"Han....Han....., kamu masih ada kan" suara ibu meyakinkan anaknya masih mendengar
"Enggih" jawab Hanafi singkat dan cepat
"Kalau dibilangin orangtua dengerin, ini demi kebaikanmu...bla bla bla...................."
Hanafi mula-mula memaklumi kekhawatiran ibu, tapi lama lama jadi "mati gaya" setiap kali bahasan jodoh mengemuka. Ada kesan anak yang harus memikirkan perasaan orang tua, tapi apakah orang tua juga berpikir kegelisahan sang anak ya. (sudahlah)
*0-o-0*
Memang bukan perkara mudah menemukan pendamping hidup, Hanafi bukan tak pernah berusaha mencarinya. Sebagai anak muda yang relatif tak cukup gaul, Hanafi memilih jalan yang lempeng (e dibaca seperti kata "seneng").
Pergaulan dengan kawan perempuan sekedarnya, kalau menaruh perasaan ditampakkan dengan hati-hati. Mungkin karena faktor kehati-hatian inilah menjadi pangkal, teman perempuan "diserobot" orang lain yang tak mau kalah cepat. Tak ada alasan untuk marah, karena perasaan suka masih dipendam dalam hati saja.
Ada beberapa teman perempuan yang sempat naksir, tapi karena tidak sreg dengan halus ditolak. Bahkan ada yang terang-terangan menyatakan diri kepada Hanafi, namun dilepas karena lagi-lagi merasa tak pas di hati.
"Kamu mau cari yang kaya apa" suara ibu dari ujung telepon "kalau mau cari yang sempurna tidak bakalan ketemu" lanjutnya
Hanafi memilih diam tak menjawab, satu kalimat saja diucapkan "ceramah" ibu tak berkesudahan.
"Jangan nolak perempuan, nanti malah gak dapet" kalimat ibu diujung percakapan