elemen dalam sistem kepatuhan. Organisasi perlu mengadakan audit internal dan eksternal secara teratur untuk meninjau kebijakan, prosedur, dan risiko baru yang mungkin muncul. Skeptisisme rasional juga mengundang adanya diskusi terbuka dan peninjauan kritis terhadap pemahaman normatif yang mungkin sudah lama dianggap sahih, padahal tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini.

Dalam konteks Descartesian, pengujian dan validasi berkelanjutan sangat penting. Organisasi perlu mengumpulkan bukti yang kuat dan obyektif untuk mendukung setiap keputusan yang diambil, serta siap untuk merevisi atau mengganti kebijakan CRM yang tidak lagi efektif. Ini juga berarti bahwa inovasi dalam pendekatan CRM harus didorong, dengan menciptakan kultur organisasi yang mendukung eksperimen dan perbaikan berkelanjutan. Organisasi harus siap untuk menggantikan sistem lama yang mungkin sudah tidak efektif dengan yang lebih relevan dan adaptif.

Dengan skeptisisme metodologis, CRM tidak akan menjadi sebuah kerangka kerja yang statis tetapi sistem yang terus berkembang, merespon perubahan regulasi, teknologi, dan ancaman baru dengan cara yang lebih fleksibel dan tanggap. Filosofi Descartes menekankan bahwa keraguan metodis ini adalah cara yang paling rasional untuk memastikan bahwa organisasi terus bergerak menuju kepatuhan yang optimal, bukan hanya dari perspektif legalitas, tetapi juga dari efektivitas dalam manajemen risiko.

Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo
Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo

Teori Permainan John Nash dan CRM

Strategi dalam CRM
John Nash, seorang perintis teori permainan, mengembangkan keseimbangan Nash yang menggambarkan bagaimana aktor—baik individu maupun kelompok—membuat keputusan berdasarkan strategi yang paling menguntungkan dalam mempertimbangkan tindakan pihak lain. 

Dalam konteks Compliance Risk Management (CRM), teori ini relevan dalam memahami bagaimana berbagai aktor dalam organisasi, seperti manajemen, karyawan, pemegang saham, dan regulator, berinteraksi untuk mencapai kepatuhan. Setiap aktor cenderung mengambil langkah yang memaksimalkan keuntungan mereka, baik itu dari sisi kepatuhan terhadap regulasi maupun dari aspek profitabilitas.

Penerapan keseimbangan Nash dalam CRM membantu organisasi untuk melihat bahwa strategi kepatuhan harus mencerminkan keseimbangan di antara kepentingan semua pihak yang terlibat. Manajemen mungkin menginginkan efisiensi operasional dan peningkatan keuntungan, sementara regulator mengharapkan kepatuhan penuh terhadap regulasi. 

Jika CRM tidak memperhitungkan dinamika kepentingan ini, hal tersebut bisa menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan perusahaan dan tindakan aktor yang terlibat.

Mengapa Teori Permainan Relevan?
Teori permainan sangat penting dalam CRM karena memberikan kerangka untuk memahami bagaimana aktor dalam organisasi bertindak berdasarkan kepentingan pribadi mereka. Dalam banyak kasus, CRM yang hanya mengandalkan aturan dan regulasi gagal memperhitungkan bahwa aktor di dalam organisasi tidak selalu mematuhi aturan karena adanya aturan tersebut, melainkan karena mereka memiliki motivasi atau insentif yang mempengaruhi perilaku mereka.

Teori Permainan dalam CRM
Penerapan teori permainan dalam CRM dapat dilakukan dengan cara merancang insentif yang menciptakan keseimbangan strategis antara kepentingan karyawan, manajemen, pemegang saham, dan regulator. 

Insentif yang efektif tidak hanya mengharuskan aktor untuk mematuhi peraturan, tetapi juga memberikan manfaat yang membuat kepatuhan tersebut menjadi pilihan yang rasional dan menguntungkan bagi mereka. Sebagai contoh, program bonus atau penghargaan bagi karyawan yang berkontribusi terhadap budaya kepatuhan dapat memotivasi mereka untuk berperilaku sesuai aturan.

Di sisi lain, sanksi yang diterapkan harus cukup kuat untuk mencegah perilaku melanggar. Namun, sanksi saja tidak cukup; pendekatan CRM berbasis teori permainan juga menekankan pentingnya insentif positif.

 Aktor dalam organisasi akan berperilaku sesuai dengan strategi yang mereka anggap paling menguntungkan, baik itu mematuhi atau melanggar aturan. Dengan menyeimbangkan antara sanksi dan insentif, organisasi dapat memastikan bahwa aktor akan mematuhi aturan karena itu merupakan pilihan terbaik bagi mereka dari sudut pandang strategis.

Evaluasi CRM yang menggunakan teori permainan menuntut fleksibilitas dalam kebijakan serta pemahaman mendalam mengenai motivasi aktor. Strategi CRM tidak boleh dipandang sebagai pendekatan yang statis, melainkan harus terus diperbarui berdasarkan dynamika kepentingan dan perubahan dalam lingkungan regulasi dan bisnis.

 Dalam konteks teori permainan, organisasi harus selalu siap untuk menyesuaikan kebijakan CRM mereka guna mencapai keseimbangan strategis yang ideal antara berbagai aktor yang terlibat. Dengan begitu, kepatuhan bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi menjadi pilihan rasional yang memberikan manfaat nyata bagi semua pihak yang berinteraksi dalam sistem.

Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo
Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo

Evaluasi dan Kritik

Etika (Aristoteles): Evaluasi dari sudut pandang Aristoteles menunjukkan bahwa CRM saat ini sering mengabaikan aspek pengembangan karakter moral individu. Karyawan yang hanya mengikuti peraturan karena adanya ancaman hukuman tidak menghasilkan kepatuhan yang berkelanjutan. Kritiknya adalah bahwa CRM harus menekankan pentingnya integritas dan moralitas sebagai nilai inti dalam organisasi.

Skeptisisme Rasional (Descartes): Dari sudut pandang Descartes, kritik utama terhadap CRM adalah kurangnya evaluasi yang berkelanjutan terhadap efektivitas kebijakan yang ada. Banyak organisasi mengandalkan aturan yang sudah ketinggalan zaman dan gagal memeriksa relevansinya secara kritis. CRM yang sukses harus menanamkan budaya skeptisisme rasional, di mana evaluasi yang cermat dan terus-menerus dilakukan.

Teori Permainan (Nash): Nash akan mengkritik bahwa CRM sering gagal mengakomodasi kepentingan beragam aktor dalam organisasi. Jika strategi CRM tidak mempertimbangkan kepentingan semua pihak, maka akan sulit mencapai keseimbangan antara kepatuhan dan tujuan bisnis. Organisasi perlu merancang sistem insentif yang adil dan seimbang untuk memotivasi semua aktor agar mencapai kepatuhan.

Evaluasi Compliance Risk Management melalui perspektif Aristoteles, Descartes, dan John Nash memberikan pandangan yang lebih holistik terhadap tantangan yang dihadapi oleh organisasi dalam menerapkan sistem kepatuhan yang efektif. CRM yang ideal harus tidak hanya berfokus pada peraturan teknis, tetapi juga pada pengembangan etika, rasionalitas kritis, dan strategi insentif yang seimbang. Pendekatan ini memungkinkan organisasi untuk membangun budaya kepatuhan yang berkelanjutan dan lebih responsif terhadap dinamika yang kompleks.

Referensi:

  1. Stanford Encyclopedia of Philosophy. "Aristotle's Ethics." Accessed October 8, 2024. https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-ethics/.
  2. Stanford Encyclopedia of Philosophy. "René Descartes." Accessed October 8, 2024.
  3. Nash, John. "Non-Cooperative Games." Dissertation, Princeton University, 1950.
  4. Modul K04_Modeling Compliance Risk Management (CRM), dok. Prof Apollo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun