Mohon tunggu...
Agung Hidayat
Agung Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang pinggiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Januari Sore di Bawah Halte Siliwangi

1 Mei 2015   19:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Bukankah kamu saat itu tiba-tiba menghilang”. Sergahnya pada tanyaku.

Suasana jalanan sore di depan Aku dan Mayang duduk itupun seperti berubah bagai lautan luas yang sunyi dengan deburan-deburan ombak mendatangai tepian pantai dimana kita terduduk, berusaha membuyarkan kebekuan tapi tak akan bisa.

Sesekali Aku perhatikan Danang kecil yang mengantuk di pangkuan mamanya. Terlihat bentuk matanya mirip sekali dengan bentuk mata Mayang dengan lengkung alis tebal, mata itu juga yang tadi seolah mengatakan padaku“aku Mayang”ketika aku tadi mengingat sosoknya dengan menyapu kulit wajahnya. Karena memang Mayang yang dulu aku kenal saat kuliah selalu memakai kacamata model Ray Ban Wayferer dengan frame corakcheetahyang menjadi favoritnya, padahal setahuku dulu, Dia saat itu memiliki tiga kacamata untuk menunjang belajarnya dan kegiatan sehari-hari yang salah satu frame kacamata itu adalah hadiahku saat ulang tahun Mayang di akhir masa-masa perkuliahan.

Kadang dulu aku komplain kenapa frame kacamata yang aku berikan tak pernah dipakai, tapi tiap kali aku komplain pasti jawaban yang aku dapati selalu sama, “Aku ingin menyimpannya karena itu adalah kado yang paling special dari kamu semenjak tiga tahun jadian”. Tapi kejadian paling membuatku tertawa adalah ketika aku menanyakan pertanyaan yang sama dengan enteng dia berseloroh tanpa dosa jika dia akan lebih cantik dengan frame kacamata kesayangannnya itu, seketika juga perutku kaku gara-gara tertawa dengar jawabanya dengan reflek aku kocok rambutnya hingga amburadul di bawah pohon dekat mushola kampus. Tapi sore ini, Aku perhatikan memakai lensa kontak hingga membuatkupanglingdan hampir saja tak mengenalinya.

Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku tak akan melakukan kesalahan itu lagi dan -mungkin- akulah yang berhak  menjadi ayah anak yang mengisi keseharian Mayang saat ini. Tapiah, sudahlah, taksepantasnya aku berpikir seperti itu, bukankah dia telah berkeluarga ?, Memiliki anak yang tampan dan lucu atau bahkan mungkin sosok suami yang menemani hari-harinya saat ini jauh lebih baik daripada aku yang menjadi suaminya ? Karena aku yakin apa yang telah ditakdirkan Tuhan adalah hal terbaik bagi setiap mahluk ciptaanNya ? Meski hati kecilku tak bisa dibohongi bahwa hati ini masih berdetak untuk nama yang sama ?

“Maaf”. Bisik lirihku seperti terbenam diantara raung suara kendaraan sore itu meski berat sekali diucapkan.

Lalu kami tenggelam dalam kebisuan kembali, sepatah-dua patah kata antara Aku dan Mayang seperti ketika seorang penyelam mengamnbil  nafas untuk menyelam lagi.Sebenarnya banyak yang ingin aku katakana padanya, termasuk alasanku pergi setelah rampung tanpa pamit Mayang sebelumnya.

“Masih suka menulis,Dan..?” Tanya Mayang yang sepertinya mengingat betul apa yang menjadi hobiku.

“Masih”. sembari kutangkupkan dua telapak tanganku agar terasa agak hangat atau aku memang diselimuti gusar, aku sendiri tak begitu tahu pasti.

Lhaterus sekarang kerja dimana ?” Sahutnya.

“Cuma penulisfreelancedi kolome-newsdan penulis tetap naskah cerber di salah satu majalah keluarga, kadang juga menerjemah buku-buku bahasa asing”. Sesekali aku mencuri pandang menatapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun