Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Inilah Cara Melakukan Percepatan Transformasi Selain Digitalisasi

19 Desember 2022   17:32 Diperbarui: 20 Desember 2022   08:31 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi, di sebuah grup master mind, ada pertanyaan yang menggelitik. "Mas Agung, adakah cara selain digitalisasi, untuk melakukan percepatan transformasi ?"

Hmm... pertanyaan ini sungguh menggoda saya. Namun, karena satu dan lain hal, pertanyaan itu tidak saya langsung saya jawab.

First think first. Saya harus mengawal "ibu negara" kesana-kemari untuk beberapa urusan, dan jadi bodyguard buat "tuan putri" beberapa jam. Plus ada sedikit urusan dengan "raja kecil" yang harus diselesaikan. Namun selama pertanyaan itu belum saya jawab, pertanyaan itu terus saja berputar di kepala saya.

Nah, sekarang mungpung agak luang, saya coba pertanyaan diatas saya jawab berdasarkan pengalaman saya selama ini. Siapa tahu bermanfaat, dan ada relevansinya dengan kondisinya.

Kembali pada pertanyaan, "Adakah cara selain digitalisasi, untuk melakukan percepatan transformasi?"

Tentu saja saya jawab ada. Malah ada banyak cara sebatas langit imajinasi untuk melakukan percepatan transformasi. Namun biar lebih enak, mari kita bedah sedikit.

Setidaknya ada 3 cara untuk mengakselerasi transformasi. Pertama, individu. Kedua, organisasi, dan ketiga teknologi.

Untuk membahas itu, mari kita mulai saja dari pendekatan yang lebih mudah dan tanpa efek samping yang berarti, yaitu transformasi teknologi.

Transformasi teknologi ini sangat sedikit atau relatif menimbulkan reaksi negatif, atau resistensi dari dalam organisasi.

Transformasi Teknologi

Bila kita fokus pada transformasi teknologi, maka kita bisa melihat pada bagian mana saja dari setiap bagian di organisasi tahapan ini sudah dilaksanakan. Apakah masih digitisasi, sebatas pakai teknologi digital saja. Atau, tahapan digitalisasi? Perbaikan proses yang menggunakan teknologi dan data digital.

Atau, mungkin sudah agak lebih canggih: Transformasi digital. Di mana perkembangan teknologi mutakhir sudah dimanfaatkan maksimal.

Di tahapan ini, proses transformasi aktivitas, proses, dan model bisnis semata untuk meningkatkan efisiensi, dan mengelola risiko sudah diterapkan. Bahkan transformasi digital ini difokuskan pada upaya untuk menemukan peluang bisnis baru.

Digitisasi dan digitalisasi adalah modal dan landasan kuat untuk transformasi digital. Sayang, pada praktiknya banyak organisasi yang berkutat sebatas pada banyaknya aplikasi yang dipakai saja dalam proses kerjanya. Belum pada transformasi digital yang menuntut terintegrasinya data, proses kerja dan koordinasi.

Transformasi Organisasi

Ada banyak cara untuk melakukan transformasi organisasi. Bisa dengan perubahan struktur organisasi yang lebih flat dan didesain "fleksibel dan adaptif" dengan kebutuhan di lapangan. Atau dirombak besar-besaran berdasarkan kajian ilmiah dan terukur, sehingga bisa lebih lincah dan tidak seperti gajah bengkak seperti IBM dulu.

Namun, cara ini cukup mahal. Akan ada banyak resistensi dan penolakan di sana-sini. Persis seperti penyatuan beberapa unit bisnis yang di dalamnya suka diwarnai dengan banyak isu, rumor, hoaks dan politicking.

Transformasi organisasi bisa dilakukan dengan 5 opsi, atau gabungan dari opsi-opsi ini.

Pertama, prioritas dan intensifikasi program.

Kedua, adanya kebijakan baru untuk mengatur dan melakukan akselerasi transformasi. Dibentuk tim khusus lintas departemen untuk mengawalnya, dan diberikan evaluasi per 3 hingga 4 bulan sekali untuk dilakukan perbaikan-perbaikan.

Ketiga, visi dan misi yang clear, jelas, menginspirasi, dan menggrakkan roda organisasi.

Contoh sederhana saya dapatkan di sebuah Klinik dan Apotik Harapan Sehat Cilaku Cianjur yang telah mendapat penghargaan dari presiden. Juga visi dan misi sederhana dari Richeese Factory, sebuah makanan cepat saji ayam krispi keju pedas. Tak heran, Richeese sekarang sudah punya setidaknya 177 outlet yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi.

Bila visi dan misi yang tak jelas, maka otomatis membicarakan garis-garis besar haluan organisasi seperti road map dan blue print akan sulit diterapkan.

Blueprint program kerja tahunan sendiri, senyatanya harus dijahit dengan apik sedemikian rupa. Mulai dari penyatuan beragam program antar bagian, mempresentasikan bersama oleh setiap bagian, hingga "kastemisasi" dan finalisasi program keseluruhan yang terintegrasi. Ini sendiri, biasanya cukup memakan waktu 2 hingga 3 bulan sebelum awal tahun berjalan.

Keempat, core values dan budaya kerja yang sudah merasuk tertanam doktrinnya hingga prajurit terdepan. Bukan sekadar core values yang ikut-ikutan, disamain, dan yang penting ada dan keren kelihatan atau singkatannya.

Lucunya, sekarang ini soal core values, tak sedikit organisasi yang tak menyadari ini. Malah, pimpinannya lebih berorientasi cari aman dan cari selamat saja. Tak berani bicara itu, dan dikatakan Oh itu, soal sakral. Kita fokus saja pada pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan dan kita selesaikan.

Kelima, soliditas team. Ini yang cukup sulit. Koordinasi, ego sektoral, dan kesamaan langkah agar ada sinkronisasi program bukan soal yang gampang diselesaikan.

Celakanya, ada pejabat yang sudah merasa bekerja saat sudah melakukan rapat koordinasi. Wah, celaka, kalau udah punya pikiran seperti ini.

Transformasi Individual

Nah ini cara yang paling suka saya bahas. Cara yang paling murah dan cukup efektif dilakukan, di mana setidaknya bisa kita lakukan dengan dua cara.

Pertama, strong leadership. Dimana kekuatan sosok pemimpin ini bisa merubah mindset dan sistem yang sudah ada. Seperti program yang sudah bagus tetap dijaga dan dikembangkan. Program yang kurang bagus diperbaiki. Program yang tak bagus dan memakan anggaran, dihapuskan.

Terakhir, program baru yang inovatif dan diyakini membawa perubahan dan kemaslahatan lebih banyak, ya diciptakan dan digulirkan.

Pendekatan keempat jenis program itu sama. Yaitu berdasarkan aturan yang sudah ada, atau aturan yang lebih tinggi. Lalu berdasarkan kajian ilmiah dan pendekatan saintifik, dan jangan lupa, pendekatan logika yang semata untuk kebaikan yang lebih banyak, lebih besar, dan untuk jangka panjang.

Selain strong leadership yang merubah mindset dan sistem, transformasi organisasi juga bisa dilakukan dengan cara kedua. Yaitu, pemberian kewenangan penuh untuk melakukan sesuatu.

Mungkin tidak persis seperti pejabat segala urusan, namun pemberian kewenangan yang lebih besar untuk menyelesaikan sebuah project yang berdampak besar, kuat dan jangka panjang.

Transformasi individual ini sendiri juga harus menyentuh 3 syarat, yaitu kesadaran diri, metodologi, serta aksi dan akselerasi.

Terlepas dari 3 pendekatan transformasi diatas diluar tataran individu, organisasi dan teknologi, maka setidaknya ada 7 syarat transformasi:

1. Cepat - proaktif dan mengakselerasi.
2. Integratif - terkoordinasi dan terarah.
3. Komprehensif - lengkap dan merevolusi.
4. Produktif - kontributif dan bernilai tinggi.
5. Sistemik - terukur dan saling melengkapi.
6. Berdampak - ada perubahan berarti dan berkeadilan
7. Bermakna - bernilai untuk Indonesia dan dunia.

Akhirnya, kita pun perlu menyadari bahwa senyatanya melakukan percepatan transformasi itu tidaklah sulit. Karena sulit bukan berarti tidak bisa.

Ini masalah dan tantangan yang harus kita lakukan untuk meninggalkan legacy bagi diri, organisasi dan peradaban yang lebih baik.

Caranya, ciptakan kondisi ini. Dipaksa - terpaksa - terbiasa - terasa.

Dipaksa agar tahu. Terpaksa agar terampil. Terbiasa agar sistematis. Terasa agar kreatif, inovatif, dan bermakna buat semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun