Saya adalah ayah dan pekerja mandiri, cukup rajin mengantar ke sekolah anak. Tahu nama kawan akrab, bahkan nama yang sedang masuk daftar black list pertemanan anak. Saya tak canggung menyapa, ketika berpapasan dengan sahabat karib.
"Hallo Thoriq" sapa saya berpapasan di gerbang sekolah usai anak turun dari motor
Mengantar ke sekolah, adalah prosesi sederhana namun sarat nilai. Â Selama di perjalanan, anak bisa berkisah apa saja yang dialami. Saya menyiapkan telinga lebar-lebar, mendengar dan memberi masukan.
Belajar dari pengalaman masa lampau, saya bertekad mengoreksi keadaan. Hubungan antara orang tua dan saya, kala itu didominasi sikap kaku. Ayah sangat kami hormati, tidak terlalu dekat secara psikologis dengan anak-anaknya. Pun ibu sebagai tumpahan cerita, beliau memposisikan hanya sebagai pendengar saja.
Mungkin akibat keterbatasan ilmu pengasuhan, mereka kurang bisa luwes mengeskpresikan perasaan. Ayah seorang guru SD pelosok desa, setia mendampingi anaknya belajar pada malam hari. Interaksi yang berlangsung, nyaris seperti interaksi guru dan murid di sekolah. Ibu yang hanya lulusan Sekolah Dasar, kurang bisa memberi pertimbangan ketika saya berbagi kisah.
"Lha menurutmu bagaimana enaknya?" jawaban yang bertanya kerap keluar dari mulut ibu.
Tapi ada sisi positifnya !
Berangkat dari keluguan dan kesahajaan itulah, saya tumbuh menjadi anak tidak neko-neko. Ketika berseragam abu-abu putih, memilih tak bergabung dengan geng nongkrong di terminal. Pun saat teman sebangku mulai merokok, tak terbersit niat mengikuti jejak mereka.
Keadaan ekonomi keluarga pas-pasan, menjadi pertimbangan utama dalam mengambil sikap. Tumbuh rasa kasihan di benak, melihat orang tua banting tulang peras keringat. Hingga terbetik satu kalimat menginspirasi, "Kalau tidak bisa membantu orang tua, minimal jangan menyusahkan"
- Merekam kisah yang jauh terlewati , saya mengambil satu kesimpulan. Komunikasi antara  saya dan orang tua, cenderung terjadi satu arah. Terutama ayah banyak pengalaman hidup, merasa paling banyak tahu. Kami anak-anaknya yang masih bergantung, tak ada pilihan kecuali mengikuti kehendak-.
Ibarat bom waktu, akhirnya meledak !!
Saya protes keras, saat ayah menentukan fakultas waktu test Perguruan Tinggi. Saya menolak dengan tegas, karena tak menguasai jurusan yang dikehendakinya.
Hati ini langsung ciut, langkah ini gamang menuju kota tempat test berlangsung. Perasaan bimbang menguasai, antara optimis dan pesimis batasnya setipis kulit ari. Soal- soal ujian dijawab sekenanya, tak terlalu memikirkan nilai yang diperoleh.
Endingnya bisa ditebak, nomor dan nama saya tidak ada di pengumuman. Saya mendadak limbung, antara sedih tak lolos atau lega.
Menggunakan ijazah SMA, untuk mencari pekerjaan adalah pilihan. Setahun setelah bekerja, saya memutuskan kuliah dengan biaya sendiri. Dengan menghidupi diri dan membayar sekolah sendiri, saya merasa bebas menentukan langkah.
Komunikasi Kata Kunci !
Kejadian tak mengenakkan usai lulus SMA, sejatinya tak lebih seperti sebuah akumulasi. Komunikasi yang tak seimbang, menanam ketidaknyamanan umumnya di pihak anak.
Saya tetap mengambil sisi baik, semua kisah adalah cara Tuhan membuka jalan pada kemandirian. Pada ujung usia belasan, saya mulai bekerja dan belajar menghidupi diri sendiri.
Pada dunia kampus, saya membuka selapang pemikiran menampung semua pengetahuan. Banyak melibatkan diri di lingkungan kaum cendekia, "mencuri" pemikiran-pemikiran brilian mereka. Empat tahun melakoni kuliah sembari bekerja, hampir minim waktu untuk diri sendiri.
Forum diskusi, ajang seminar, ruang berkesenian, berubah menjadi tempat yang menggairahkan. Semakin banyak tabungan ilmu, saya yakini memupuk kearifan dalam bersikap.
Anakmu bukan anakmu
Mereka putra putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Lewat engkau mereka lahir, tapi tidak dari engkau
Berikan kasih sayangmu
Namun jangan sodorkan pikiranmmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri
-
Patut kau beri rumah untuk raganya
Namun tidak bagi jiwanya
Jiwa mereka adalah  penghuni masa depan
Yang tak bisa kau kunjungi sekalipun lewat mimpi
--
Engkau bisa menyerupai mereka
Namun jangan buat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Ataupun tenggelam ke masa lampau
Meresapi kata demi kata pada cuplikan puisi ini, saya langsung jatuh suka dengan buku berjudul "Sang Nabi" karya Kahlil Gibran ini. Puisi super keren ini saya dengar pertama kali, ketika artis Novia Kolopaking membacakan dalam sebuah acara bersama Cak Nun (masih calon suami saat itu).
Saya yang masih kuliah dan belum menikah, bertekad terus belajar memperbaiki mindset. Kelak setelah menikah, harus menjadi ayah yang berbeda dari ayah saya. Tetap mengambil sisi postif ayah, sekaligus mengoreksi sikap atau hal yang perlu dikoreksi.
Membaca buku tentang parenting, terbuka pencerahan tentang usia emas pada anak-anak. Pada umur 0 sampai 7 tahun, adalah golden moment membangun kedekatan emosi dengan anak. Anak yang dekat dengan ayah dan bunda, akan memiliki figur untuk dijadikan panutan. Mereka lebih bisa dikontrol, karena memiliki tempat nyaman untuk bercerita.
Bayangkan!!
Kalau anak enggan bercerita pada ayah dan bundanya, akan ada ruang hampa di hatinya. Bisa jadi akan diisi dengan hal lain, mungkin sifat tertutup atau sikap yang susah ditebak kemauannya.
"sudah nikmati saja masa sekarang, nanti kalau anak sudah besar kamu kangen main bersama" nasehat seorang teman senior pada saya.
Memang bermain dengan anak capek juga, tapi masa itu tidak panjang jadi gunakan sebaiknya. Dua anak relatif dekat dengan saya ayahnya, mereka bisa memeluk dan mencium kapan saja. Pun saya tak menjaga jarak, bersedia terlibat dan melibatkan diri bermain bersama anak-anak.
Saya biasa mengganti popok lho, ikut repot mengalihkan perhatian ketika anak disapih ASI. -#BukanPamerYa hehe-
Sungguh saya nikmati proses dan kedekatan itu, pun sulung yang kelas lima mengingatnya. Masih  ingat satu kejadian, anak-anak tidak tidur menunggu saya ayahnya pulang lembur.
Masa itu berakhir juga
Sampai usia Sulung menjelang delapan tahun, bebarengan kenaikan kelas dua Sekolah Dasar. Mulailah lelaki kecil ini, perlahan tapi pasti punya dunia sendiri. Jarak itu mulai terasa, anak lebih senang bermain dengan sebaya dari pada dengan saya ayahnya.
Anak mulai malu dicium, atau digandeng ketika jalan beriringan. Beberapa keperluan yang melibatkan anak, saya bersusah payah merayu untuk diajak.
"kakak sudah besar, gak harus selalu bersama ayah" protesnya suatu ketika
Tapi sepenuhnya saya menyadari, bahwa roda masa terus berderap berputar. Anak sudah mulai besar, harus didukung menentukan pilihan sendiri. Toh saya tetap bisa mengekspresikan rasa sayang, tentu dengan cara berbeda.
Saya beruntung lho, punya waktu khusus hanya saya dan anak lanang yang menikmati.
Sejak masuk Taman Kanak hingga kini jelang kelas lima, rutinitas pagi berdua itu belum juga pudar. Â Adalah -mengantar sekolah-, sulung bersama saya dan adiknya diantar ibunya.
Kesempatan emas tak disia-siakan. Waktu  tempuh sekitar duapuluh menit dari rumah ke sekolah, terasa begitu sangat berharga demi membangun kedekatan. Tak pernah saya biarkan, waktu mengantar ke sekolah berlalu begitu saja. Saya banyak bertanya, tentang apa yang terjadi di sekolah baik dengan guru atau teman sekelas.
Saya mendengarkan dengan antusias, ketika anak berkisah apapun bahkan yang (menurut saya) terlihat remeh temeh. Seperti kebiasaan teman pipis sembarangan, atau teman lain suka pakai baju kedodoran. Saya menanggapi juga dengan sungguh, menganggap ceritanya adalah masalah serius untuk ukuran usianya.
Mengantar Anak ke Sekolah
Gerakan "Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah" dari Kemdikbud, adalah sebuah gerakan yang patut disambut antusias.
Gerakan ini tentu banyak manfaat, sekaligus titik awal orang tua untuk :
- Berkenalan dengan wali kelas, guru serta Kepala Sekolah
- Menceritakan kondisi dan karakter anak saat di rumah
- Betanya dan memberi masukan mengenai pembelajaran satu tahun ke depan
- Bertukar kontak dengan wali kelas, guru dan kepala sekolah
- Mengapresiasi guru karena telah mendidik anak kita
- Memberi bantuan (ide/ material) untuk kegiatan penunjang pembelajaran
- Berkenalan dengan orang tua murid lainnya
Justru kalau memungkinkan, orang tua tidak mengkhususkan di hari pertama saja. Apabila dirasa berdampak baik, kenapa tidak dilanjutkan pada hari kedua ketiga dan selanjutnya.Â
Eh saya juga tahu, primadona yang diincer teman sekelas.
"Kalau kakak, siapa idola di sekolah?" ledek saya menyungging senyum
"Kakak pengin fokus sekolah, nanti kalau besar penginnya langsung menikah gak usah pacaran" jawabnya diplomatis.
Begitulah beberapa cuplik dialog, tanpa sadar mengantar kami sampai di depan gerbang sekolah. Sembari mencium tangan dan hendak berpisah, saya selipkan doa dengan suara yang terdengar anak.
"Semoga anakku menjadi anak soleh, sehat dan cerdas" begitu asa kerap saya hembuskan
Sejenak kemudian, biasanya ada teman yang menghampiri. Â "Hallo Bagas" sapa saya ketika sobat ini mendekati kami
Yup, Saya ayah yang ikut mengakrabi karib anak saya. Pun saya ayah, yang mencoba meluruskan pandangan anak yang kurang tepat terhadap suatu keadaan.
"Mungkin Toriq sedang kesal, jadi gak balas salam kamu" saya mencoba meluruskan situasi.
Saya berandai-andai, kalau setiap ayah atau ibu menyediakan diri memanfaatkan waktu pagi. Ayah atau ibu mengantar anak sekolah, sembari berangkat ke tempat tugas masing-masing.
Betapa Mengantar Anak Sekolah, menjadi ajang berdialog dan cerita dari hati ke hati. Terlebih bagi anak-anak di bangku SD, sangat perlu pendampingan terutama mental maupun psikologis.
"Al Ummu Madrosatul Ulla" atau Ibu adalah sekolah pertama !
Ibu bersama ayah tentunya, adalah guru sejati  sekaligus peletak pondasi mental bagi anak-anaknya. Tugas pengajaran tak bisa serta merta, hanya diserahkan pada guru disekolah saja.
Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dibanding melewatkan jam pelajaran di sekolah. Â Sudah selayaknya rumah menjadi "laboratorium", sekolah diposisikan sebagai komponen pendukung. Guru disekolah difungsikan sebagai penyambung pendidikan di rumah, biarlah orang tua yang memegang predikat guru sejati bagi anaknya sendiri. Guru di sekolah sangat bisa menjadi partner, untuk mengawal perkembangan buah hati.
Anak Ibarat anak panah yang melesat secepat kilat, pasti karena dukungan busur (orang tua) yang perkasa.
(melanjutkan puisi Khalil Gibran)
Engkaulah busur, Â Anakmu ibarat anak panah
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian
Dia merentangkanmu dengan kuasaNYA
Hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat
-o-
Bersukacitaah dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab DIA mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana dikasihiNYA pula busur yang mantap
Kalau saja para orang tua, mau menyisihkan waktu berkorban mengantar anak ke sekolah. Bukan hal yang musthil, kelak anak-anak tumbuh menjadi pribadi riang penuh percaya diri.
Menjadi pribadi tangguh menghadapi rintangan, tak gampang mengadu dan belajar menyelesaikan masalah sendiri. Ketika podasi mental dalam diri anak sudah kuat, kelak onak dan duri kehidupan niscaya siap diarungi.
Menjadikan anak-anak tangguh, pasti berangkat dari orang tua yang tangguh pula. Melahirkan anak-anak yang berbudi, tentu dimulai dari orang tua yang menanamkan budi. Yakinlah, Hasil Tak Pernah Mengkhianati Usaha. (wassalam)