Windu pertama (0-8 tahun) disebut masa Wiraga. Tahapan ini menunjukan jasmani (raga) dan indera anak dapat tumbuh dengan pesat sehingga anak harus banyak bergerak (melatih otot kasar/besar), melatih otot halus, mengeksplorasi indera mereka (pendengaran, perasa, pengecap, penciuman, peraba, termasuk imajinasi), dan mengenali simbol-simbol.
Windu kedua (9-16 tahun) disebut masa Wiraga Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai berkembang pikirannya. Pada tahapan ini guru mulai fokus dalam menuntun proses berpikir anak agar mereka semakin selaras (seirama) dengan sesamanya dan lingkungannya. Guru pada periode ini menuntun anak untuk melakukan, membiasakan, menginsyafi, hingga akhirnya menyadari mengapa mereka (misalnya) melakukan kebiasaan baik yang mereka lakukan di sekolah, bukan sekedar menuruti/mengikuti suatu aturan/kebiasaan saja.
Windu ketiga (17-24 tahun) disebut masa Wirama. Tahapan ini menunjukan anak mulai menata bagaimana agar masa depannya senantiasa seirama dengan sesama dan semesta. Guru harus bisa menuntun dan menantang anak dalam hal pengelolaan diri dan pengenalan potensi dirinya.
Anak dipaparkan pada keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan. Mereka sadar bagaimana membawa diri sebagai manusia yang merdeka. Mereka sadar betul bahwa ini hidup mereka, ini negara-bangsa-dan tanah air mereka.
Dengan memahami cara kerja otak, kebutuhan dasar manusia dan tahapan perkembangan anak, guru dapat memetahkan kebutuhan belajar anak sehingga guru juga terbantu melakukan inovasi pembelajaran yang berpihak pada anak.
Inovasi Pembelajaran Matematika yang Berpihak Pada Anak
Pembelajaran yang berpihak pada anak merupakan cara pandang bahwa setiap anak memiliki keunikan, potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Inilah yang mendorong saya selalu berupaya menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan membahagiakan bagi setiap anak.
Beberapa prinsip yang saya tekankan dalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid antara lain, disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan anak; dalam menemukan konsep, fakta hingga pemecahan masalah anak harus lebih dominan; mampu mengembangkan keterampilan dan kepribadian; serta salah satu yang penting adalah menjadikan pengalaman kehidupan anak sebagai titik tolak pembelajaran.
Ahli matematika asal Belanda, Hans Freudental (Bustang Bukari, 2013) menerangkan matematika adalah aktivitas manusia. Untuk menarik perhatian anak pada pembelajaran, saya berusaha mengaitkan materi dengan pengalaman mereka seperti hobi, permainan, aktivitas berbelanja atau situasi lingkungan keseharian mereka. Masalah sehari-hari yang diangkat disesuaikan dengan kemampuan kognitif atau cara berpikir anak.
Misalnya, pada materi bangun datar yang merupakan sebuah bentuk yang memiliki keliling dan luas, tetapi tidak memiliki volume. Anak bisa diarahkan untuk menemukan benda yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya kertas atau layang-layang. Dari mainan layang-layang, lidi yang biasa digunakan sebagai rangka bisa dijadikan sarana belajar.
Dengan cara demikian, saya sangat yakin setiap guru matematika akan mampu merancang kegiatan pembelajaran yang mendorong anak terbiasa berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkomunikasi dengan baik.