Cahaya keperakan lampu merkuri memendar syahdu sore itu, gerimis pun telah reda. Bus Trans Semarang yang menuju terminal Penggaron pun telah transit dua kali di halte dimana Aku dan Mayang terpaku sejak dua puluhan menit yang lalu, dan bahkan telah lebih dari 4 kali atau 5 kali bis kota jurusan terminal Penggaron lewat, sementara ibu pedagang kaki lima terlihat mulai mengemasi barang dagangannya.
Tak tahu kenapa sedari Aku, Mayang dan anaknya duduk berdua di halte tak ada pengguna trotoar yang lewat padahal trotoar seberang jalan begitu ramai lalu lalang orang dan kebanyakan dari yang terlihat adalah kaum urban yang datang dari daerah Kota Semarang untuk mengadu nasib di kota karena disekitar sini banyak dijumpai pabrik-pabrik yang kebanyakan milik pengusaha keturunan atau perusahaan asing, dari wajah-wajah mereka, terlihat mereka adalah kelompok tak beruntung dari sistem kapitalis oleh bangsa ini. Sementara suaraQiro’atdari toa Masjid terdengar diantara riuh kendaraan tonase besar yang akan keluar atau masuk pintu tol Mangkang sama banyaknya bertemu dengan kendaraan dari arah timur Pantura di pertigaan dimana kami terpaku.
“Kamu udah udah nikah,Dan ?". Tanya Mayang
“Belum”.
“Kenapa ?”. Timpalnya menginterogasi.
“Belum dapat panggilan ?” Jawabku enteng.
“Panggilan darimana ?!” Sahutnya penasaran sambil mengernyitkan dahi menatapku.
“Dari Kementrian Pemberdayaan Peranan Wanita”. Jawabku sembari pura-ura membuang pandang.
“Maksudnya dan hubungannnya apasihnikah ama Kementrian Pemberdasyaan Peranan Wanita,Dan ?” Mayang garuk-garuk kepala bingung mencoba mencari penjelasan maksudku.