"Biaya hidup itu murah, yang bikin mahal itu gaya hidup, " ungkap Prita Ghozie
Ibu dua anak ini, mengajak peserta talkshow --kebanyakan kelahiran tahun 70 s.d 80-an--mengingat-ingat gaji pertama kali bekerja.
Masih tinggal di rumah kost, kemana-mana naik kendaraan umum, nyuci, setrika, masak, semua dilakukan serba sendiri --berlaku bagi pekerja perantau  tentunya--.
Ya, Â kali pertama bekerja. Pekerjaan didapat, buah dari melamar kesana kemari, berbekal ijazah SMA atau ijasah setelah lulus kuliah. Atau mungkin, ada yang ngampus sekalian nyambi bekerja
Mendekati tanggal akhir bulan mulai girang, saat dipanggil bos masuk ruangan. Â Duduk sebentar, kemudian menerima amplop berisi uang---dulu gaji belum pakai transfer---.
Saya yakin --karena juga ngalamin--, gaji pertama --biasanya -- jumlahnya belum seberapa. Apalagi kalau (maaf) tenaga rendah --saya dulu juga tenaga rendah --, gaji yang didapat bisa jadi sangat ngepas.
"Tapi cukup kan?" tanya Prita Gozie, "Setelah gaji bertambah, biasanya tambahannya ada saja"
Saya mengangguk sepakat, mencerna apa yang disampaikan narasumber. Sekecil apapun gaji pertama kali bekerja, buktinya saya bisa bertahan sampai sekarang.
Sesengsara- sengsaranya keadaan, setidaknya saat itu masih tetap bisa bertahan. Ada saja rejeki, meski untuk sekedar makan.
Mulai dari undangan ikut pengajian di masjid, bantuin tetangga kost yang hajatan, jadi panitia acara di lingkungan atau kerjabakti di RT atau kelurahan.