Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengatur Keuangan Sesuai Isi Kantong

14 Februari 2018   07:11 Diperbarui: 1 Maret 2018   04:12 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengatur post pengeluaran- dokumentasi pribadi

Di timeline Facebook saya, sedang terjadi keributan kecil perihal uang 2.5 juta rupiah. Lho kenapa, dengan uang dua juta limaratus ribu?

Ada sebuah akun FB, berbagi strategi tentang cara mengelola keuangan keluarga si pemilik akun tersebut --disertai foto perhitungannya.

Dengan pemasukan sebesar dua setengah juta, pemilik akun ini bisa mengatur --sedemikian rupa---keuangan. Hasilnya --entah nyata atau sekedar status FB---cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selama sebulan.

Kalau benar, bagus kan ya, beliau bisa berhemat dan berbagi pengalaman.

Sontak, status FB tersebut memicu reaksi netizen. Ada yang dengan terang-terangan, menunjukkan sikap berseberangan.

Namun,  ada juga yang adem ayem menanggapi. Biasalah, setiap situasi pasti ada pro dan kontra. Ketika menyambangi akun dimaksud dan meng-add, empunya tidak mau menerima di wall tertulis "Maaf tidak menerima pertemanan dulu, belum siap dibully" begitu kira-kira

Saya sih, lebih memilih sebagai penonton saja. Toh, kalau memang uang segitu cukup untuk sebulan, ya biarin saja tho --hehehe.

Atau kalau mau, bisa lho mempraktekkan, siapa tahu berhasil dan bisa membuktikan sendiri --dibawa santai saja hehehe.

Screen Short status FB yang memicu pro kontra -dokpri
Screen Short status FB yang memicu pro kontra -dokpri
00oo00 

Saya pernah hadir, dalam sebuah acara Talkshow membahas pengelolaan keuangan diadakan sebuah bank swasta.

Kala itu menghadirkan narasumber Prita Ghozie, seorang Financial Planner, penulis, pengajar, pemilik UMKM dan motivation kenamaan.

"Biaya hidup itu murah, yang bikin mahal itu gaya hidup, " ungkap Prita Ghozie

Ibu dua anak ini, mengajak peserta talkshow --kebanyakan kelahiran tahun 70 s.d 80-an--mengingat-ingat gaji pertama kali bekerja.

Masih tinggal di rumah kost, kemana-mana naik kendaraan umum, nyuci, setrika, masak, semua dilakukan serba sendiri --berlaku bagi pekerja perantau  tentunya--.

Ya,  kali pertama bekerja. Pekerjaan didapat, buah dari melamar kesana kemari, berbekal ijazah SMA atau ijasah setelah lulus kuliah. Atau mungkin, ada yang ngampus sekalian nyambi bekerja

Mendekati tanggal akhir bulan mulai girang, saat dipanggil bos masuk ruangan.  Duduk sebentar, kemudian menerima amplop berisi uang---dulu gaji belum pakai transfer---.

Saya yakin --karena juga ngalamin--, gaji pertama --biasanya -- jumlahnya belum seberapa. Apalagi kalau (maaf) tenaga rendah --saya dulu juga tenaga rendah --, gaji yang didapat bisa jadi sangat ngepas.

"Tapi cukup kan?" tanya Prita Gozie, "Setelah gaji bertambah, biasanya tambahannya ada saja"

Saya mengangguk sepakat, mencerna apa yang disampaikan narasumber. Sekecil apapun gaji pertama kali bekerja, buktinya saya bisa bertahan sampai sekarang.

Prita Gozie, finacial planer - dokumentasi pribadi
Prita Gozie, finacial planer - dokumentasi pribadi
Memang sih, kala itu makan seadanya---jarang banget pakai daging atau ayam--. Pergi kemanapun, naik angkot, naik bus kota, tak jarang jalan kaki---biasanya kalau masuk ke komplek perumahan.

Sesengsara- sengsaranya keadaan, setidaknya saat itu masih tetap bisa bertahan. Ada saja rejeki, meski untuk sekedar makan.

Mulai dari undangan ikut pengajian di masjid, bantuin tetangga kost yang hajatan, jadi panitia acara di lingkungan atau kerjabakti di RT atau kelurahan.

Dari kegiatan- kegiatan ini, masalah isi perut bisa diselesaikan. Lumayan kan, uang jatah makan siang atau makan malam bisa disimpan.

Namanya juga manusia, setelah gaji bertambah pengin beli ini dan itu yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Biasanya nebeng nonton teve di kost teman, pengin beli teve sendiri --otomatis nambah bayar listrik ke ibu kost.

Biasanya nyuci sendiri seminggu sekali, mulai deh pengin nge-laundry. Uang jatah detergent -- sebungkus bisa lebih dari sebulan---bisa habis sekali laundry

Seiring bertambahnya penghasilan, --biasanya-- dibarengi keinginan (catat keinginan bukan kebutuhan) baru yang mulai bermunculan.

Penginnya punya jadwal nonton bioskop, setidaknya seminggu sekali. Kemudian pengin juga dong --biar kaya orang-orang--, nongkrong di cafe --mula-mula---sebulan sekali.

Awalnya memang benar sebulan sekali, tapi lama-lama berubah menjadi dua minggu sekali, selanjutnya seminggu sekali dan seterusnya.

Ya, setiap keputusan diambil memang mengandung resiko masing-masing. Termasuk dalam hal pengeloaan keuangan, memilih berhemat atau boros mengadung konsekwensi.

Saya pernnah membaca sebuah buku, tentang analogi sebuah perencanaan keuangan. Misalnya punya uang 25 ribu, ya memang isa habis untuk sekali makan. Asalkan memilih menu ayam bakar plus tempe (taruh kata 18 ribu) dan jeruk anget ( 5 ribu), kerupuk ( 2 ribu).

Tapi dengan uang yang sama, ternyata bisa untuk makan dua atau tiga orang sekali makan -- untuk diolah sendiri--.

Misal beli beras seliter ( pilih yang harga 9 ribu), beli tempe mentah (satu potong di tukang sayur 4 ribu, bisa lebih sekali masak) dan sisanya beli sayuran (masak tumis).

Perhitungan tersebut, dengan kondisi sudah punya persediaan minyak goreng, sudah punya gas untuk kompor, sedia rice cooker untuk masak nasi --seperti rumah tangga pada umumnya.

Manusia dihadirkan ke muka bumi sebagai mahluk yang kreatif. Dengan uang yang dimiliki --menurut saya--, sangat bisa dikelola sedemikian rupa.

Tentu dibarengi usaha keras dan bekerja cerdas, untuk meraih pendapatan yang lebih baik. siapapun tidak pengin kan, punya penghasilan yang segitu-gitu saja.

Setelah punya pendapatan lebih baik, memilih gaya hidup lama alias tidak berubah --menurut saya--, ya tidak masalah.

Tapi, semua sikap adalah pilihan. Tak elok, kalau "menghakimi." Standart setiap orang berbeda, apa yang menurut diri sendiri baik, belum tentu pas untuk orang lain.---salam sehat ya--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun