Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Cerpen] Ibu, Lebaran ini Aku Tak Pulang

22 Juli 2015   07:49 Diperbarui: 22 Juli 2015   07:49 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="illustrasi Kampung Halaman- dokpri"][/caption]

Kehidupan membentangkan jalan panjang, untuk ditempuh masing masing manusia. Setiap orang memiliki badai dan onak duri sendiri, tak ada pilihan lain kecuali menjalani. Setiap proses sejatinya menjanjikan kekokohan "kuda-kuda" mental, selama manusia pintar mengais hikmah dari setiap kejadian. Bukankah semesta tak bakal "mengecilkan", siapapun makhluk cipataan-NYA. Sekecil kejadian apapun sungguh tak ada yang sia-sia, semua skenario Maha Pencipta demi kebaikan manusia.

Hanafi baru saja berpindah tanah perantauan, dari Kota Pahlawan beralih ke Kota Megapolitan. Meski keduanya sama-sama kota besar, namun dua kota ini tetap berbeda karakter. Mobilitas Jakarta jauh lebih padat dari bayangan, bahkan tantangannya tak kalah mengairahkan. Keseharian selalu bergelut kemacetan lalu lintas, belum lagi polusi kalau panas atau banjir saat musim hujan tiba.

Tantangan hidup Hanafi tak hanya menghadapi Jakarta, pertanyaan ibupun ternyata menjadi tantangan tersendiri.

Tak terasa usia seperempat abad dilewati sudah, sejak dua tahun lalu saat masih di Surabaya. Hari peralihan usia terasa ada "beban" berlebih dipundak, menghalau pertanyaan yang sama terutama dari ibunda.

"Han..., kapan calonmu dikenalkan dan diajak pulang" suara ibu dari ujung telepon

Bukan perkara mudah menyampaikan jawaban, menahan perasaan jengkel butuh tenaga ekstra. Se- tidak enak apapun pertanyaan ibu, tak hendak dijawab dengan kalimat tak sopan.

"Doain saja buk.....semoga cepat ketemu" balas Hanafi menggantung.

Biasanya Hanafi buru-buru membuat alasan, demi menghindari obrolan berlanjut dan ngelantur. Yang sudah sudah biasanya akan diceramahi, temanya selalu seragam tak lepas dari masalah rumah tangga.

"kalau sudah cukup umur jangan ditunda, kasihan nanti kalau punya anak bapaknya sudah berumur...bla bla bla......bla."

*Hanafi diam seribu bahasa, hening sehening heningnya, tak bersemangat membalas satu katapun, bahkan kalau bisa suara nafas ditahan semampunya*

"Han....Han....., kamu masih ada kan" suara ibu meyakinkan anaknya masih mendengar

"Enggih" jawab Hanafi singkat dan cepat

"Kalau dibilangin orangtua dengerin, ini demi kebaikanmu...bla bla bla...................."

Hanafi mula-mula memaklumi kekhawatiran ibu, tapi lama lama jadi "mati gaya" setiap kali bahasan jodoh mengemuka. Ada kesan anak yang harus memikirkan perasaan orang tua, tapi apakah orang tua juga berpikir kegelisahan sang anak ya. (sudahlah)

*0-o-0*

Memang bukan perkara mudah menemukan pendamping hidup, Hanafi bukan tak pernah berusaha mencarinya. Sebagai anak muda yang relatif tak cukup gaul, Hanafi memilih jalan yang lempeng (e dibaca seperti kata "seneng").

Pergaulan dengan kawan perempuan sekedarnya, kalau menaruh perasaan ditampakkan dengan hati-hati. Mungkin karena faktor kehati-hatian inilah menjadi pangkal, teman perempuan "diserobot" orang lain yang tak mau kalah cepat. Tak ada alasan untuk marah, karena perasaan suka masih dipendam dalam hati saja.

Ada beberapa teman perempuan yang sempat naksir, tapi karena tidak sreg dengan halus ditolak. Bahkan ada yang terang-terangan menyatakan diri kepada Hanafi, namun dilepas karena lagi-lagi merasa tak pas di hati.

"Kamu mau cari yang kaya apa" suara ibu dari ujung telepon "kalau mau cari yang sempurna tidak bakalan ketemu" lanjutnya

Hanafi memilih diam tak menjawab, satu kalimat saja diucapkan "ceramah" ibu tak berkesudahan.

"Jangan nolak perempuan, nanti malah gak dapet" kalimat ibu diujung percakapan

Kalimat terakhir sempat menjadi pikiran, muncul tanya apakah keadaan yang dialami semacam karma. Tapi Hanafi merasa cara penolakannya cukup sopan, kalaupun si perempuan sakit hati berarti di luar kuasanya. *Alias Salah Dia Sendiri*.

[caption caption="illustrasi Kampung Halaman- dokpri"]

[/caption]

Ramadhan sudah memasuki minggu terakhir, Hanafi tak terlihat bergegas mencari tiket mudik. Hatinya dipenuhi kebimbangan langkahnya penuh keraguan, apa untungnya pulang selain merasa diri dipecundangi. Kalau pertanyaan ibu memang sudah biasa dan bisa ditepis, yang menambah beban adalah pertanyaan tetangga atau kerabat jauh.

"Lha Mas Han,..mana mbaknya"pertanyaan terlontar dengan wajah tanpa dosa

"Han..Piye kabare, anakku sudah dua" ujar kakak kelas semasa SD "berapa anakmu sekarang"

"Ayo to Han, keburu tua nanti" saran sahabat semasa SMP

Ada satu teman akrab saat SD sempat Hanafi temui, tiga kali pulang tiga kali pula istrinya hamil. Sang suami sekelas dengan Hanafi lulus SD tak melanjutkan, istrinya adik kelas yang juga kenal baik.

"Han..tiga kali ketemu kok belum bawa calonmu" ledeknya

"Biarin, daripada bojomu juga tiga kali ketemu meteng (hamil) melulu" Hanafi balas meledek

Tawapun meledak dari keduanya, dua sahabat yang tak ada tedeng aling-aling.

Khusus dengan sepasang suami istri ini Hanafi tak ada beban, derita yang ada seolah menjadi bahan lelucon. Apapaun kalimat yang mereka ucapkan, tak ada sedikitpun yang membuat tersinggung. Kebiasaan saling meledek dan menjatuhkan, sudah dimulai sejak dulu berusia belia.

-0-o-0-

Nada handphone berdering usai subuh ditunaikan, bunyi yang terdengar sudah sangat dikenal. Hanafi meraih alat komunikasi tanpa tenaga, pikirannya cepat berputar mengira-ngira yang bakal ditanya. Jawaban seputar rencana mudik sudah dipersiapkan, lengkap dengan alasan yang akurat.

"Buk..maaf lebaran ini saya dapat jatah piket kantor jadi gak bisa pulang " jawab Hanafi berat.

[caption caption="illustrasi Kampung Halaman- dokpri"]

[/caption]

Handphone kembali diletakkan pikirannya melayang, langit- langit di kamar kost terlihat begitu kusam. Segera diraih kembali gadget canggih, sebuah pesan dikirim pada teman kantor. Suami istri berbeda divisi di perusahaan yang sama, Hanafi sekantor mengenal baik keduanya.

"Ton, lebaran besok aku nginep tiga hari di rumahmu ya" sebuah pesan dikirim lewat chatt

"Lho gak mudik" balasan diterima

"Enggak, aku pengin merasakan suasana lain" balas Hanafi beralasan

Sahabatnya yang asli Bogor tak merasa keberatan, kebetulan istri sang sahabat juga asli sawangan. Hanafi bingung harus gembira atau bersedih, langit- langit di kamar kost tetap saja kusam.

Ibu,..Lebaran ini aku tidak pulang..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun