Saya protes keras, saat ayah menentukan fakultas waktu test Perguruan Tinggi. Saya menolak dengan tegas, karena tak menguasai jurusan yang dikehendakinya.
Hati ini langsung ciut, langkah ini gamang menuju kota tempat test berlangsung. Perasaan bimbang menguasai, antara optimis dan pesimis batasnya setipis kulit ari. Soal- soal ujian dijawab sekenanya, tak terlalu memikirkan nilai yang diperoleh.
Endingnya bisa ditebak, nomor dan nama saya tidak ada di pengumuman. Saya mendadak limbung, antara sedih tak lolos atau lega.
Menggunakan ijazah SMA, untuk mencari pekerjaan adalah pilihan. Setahun setelah bekerja, saya memutuskan kuliah dengan biaya sendiri. Dengan menghidupi diri dan membayar sekolah sendiri, saya merasa bebas menentukan langkah.
Komunikasi Kata Kunci !
Kejadian tak mengenakkan usai lulus SMA, sejatinya tak lebih seperti sebuah akumulasi. Komunikasi yang tak seimbang, menanam ketidaknyamanan umumnya di pihak anak.
Saya tetap mengambil sisi baik, semua kisah adalah cara Tuhan membuka jalan pada kemandirian. Pada ujung usia belasan, saya mulai bekerja dan belajar menghidupi diri sendiri.
Pada dunia kampus, saya membuka selapang pemikiran menampung semua pengetahuan. Banyak melibatkan diri di lingkungan kaum cendekia, "mencuri" pemikiran-pemikiran brilian mereka. Empat tahun melakoni kuliah sembari bekerja, hampir minim waktu untuk diri sendiri.
Forum diskusi, ajang seminar, ruang berkesenian, berubah menjadi tempat yang menggairahkan. Semakin banyak tabungan ilmu, saya yakini memupuk kearifan dalam bersikap.
Anakmu bukan anakmu
Mereka putra putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri