Mohon tunggu...
Agung Hermanus Riwu
Agung Hermanus Riwu Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik

Guru SMP Katolik Giovanni Kupang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembelajaran Matematika yang Berpihak Pada Anak

14 Juli 2024   23:28 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:33 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara Berpikir, Kebutuhan Dasar dan Tahapan Perkembangan

Daniel Kahneman, seorang ilmuwan berdarah campuran Israel dan Amerika yang terkenal karena pemikirannya tentang psikologi penilaian dan pengambilan keputusan, pernah menulis sebuah buku berjudul , "Thinking, Fast & Slow." Melalui buku tersebut, Daniel memperkenalkan cara kerja akal budi manusia berjalan dalam dua sistem yaitu cara berpikir cepat dan lambat. Namun, konsep ini bukan hendak membedakan bahwa cara berpikir cepat dimiliki oleh orang-orang yang pintar sementara cara berpikir lambat cenderung menandakan orang yang bodoh atau bahkan lemot. 

Yang dimaksudkan Daniel, cara berpikir cepat sifatnya itu otomatis, intuitif, emosional, impulsif, kadang terjadi secara sadar dan tidak sadar. Misalnya ketika muncul pertanyaan 1+1, seseorang tanpa berpikir dengan keras tentu sudah tahu jawabannya. Cara berpikir ini sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena efisien, tidak memakan energi banyak dan waktu yang lama. Sementara itu, berpikir lambat sifatnya logis, rasional, membutuhkan konsentrasi penuh, digunakan secara sadar tetapi cenderung lambat karena cukup memakan banyak energi. Misalnya, ketika mengerjakan soal 3562 x 873 seseorang harus menghitung secara bertahap, berbeda ketika menjumlahkan 1+1. 

Pemikiran Daniel Kahneman memberikan pemahaman bahwa semua manusia (anak) memiliki kemampuan yang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Tugas guru adalah menyediakan santapan belajar yang sesuai dengan kemampuan cara berpikir anak.

Selanjutnya, dalam pencarian tentang kebutuhan anak, saya menemukan "Choice Theory," yang dipopulerkan William Glasser yaitu sebuah konsep tentang lima kebutuhan dasar manusia antara lain, bertahan hidup (makanan, kesehatan, rumah), keinginan untuk diterima (kasih sayang, perhatian), kebebasan (sebagai manusia yang merdeka), kesenangan (kebutuhan akan hiburan) dan penguasaan (pengakuan atas kemampuan).

Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah khususnya dalam meramu pembelajaran, guru harus memperhatikan lima kebutuhan dasar di atas untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan membahagiakan. Terkadang terjadi hal-hal di luar perencanaan ketika muncul sikap atau respon yang negatif dari anak terhadap pembelajaran. Di saat itu, guru harus melakukan analisis yang mendalam, jangan sampai kebutuhan dasar anak sebagai manusia belum terpenuhi secara baik ?

Oleh karena itu, salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kemampuan memahami tahap perkembangan anak. Setiap anak lahir dengan konfigurasi fisik, potensi dan bakat yang unik. Terkadang kita menjumpai anak kembar, tetapi belum tentu identik dalam hal kepribadian serta minat. Anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam diri mereka. Mengenali keunikan masing-masing anak, adalah pengetahuan yang harus dimiliki seorang guru.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan adalah usia. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara mengelompokkan perkembangan anak dalam hitungan windon (delapan tahunan). 

Windu pertama (0-8 tahun) disebut masa Wiraga. Tahapan ini menunjukan jasmani (raga) dan indera anak dapat tumbuh dengan pesat sehingga anak harus banyak bergerak (melatih otot kasar/besar), melatih otot halus, mengeksplorasi indera mereka (pendengaran, perasa, pengecap, penciuman, peraba, termasuk imajinasi), dan mengenali simbol-simbol.

Windu kedua (9-16 tahun) disebut masa Wiraga Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai berkembang pikirannya. Pada tahapan ini guru mulai fokus dalam menuntun proses berpikir anak agar mereka semakin selaras (seirama) dengan sesamanya dan lingkungannya. Guru pada periode ini menuntun anak untuk melakukan, membiasakan, menginsyafi, hingga akhirnya menyadari mengapa mereka (misalnya) melakukan kebiasaan baik yang mereka lakukan di sekolah, bukan sekedar menuruti/mengikuti suatu aturan/kebiasaan saja.

Windu ketiga (17-24 tahun) disebut masa Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai menata bagaimana agar masa depannya senantiasa seirama dengan sesama dan semesta. Guru harus bisa menuntun dan menantang anak dalam hal pengelolaan diri dan pengenalan potensi dirinya. Anak dipaparkan pada keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan. Mereka sadar bagaimana membawa diri sebagai manusia yang merdeka. Mereka sadar betul bahwa ini hidup mereka, ini negara-bangsa-dan tanah air mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun