Pada perspektif supply chain, rantai pasokan pada pengelolaan persampahan perkotaan dianggap sebagai masalah rantai pasokan strategis karena melibatkan timbulan sampah, pengumpulan, pemisahan, distribusi, pemrosesan, dan pembuangan. Sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan seluruh rantai pasokan ketika sistem pengelolaan limbah tersebut diperhitungkan, karena efisiensi pengelolaan persampahan perkotaan dapat ditingkatkan dengan mengadopsi teknik pengelolaan rantai pasokan yang tepat (Wan Ahmad et al., 2016). Menurut Fatimah et al. (2020) Â proses bisnis pengelolaan sampah meliputi mixed-collecting, sorting, transporting, varied-treatment, and chained-disposal.
Menurut Carter & Rogers (2008), sustainable supply chain mengintegrasikan dan mencapai tujuan sosial, lingkungan, dan ekonomi organisasi secara sistematis dan terkoordinasi sehingga keputusan bisnis antar organisasi mengarah pada peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang organisasi dan rantai pasokannya.
Seiraman dengan Ramos et al. (2018), Kang et al. (2020) dan Esmaeilian et al. (2018) juga berpendapat penggunaan teknologi dalam mengelola sampah di pemukiman dan perkotaan menjadi penting. Smart city menjadi salah satu konsep yang terintegrasi dalam system pengelolaan sampah. Geetha et al. (2022) juga berpendapat bahwa Robot juga dapat digunakan untuk membantu pengelolaan sampah. Kolaborasi robot dan manusia akan menjadikan kombinasi yang tepat dalam pengelolaan sampah.
4. Teori Bourdieu pada Sistem Pengelolaan Sampah Berkelanjutan
Dalam kaitannya dengan akuntansi manajemen, teori sosiologi budaya yang dikembangkan Bourdieu menyatakan bahwa individu dan masyarakat adalah jalinan timbal-balik, bahwa struktur objektif kebudayaan dan representasi subjektif individu terjalin secara dialektis, saling mempengaruhi dan berpaut dalam sebuah praktik.
Formula relasi antara individu dan struktur dengan relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena yaitu (Habitus x Kapital) + Arena = Praksis, dengan menggunakan strategi tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa kondisi yang menjadikan terjadinya praksis kultural, yakni dengan bertemunya habitus dan kapital para agen dalam arena (Syakir, 2016).
Dalam konteks pelestarian lingkungan, terdapat  modal utama di dalam arena pengelohan sampah, yaitu (1) modal ekonomi, (2) modal budaya termasuk di dalamnya modal intelektual. Modal ekonomi merupakan modal yang berupa modal fisik bersifat keuangan seperti uang,  biaya yang digunakan untuk membangun sistem pengolahan sampah dan masuk ke dalam arena. Modal kultural menyoroti kompetensi dan pengetahun yang digunakan untuk melakukan pengolahan sampah.
Dalam sistem pengelolaan sampah, Bourdieu menjelaskan posisi arena kultural berada dalam posisi sub ordinat atau terdominasi dalam arena kekusaan yang prinsip legitimasinya didasarkan pada kepemilikan modal ekonomi atau modal politik. Dengan kata lain arena kultural berada di dalam arena kekuasaan atau politik.
Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan sampah, terdapat beberapa kubu yang dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kubu yang mengehendaki pengelolaan sampah melalui pembakaran tanpa menghasilkan produk yang berguna (tradisional), dan kubu yang menghendaki pengolahan sampah yang menghasilkan listrik atau produk yang berguna lainnya dan berkesinambungan (modern).