Mohon tunggu...
Agung Hermanus Riwu
Agung Hermanus Riwu Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik

Guru SMP Katolik Giovanni Kupang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pembelajaran Matematika yang Berpihak pada Anak

14 Juli 2024   23:28 Diperbarui: 31 Juli 2024   10:19 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pembelajaran yang berpihak pada anak merupakan cara pandang bahwa setiap anak memiliki keunikan, potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Inilah yang mendorong saya selalu berupaya menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan membahagiakan bagi setiap anak."

Penulis : AGUNG HERMANUS RIWU,S.Pd.

Kurang lebih 14 tahun, saya mengabdikan diri sebagai guru matematika di SMP Katolik Giovanni Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Beragam tantangan sering saya temukan ketika menyajikan pembelajaran di kelas. Salah satunya, pandangan negatif terhadap matematika sebagai ilmu yang sulit dipelajari.

Karakteristiknya yang berupa angka, simbol, garis dan rumus, menjadi alasan bagi sebagian besar anak enggan untuk mendalaminya.

Situasinya akan semakin parah jika mereka mempunyai pengalaman mengikuti pembelajaran matematika yang disajikan dengan metode yang konvensional, monoton dan kurang menarik.

Pada akhirnya, seluruh pandangan dan pengalaman yang buram terkadang menghablur menjadi suatu ketakutan terhadap matematika.

Zenius Education pernah melakukan survei terhadap 1.340 anak di seluruh Indonesia untuk mengungkap tren mata pelajaran yang digemari.

Hasilnya, matematika menjadi mata pelajaran kedua yang paling tidak disukai setelah fisika. Alasan yang mendominasi ketidaksukaan terhadap matematika yaitu pelajaran sulit karena banyak rumusnya.

Baru-baru ini, dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) saya turut melakukan survei terhadap 140 peserta didik baru tentang pandangan mereka terhadap pembelajaran matematika.

Hanya 24,2 persen atau sebanyak 34 anak yang menyatakan matematika menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan. Data tersebut menunjukan masih kurangnya ketertarikan sebagian besar anak terhadap matematika.

Jika data rendahnya minat terhadap matematika disandingkan dengan hasil penelitian PISA pada tahun 2022, maka kita akan melihat suatu korelasi yang selaras.

Indonesia berada pada peringkat 68 dari total 81 negara partisipan. Adapun rincian skor PISA untuk matematika yaitu 366 atau berada pada kategori rendah.

Refleksi dan Mandiri Belajar

Dalam sebuah refleksi, saya mendeteksi adanya faktor internal dan eksternal yang menyebabkan munculnya rasa takut dalam diri anak terhadap pembelajaran matematika.

Faktor internal terdiri dari kemampuan berpikir anak yang beragam, motivasi belajar yang belum terarah, kesiapan fisik yang belum optimal ketika mengikuti pembelajaran terutama masalah pada ketajaman indera.

Sedangkan faktor eksternal meliputi kurangnya inovasi pembelajaran, penggunaan media pembelajaran yang terbatas serta lingkungan keluarga yang belum sepenuhnya mendukung proses pembelajaran.

Refleksi tersebut mendorong saya secara mandiri untuk belajar mengembangkan kompetensi dan melakukan inovasi pembelajaran yang benar-benar berpihak pada peserta didik.

Dari berbagai literatur, saya berusaha menambah pemahaman saya sebagai guru untuk memahami bagaimana cara anak-anak berpikir, seperti apa kebutuhan dasar mereka dan bagaimana tahapan perkembangan belajar anak.

Cara Berpikir, Kebutuhan Dasar dan Tahapan Perkembangan

Daniel Kahneman, seorang ilmuwan berdarah campuran Israel dan Amerika yang terkenal karena pemikirannya tentang psikologi penilaian dan pengambilan keputusan, pernah menulis sebuah buku berjudul , "Thinking, Fast & Slow."

Melalui buku tersebut, Daniel memperkenalkan cara kerja akal budi manusia berjalan dalam dua sistem yaitu cara berpikir cepat dan lambat.

Namun, konsep ini bukan hendak membedakan bahwa cara berpikir cepat dimiliki oleh orang-orang yang pintar sementara cara berpikir lambat cenderung menandakan orang yang bodoh atau bahkan lemot. 

Yang dimaksudkan Daniel, cara berpikir cepat sifatnya itu otomatis, intuitif, emosional, impulsif, kadang terjadi secara sadar dan tidak sadar. Misalnya ketika muncul pertanyaan 1+1, seseorang tanpa berpikir dengan keras tentu sudah tahu jawabannya. Cara berpikir ini sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena efisien, tidak memakan energi banyak dan waktu yang lama.

Sementara itu, berpikir lambat sifatnya logis, rasional, membutuhkan konsentrasi penuh, digunakan secara sadar tetapi cenderung lambat karena cukup memakan banyak energi. Misalnya, ketika mengerjakan soal 3562 x 873 seseorang harus menghitung secara bertahap, berbeda ketika menjumlahkan 1+1. 

Pemikiran Daniel Kahneman memberikan pemahaman bahwa semua manusia (anak) memiliki kemampuan yang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Tugas guru adalah menyediakan santapan belajar yang sesuai dengan kemampuan cara berpikir anak.

Selanjutnya, dalam pencarian tentang kebutuhan anak, saya menemukan "Choice Theory," yang dipopulerkan William Glasser yaitu sebuah konsep tentang lima kebutuhan dasar manusia antara lain, bertahan hidup (makanan, kesehatan, rumah), keinginan untuk diterima (kasih sayang, perhatian), kebebasan (sebagai manusia yang merdeka), kesenangan (kebutuhan akan hiburan) dan penguasaan (pengakuan atas kemampuan).

Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah khususnya dalam meramu pembelajaran, guru harus memperhatikan lima kebutuhan dasar di atas untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan membahagiakan.

Terkadang terjadi hal-hal di luar perencanaan ketika muncul sikap atau respon yang negatif dari anak terhadap pembelajaran. Di saat itu, guru harus melakukan analisis yang mendalam, jangan sampai kebutuhan dasar anak sebagai manusia belum terpenuhi secara baik?

Oleh karena itu, salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kemampuan memahami tahap perkembangan anak. Setiap anak lahir dengan konfigurasi fisik, potensi dan bakat yang unik. Terkadang kita menjumpai anak kembar, tetapi belum tentu identik dalam hal kepribadian serta minat. 

Anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam diri mereka. Mengenali keunikan masing-masing anak, adalah pengetahuan yang harus dimiliki seorang guru.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan adalah usia. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara mengelompokkan perkembangan anak dalam hitungan windon (delapan tahunan). 

Windu pertama (0-8 tahun) disebut masa Wiraga. Tahapan ini menunjukan jasmani (raga) dan indera anak dapat tumbuh dengan pesat sehingga anak harus banyak bergerak (melatih otot kasar/besar), melatih otot halus, mengeksplorasi indera mereka (pendengaran, perasa, pengecap, penciuman, peraba, termasuk imajinasi), dan mengenali simbol-simbol.

Windu kedua (9-16 tahun) disebut masa Wiraga Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai berkembang pikirannya. Pada tahapan ini guru mulai fokus dalam menuntun proses berpikir anak agar mereka semakin selaras (seirama) dengan sesamanya dan lingkungannya. Guru pada periode ini menuntun anak untuk melakukan, membiasakan, menginsyafi, hingga akhirnya menyadari mengapa mereka (misalnya) melakukan kebiasaan baik yang mereka lakukan di sekolah, bukan sekedar menuruti/mengikuti suatu aturan/kebiasaan saja.

Windu ketiga (17-24 tahun) disebut masa Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai menata bagaimana agar masa depannya senantiasa seirama dengan sesama dan semesta. Guru harus bisa menuntun dan menantang anak dalam hal pengelolaan diri dan pengenalan potensi dirinya.

Anak dipaparkan pada keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan. Mereka sadar bagaimana membawa diri sebagai manusia yang merdeka. Mereka sadar betul bahwa ini hidup mereka, ini negara-bangsa-dan tanah air mereka.

Dengan memahami cara kerja otak, kebutuhan dasar manusia dan tahapan perkembangan anak, guru dapat memetahkan kebutuhan belajar anak sehingga guru juga terbantu melakukan inovasi pembelajaran yang berpihak pada anak.

Inovasi Pembelajaran Matematika yang Berpihak Pada Anak

Pembelajaran yang berpihak pada anak merupakan cara pandang bahwa setiap anak memiliki keunikan, potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Inilah yang mendorong saya selalu berupaya menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan membahagiakan bagi setiap anak.

Beberapa prinsip yang saya tekankan dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid antara lain, disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan anak; dalam menemukan konsep, fakta hingga pemecahan masalah anak harus lebih dominan; mampu mengembangkan keterampilan dan kepribadian; serta salah satu yang penting adalah menjadikan pengalaman kehidupan anak sebagai titik tolak pembelajaran.

Ahli matematika asal Belanda, Hans Freudental (Bustang Bukari, 2013) menerangkan matematika adalah aktivitas manusia. Untuk menarik perhatian anak pada pembelajaran, saya berusaha mengaitkan materi dengan pengalaman mereka seperti hobi, permainan, aktivitas berbelanja atau situasi lingkungan keseharian mereka. Masalah sehari-hari yang diangkat disesuaikan dengan kemampuan kognitif atau cara berpikir anak.

Misalnya, pada materi bangun datar yang merupakan sebuah bentuk yang memiliki keliling dan luas, tetapi tidak memiliki volume. Anak bisa diarahkan untuk menemukan benda yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya kertas atau layang-layang. Dari mainan layang-layang, lidi yang biasa digunakan sebagai rangka bisa dijadikan sarana belajar.

Dengan cara demikian, saya sangat yakin setiap guru matematika akan mampu merancang kegiatan pembelajaran yang mendorong anak terbiasa berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkomunikasi dengan baik.

Agar pembelajaran semakin bermakna, saya juga berupaya membantu anak untuk membangun karakter positif seperti bersikap jujur, kerja keras, dan penuh empati.

Caranya yaitu mengaitkan materi matematika dengan nilai-nilai kehidupan yang positif. Saya pernah mengembangkan pemikiran Ahmad Syarif Rianto (2018) ketika mengajarkan nilai kejujuran melalui materi operasi perkalian bilangan bulat.

"Bilangan positif dikalikan dengan bilangan positif hasilnya bilangan positif. Bilangan positif dikalikan dengan bilangan negatif hasilnya bilangan negatif, akan sama hasilnya jika operasinya dibalik. Bilangan negatif dikalikan dengan bilangan negatif hasilnya bilangan positif."

Kepada anak saya menjelaskan, jika positif adalah sesuatu yang benar dan negatif merupakan sesuatu yang salah, maka formula operasi perkalian di atas terkandung makna antara lain,

"Positif dikalikan positif hasilnya positif artinya mengatakan benar pada sesuatu hal yang benar adalah tindakan yang benar," 

"Negatif dikalikan positif hasilnya negatif artinya mengatakan salah pada suatu hal yang benar adalah tindakan yang salah, begitu pula sebaliknya," 

"Negatif dikalikan negatif hasilnya negatif artinya mengatakan salah pada sesuatu hal yang salah adalah tindakan yang benar." 

Masih banyak makna kehidupan yang dapat ditarik dari materi matematika yang abstrak. Dengan mengangkat dan menjelaskan pesan-pesan matematika bagi kehidupan, setiap guru telah berhasil menciptakan kesan positif terhadap pembelajaran matematika terutama mampu menerapkan dimensi profil pelajar pancasila di dalamnya.

Kolaborasi

Saya menyadari betul, untuk menerapkan pembelajaran matematika yang berpihak pada anak diperlukan upaya gotong royong. Di Sekolah, bersama rekan sejawat kami mengembangkan lesson study yaitu pengkajian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga tindak lanjut.

Tujuan dari kolaborasi ialah untuk memastikan pembelajaran matematika secara sungguh mendorong anak mendominasi pembelajaran, terampil berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah, mampu berkomunikasi dengan baik serta terbuka dalam berkolaborasi. Lesson study yang kami laksanakan berlangsung dalam beberapa siklus hingga tercapainya tujuan bersama.

Tidak hanya guru dengan guru, kolaborasi yang juga saya bangun adalah berkomunikasi dengan orang tua. Saya percaya, untuk membentuk perspektif positif tentang matematika dalam diri anak butuh intervensi bersama antara guru dengan orang tua sebagai komponen yang paling dekat dengan anak.

Bentuk kolaborasi yang kami sepakati yaitu di rumah orang tua ikut menanamkan bakat matematika dalam diri anak dengan membiasakan mereka terlibat dalam aktivitas matematika keluarga.

Misalnya, melibatkan secara rutin dalam proses transaksi jual beli di kios, pasar atau pusat perbelanjaan umum, termasuk melatih anak untuk mengambil keputusan yang bijak dalam memperhitungkan diskon terhadap suatu barang yang hendak dibeli.

Materi matematika yang abstrak sering memberikan tantangan berpikir bagi anak. Oleh karena itu, orang tua juga didorong untuk memberikan motivasi dan bersama-sama dengan anak menemukan solusi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Misalnya, mengadakan bimbingan khusus matematika di rumah atau mengikutsertakan anak dalam komunitas-komunitas matematika yang dikembangkan di luar rumah.

Kesimpulan

Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil memiliki gagasan, dalam pendidikan yang berpihak pada anak, guru berperan sebagai fasilitator, memotivasi dan mendorong anak untuk mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.

Selaras dengan pemikiran itu, Ki Hadjar Dewantara juga berpendapat, pendidikan yang berpihak pada murid harus melibatkan murid secara aktif dalam proses pembelajaran.

Saya mengambil kesimpulan, pembelajaran yang berpihak pada anak adalah memberi kemerdekaan secara penuh kepada setiap anak untuk mengekspresikan dirinya, menggali minat dan bakatnya serta mampu mengembangkan keterampilan dan kreativitasnya.

Pembelajaran yang berpihak pada anak juga berarti menghormati keberadaan anak dengan konfigurasi berpikir dan potensi yang unik dan beragam. Selain itu, pembelajaran yang berpihak pada anak harus relevan dengan kehidupan nyata yang dialami anak.

Oleh karena itu, seorang guru harus mampu memiliki sikap reflektif yang mendalam terhadap anak dan proses pembelajaran, memiliki kemandirian untuk terus mengembangkan kompetensi, mampu berkolaborasi dengan semua elemen, selalu merasa tertantang untuk melakukan inovasi sehingga pembelajaran yang berpihak pada keunikan, potensi dan kebutuhan anak dapat terlaksana dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun