Mohon tunggu...
Agus Santosa
Agus Santosa Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Sosiologi pada SMA Negeri 3 Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cerita Mengikuti Olimpiade Guru Nasional 2017 #1

1 Desember 2018   16:09 Diperbarui: 1 Desember 2018   16:19 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini pernah saya unggah di blog pribadi saya, agsasman3yk.wordpress.com, tapi sore ini ada keinginan untuk mengunggahnya di Kompasiana ini.  Barangkali karena saya baru saja menemukan pasword akun Kompasiana saya. Begini ceritanya.

Berawal dari Menang WO di tingkat Kota Yogyakarta

Kronologi sehingga saya mengikuti OGN 2017, berawal dari menang "W.O." (Walk Over, meminjam istilah di pertandingan olah raga dan lainnya, seseorang atau sekelompok peserta lomba dianggap menang karena "lawan"-nya tidak hadir) di tingkat Kota Yogyakarta. 

Pada kurang lebih bulan April 2017, sebagai Ketua MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sosiologi Kota Yogyakarta, saya mendapatkan pesan melalui aplikasi WA (WhatsApp) dari salah seorang staf Balai Dikmen (Pendidikan Menengah) Kota Yogyakarta -- Mbak Rini, bahwa ketua MGMP diminta mengadakan seleksi guru untuk mengikuti OGN sesuai bidang ilmunya masing-masing di Tingkat DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). 

Saya pun akhirnya membuat semacam pengumuman melalui group WA Guru Sosiologi Kota Yogyakarta. Terjadi sahut-sahutan respon di group WA oleh para anggota group tentang siapa yang harus maju pada OGN DIY, walaupun sampai batas waktu akhir pengajuan nama tidak ada satu pun guru sosiologi yang bersedia. 

Saya pun melapor ke Balai Dikmen Kota Yogyakarta, melalui pesan WA kepada mbak Rini staf Balai Dikmen, bahwa MGMP Sosiologi belum bisa mengirimkan nama, dan oleh mbak Rini diberi toleransi waktu sampai Senin. Ketika itu hari Jumat.

Kembali saya menyampaikan kepada teman-teman guru Sosiologi Kota Yogyakarta tentang hal ini, tetapi hingga Senin saya belum berhasil mendapatkan nama atau memaksa salah seorang guru pun yang bersedia mengikuti OGN. 

Sampai akhirnya, Selasa, 25 April 2017, ketika itu saya dalam perjalanan pulang dari acara silaturahmi tentang penyusunan soal USBN dengan teman-teman MGMP Sosiologi Kabupaten Temanggung di SMA Negeri 1 Temanggung, mbak Rini menelpon saya bahwa untuk Sosiologi harus ada wakilnya, dan oleh Ibu Kepala Balai Dikmen diputuskan saya yang harus mewakili Kota Yogyakarta dalam OGN Sosiologi. 

Apapun alasan dan keberatan yang saya sampaikan kepada beliau tidak diterima, "Pokoknya Bapak yang saya daftarkan, sesuai dengan yang diputuskan ibu Kepala Balai Dikmen", demikian kalimat terakhir mbak Rini melalui telepon pada waktu itu. Demikianlah, artinya saya menang "WO" dalam OGN di tingkat kota Yogyakarta.

Waktu terus bergulir, saya telah lupa tentang hal itu, sampai mendapat undangan dari Balai Dikmen Kota Yogyakarta untuk datang mengikuti pengarahan kepala Balai Dikmen kepada peserta OGN, guru dan pengawas berprestasi yang akan maju di tingkat DIY, pada Jumat, 28 April 2017. 

Saya pun memenuhi undangan itu, dengan tekat sekedar menjalankan tugas. Dinformasikan dalam pengarahan itu bahwa seleksi di tingkat DIY akan diselenggarakan pada antara 3 sampai dengan 4 Mei 2017. 

Saya pun senang, karena ketika pertemuan pengarahan berlangsung saya mendapat pesan Ibu Arie Tristiani dari Direktorat Pembinaan SMA Direktorat Jenderal Dikdasmen, bahwa saya diminta untuk menjalankan tugas dalam pendampingan penyegaran IK (Instruktur Kabupaten) Kurikulum SMA 2013 di Propinsi NTB (Nusa Tengggara Barat), saya berfikir tugas ini dapat menjadi alasan untuk tidak mengikuti seleksi OGN di DIY, karena hari tanggal pelaksanaannya berhimpitan. Ternyata, seleksi OGN DIY dilaksanakan pada Selasa, 16 Mei 2017. Saya pun harus mengikutinya karena tidak memiliki alasan untuk menghindarinya.

Seleksi di tingkat DIY

Tanpa persiapan yang berarti, saya mengikuti seleksi OGN di DIY, pada Selasa, 16 Mei 2017. Datang tepat waktu, artinya begitu sampai di tempat pelaksanaan di Kantor Dinas Dikpora (Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga) DIY, tes seleksi pun dimulai. Tidak sempat berlama-lama ngobrol dengan teman-teman dari kabupaten lain atau bidang lain. 

Terus terang pada kesempatan ini saya tidak percaya diri, karena merasa sudah tidak pada waktunya lagi mengikuti lomba. Kesadaran tentang usia saya membuat saya berperasaan seperti ini. Ini mestinya kesempatan bagi yang masih muda. Dengan semangat "sekedar menjalankan tugas" dari Ibu Rr. Suhartati (saya memanggilnya mbak Tatik) Kepala Balai Dikmen Kota Yogyakarta, saya mengikuti seleksi OGN Bidang Sosiologi tingkat DIY.

Tidak mau (takut) malu di tingkat Nasional

Saya lupa tepatnya hari dan tanggal, tetapi itu terjadi di pertengahan Juni 2017, sepulang dari kerja, seperti biasanya saya duduk di kursi kerja di rumah dan membuka HP (Handphone), ternyata banyak ucapan selamat dari teman-teman di grup WA dan pesan pribadi, bahwa saya masuk menjadi salah satu dari 15 finalis OGN Tingkat Nasional bidang Sosiologi. Mengapa 15? Mengapa tidak semua provinsi ada wakilnya? Ternyata, nominasi itu didasarkan pada pemeringkatan secara nasional. 

Nilai dari tes seleksi di tingkat provinsi diolah secara nasional kemudian diambil 15 terbaik. Kembali perasaan tidak nyaman muncul di pikiran dan hati saya, dan itu terbawa sampai saya tidur dan bangun kembali pada kurang lebih pukul 03 pagi, bahkan sampai perjalanan saya ke Mushola Kampung untuk berjamaah shalat subuh.

Setelah adzan dan shalat sunnat, dalam duduk menunggu waktu iqomat, pikiran tidak nyaman karena berbagai alasan itu pun masih terasakan. Tapi, tiba-tiba muncul pikiran lain, bahwa saya tidak boleh, atau tepatnya takut, mendapatkan malu di OGN Tingkat Nasional. Maka saya berniat dan bertekat untuk mengikutinya dengan sebaik-baiknya dan tidak sekedar menjalankan tugas. Saya pun menyiapkan diri, langkah pertama yang saya lakukan mencari tahu tentang OGN di internet. Informasi dari internet tidak memuaskan. 

Saya pun menghubungi seorang teman di MGMP Sosiologi Kota Yogyakarta, Ririn Wahyu Priyanti -- Guru Sosiologi di SMA Negeri 5 Yogyakarta, yang pada OGN 2016 meraih prestasi mendapatkan Medali Perak. Dari mbak Ririn saya mendapatkan informasi yang cukup memadai. Saya pun bertekat menyiapkan diri sebaik-baiknya, sampai akhirnya mendapatkan undangan mengikuti OGN Tingkat Nasional dari Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan yang akan diselenggarakan di Yogyakarta mulai Selasa sampai dengan Jumat, tanggal 18 sampai dengan 21 Juli 2017. Sebenarnya saya mengharapkan OGN Tingkat Nasionalnya diselenggarakan di kota lain, sehingga sekaligus saya dapat menikmati perjalanan ke kota lain.

Pada undangan jelas disampaikan apa saja yang harus disiapkan oleh peserta, kurang lebih ada 13 poin. Kembali perasaan tidak percaya diri muncul di pikiran dan hati saya. Di antara 13 poin persyaratan, yang kemudian membuat gundah adalah bahwa setiap peserta harus membuat tulisan Best Practice, sebuah tulisan tentang praktik baik yang pernah dilakukan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Sepanjang menjalankan profesi guru sejak 1987, saya belum pernah menuliskan praktik baik ini. Agar tidak mendapatkan malu di tingkat nasional, saya pun harus belajar tentang penulisan praktik baik ini.

Menuliskan Best Practice

Sadar belum pernah mendapatkan ilmu tentang bagaimana menuliskan praktik baik menjadi sebuah tulisan BP (best practice), saya pun mencari tahu tentang hal ini, dan seperti biasanya, langkah pertama adalah mencarinya di internet. Kecuali itu, saya pun bertanya kepada guru-guru di sekolah tempat saya mengajar yang menurut pengetahuan saya tahu banyak tentang BP. 

Pertama kepada pak Didik Purwaka, guru pembimbing OSN dan OPSI, cukup banyak informasi dari pak Didik. Banyak hal tentang BP juga saya dapat dari Guru Pembimbing TIK, Bu Devy Estu Anna Putri yang baru saja menyelesaikan studi S2-nya, juga dari pak Ichwan dan bu Nanik Rahayu. Merujuk pada seluk-beluk per-BP-an yang telah saya dapatkan, saya pun mengingat-ingat, tepatnya mencari-cari, praktik baik apa yang pernah saya lakukan di sekolah ini.

Suatu pagi saya mengungkapkan tentang kebingungan saya, tepatnya mengeluh, kepada pak Ichwan Aryono, guru fisika dan wakasek kurikulum yang meja kerjanya di samping saya. "aku ra duwe praktik baik sik tau tak lokoni nggon mulangke sosiologi, je. Padahal nggon OGN kudu gawe best practice" demikian keluhan saya dalam bahasa Jawa kepada pak Ichwan pagi itu. 

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya, saya tidak punya pengalaman praktik baik dalam mengajarkan sosiologi, padahal dalam mengikuti OGN harus punya tulisan tentang BP. Spontan pak Ichwan menjawab dalam bahasa Jawa, "lha nek bocah-bocah do klarahan nang ngisor kae, jarene iso luwih detail memperhatikan murid", artinya kurang lebih "kalau anak-anak belajar sosiologi sambil lesehan di lantai itu, katanya menjadi lebih punya waktu untuk memperhatikan murid". 

Saya memang sering dan cenderung membelajarkan siswa-siswa saya dalam suasana yang santai dan dengan rasa senang. Para murid belajar sosiologi dapat di mana saja, kadang duduk-duduk lesehan di sepanjang teras (koridor) di depan kelas, kadang di taman kotak, taman bundar, atau di bawah pohon yang sangat rindang di halaman tengah sekolah. Kadang yang lain, menonton film di ruang multi media 1.

Suatu malam, tiba-tiba saya mendapatkan ide tentang apa yang harus saya tulis menjadi tulisan BP. Ketika itu kurang lebih jam sembilan malam, saya teringat tentang kegelisahan saya yang tidak pernah saya tampakkan di hadapan siapa saja, bahwa anak-anak IPS SMA Negeri 3 Yogyakarta itu adalah anak-anak yang berpotensi untuk prestasi tinggi, tetapi mengapa hasil UN (Ujian Nasional)-nya, khususnya sosiologi, akhir-akhir ini tidak pernah menjadi yang terbaik di DIY. 

Saya merasa pembelajaran sosiologi kurang menarik bagi anak-anak murid saya dari segi konten atau materinya. Murid-murid pun kurang aktif dalam belajar. Di kelas sosiologi saya masih sering mendapatkan beberapa murid saya yang tidak konsen dalam belajar, bahkan di kelas pembelajaran sosiologi masih saja ada yang membicarakan hal-hal yang di luar topik pembelajaran. Mereka --anak-anak-anak murid saya itu-- hanya tertarik oleh gaya kesantaian saya dalam membelajarkan sosiologi kepada mereka. 

Pemahaman mereka tentang sosiologi kurang maksimal. Dalam penilaian harian maupun penilaian akhir semester, masih saja ada yang capaian kompetensinya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Sangat jarang yang mencapai kriteria nilai AMAT BAIK. Paling banyak pada nilai BAIK atau CUKUP saja. Padahal mereka adalah murid-murid terbaik di DIY,

Saya ingat, dalam silaturahmi dan berbagai pakai informasi antara MGMP Sosiologi Kota Yogyakarta dengan para dosen Departemen Sosiologi UGM pada sekitar bulan Nobember 2016, hari tanggalnya lupa, ada Pak Arie Djito, pak Najib Azca, pak Andreas, mbak Wahyu, mbak atau bu Amel, pak Muhammad Supraja, dan lain-lainnya, kami sempat mendapatkan pencerahan dan juga tentang ketegasan tentang "kebenaran konsep" sosiologi yang ada di buku-buku sosiologi SMA yang beredar di pasaran buku sekolah. 

Pada pertemuan itu juga, kami mendapatkan beberapa film dokumenter yang dapat digunakan sebagai media untuk lebih memahamkan murid terhadap konsep-konsep bahan-bahan kajian sosiologi. Saya ingat bahwa beberapa film dokumenter dari UGM itu pernah saya gunakan sebagai media membelajarkan anak-anak murid saya tentang konflik, kekerasan, dan perdamaian. 

Dua film yang saya gunakan, yaitu "Di Belakang Hotel", sebuah film tentang permasalah seputar dampak dari menjamurnya hotel-hotel di Yogyakarta, dan "Samin versus Semen", yaitu film tentang konflik yang muncul sebagai dampak dibangunnya pabrik Semen di kawasan Gunung Kendeng Jawa Tengah. 

Pembelajaran dengan media film ini saya pikir merupakan praktik baik yang pernah saya lakukan. Model pembelajaran yang saya gunakan ketika itu adalah student created case study, atau studi kasus. Model pembelajaran ini menyerupai Problem Based Learning, tetapi dalam bentuk yang lebih sederhana, objeknya adalah peristiwa yang secara nyata terjadi dalam masyarakat. Maka, saya tulis BP tentang itu.

Tulisan BP versi pertama sejumlah 13 halaman, mengikut ketentuan sistematika yang wajib diikuti oleh peserta OGN yang ditetapkan oleh panitia di Kesharlindung (Kesejahteraan dan Perlindungan) Dirjen GTK. Saya belum yakin tentang BP saya. Saya pun konsultasi dengan guru muda di sekolah saya, pertama naskah itu saya tunjukkan ke pak Didik Purwaka. Beberapa masukan saya dapatkan dari pak Didik, sehingga tulisan saya memenuhi kriteria sebagai BP yang baik.

Pada kesempatan diberikan pengarahan dan pembekalan oleh Dinas Dikpora DIY, dalam forum itu dihadirkan untuk memberikan informasi adalah guru-guru yang pernah mengikuti dan mendapatkan kejuaraan di OGN tahun sebelumnya, saya tunjukkan BP yang saya tulis dan telah saya perbaiki kepada peraih perak OGN Sosiologi 2016, Bu Ririn Wahyu Priyanti. Tak ada masukan darinya, kecuali ucapan "Ya, seperti ini. Ok. Siap maju OGN dan mendapatkan medali emas". Saya tahu maksud teman saya yang juga sekretaris di MGMP Sosiologi Kota Yogyakarta itu untuk memberikan semangat, tetapi justru ini menjadikan saya dalam tekanan berat karena merasa tidak akan mampu mewujudkan itu.

Tulisan BP saya insya Allah semakin baik setelah saya dipertemukan dengan Prof. Idris Harta, MA, Ph.D. dalam pertemuan yang difasilitasi Dinas Dikpora DIY. Walaupun hanya dalam waktu singkat, Prof. Idris telah memberikan arahan, bimbingan, pembetulan, dan juga melakukan tes similarity atas karya BP dari semua finalis OGN dari DIY. 

Berdasarkan bimbingan yang berlangsung kurang lebih hanya dua jam itu, saya membenahi BP yang saya tulis. Hasil tes similarity BP yang menunjukkan angka 5 persen (konon kabarnya kalau dari tes similarity dihasilkan angak 20 persen atau lebih, maka karya itu dinyatakan hasil plagiarisme) membuat saya memiliki kepercayaan diri atas BP yang saya tulis. 

Pada dua hari menjelang deadline pengiriman BP, saya merasa telah cukup dalam membenahi BP, maka saya kirimkan BP ke panitia pusat melalui e-mail pada 13 Juli 2017. Plong rasanya. Tinggal menyiapkan diri dan menunggu waktu untuk datang di Arena OGN 2017 di Hotel UNY Yogyakarta.

Di Arena OGN: Mengikuti OGN dalam tekanan pikiran

Tibalah hari yang ditentukan. Selasa, 18 Juli 2017, kurang lebih pukul 12.20 WIB, setelah shalat dhuhur berjamaah di Masjid Kampus UNY yang megah, saya pun check in di Hotel UNY. Kepada panitia saya menyerahkan persyaratan peserta, termasuk BP. Perasaan deg-degan pun muncul, telah hadir banyak finalis dari provinsi lain. Sambil menunggu acara ceramah penguatan karakter peserta didik yang akan disampaikan oleh Prof. Suyanto, dosen senior UNY, mantan Rektor UNY, dan mantan Dirjen Mandikdasmen, saya sempat bertemu dengan para finalis Bidang Sosiologi yang ternyata beberapa saya telah mengenalnya. 

Ada pak Abdul Wahab, Guru SMA Madania Bogor, kebetulan pernah bertemu pada acara Diklat IN Kurikulum 2013 di Sawangan Bogor pada Januari 2016, ada Bu Widi Hidayati, anggota MGMP Sosiologi Kabupaten Banjar Negara yang pernah mengundang saya pada acara Workshop USBN MGMP Sosiologi Banjar Negara, ada Bu Rita Indawatik, dari SMA Negeri 2 Sragen, teman yang aktif di grup WA IGMP Sosiologi Indonesia, ada Pak Iwan Priyono dari Magelang, dengan pak Iwan saya pernah bertemu di Kegiatan MGMP Sosiologi Kabupaten Magelang, ada pak Ismail dari SMA N 12 Semarang, seorang IP (Instruktur Propinsi) Kurikulum 2013. 

Dengan beberapa teman yang lain belum pernah bertemu. Saya mulai mengenal mereka pada acara esuk hari sebelum menuju ke kampus FIS UNY untuk mengikuti workshop eksperimen, ada mbak Asteria, seorang guru yang masih sangat muda dari SMAN CMBBS Banten, ibu Sukarlin dari SMAN 3 Bengkulu, Ibu Vivih Hartati dari SMA Dwi Warna Bogor, Pak Firman Fajar dari SMA IT Nurul Fikri Depok, Ibu Nurul Khatimah, dari SMAN 1 Karangrejo Tulungagung, pak Haryadi orang Bantul yang mengajar di SMAN 4 Pangkal Pinang, Ibu Rina Hermana yang juga finalis OGN 2016 dari SMAN 1 Sumatera Barat, serta Ibu Guru cantik dari SMA Negeri 1 Tigapanah Karo Sumatera Utara, Ibu Des Syofianti.

Hari Pertama: tes teori

Tes teori dilaksanakan pada hari pertama, Selasa, 18 Juli 2017, mulai pukul 20.00 sampai dengan 21.30. Setiap peserta diharuskan duduk di kursi yang telah ditentukan di Ball Room Hotel. Peserta tidak boleh menggunakan alat hitung apapun. HP harus dalam keadaan mati dan dimasukkan dalam tas masing-masing. 

Pengawasan sangat ketat, oleh Bapak/Ibu dari Puspendik Balitbang Kemdikbud. Setiap peserta dalam tes ini harus menyelesaikan 100 soal pilihan ganda yang terdiri atas 50 butir soal sesuai dengan bidang keilmuan dan 50 soal pedagogik. Waktu yang disediakan 90 menit. Peserta menjawab menggunakan LJK (Lembar Jawab Komputer). Saya memulai dengan doa dalam mengerjakan soal-soal tes teori ini. Menghitamkan bundaran dalam LJK dengan pensil 2B yang dipinjamkan oleh panitia ternyata cukup merepotkan bagi saya. Saya lupa kapan terakhir melakukan pekerjaan ini, pasti sudah lebih dari lima tahun yang lalu.

Detik demi detik berlalu, soal-soal bidang keilmuan relatif menguras pikiran. Dengan stam (pernyataan) pada beberapa soal yang sukar dipahami dan panjang-panjang cukup melelahkan mata dan pikiran. Beberapa soal bahkan membuat saya tidak dapat menemukan jawabannya. 

Beberapa soal lagi membuat saya gemas, karena permasalahan pada aspek materi, konstruksi, dan bahasa yang menurut hemat saya tidak memenuhi kriteria sebagai soal yang baik. Hampir saja saya memosisikan diri sebagai reviewer soal, lupa kalau ini tes yang sebagai peserta saya harus mengerjakan dan menyelesaikannya. 

Kegemasan juga muncul ketika saya mendapatkan soal dengan tingkat kognitif yang rendah, yaitu mengingat, "Perubahan sosial adalah ... Definisi tersebut dikemukakan oleh ... muncul empat option: A. Kingsley Davis, B. Emmile Durkheim, C. ... ". Kalau dalam tugas review soal, jelas soal demikian saya serahkan kembali kepada pembuat untuk dirombak total. Apalagi sekarang ini sedang gencar-gencarnya pelatihan penyusunan soal HOTS (Higher Order Thinking Skills). Saya berprasangka baik, barangkali memang soal-soal ini dibuat dengan tuntutan presisi kebenaran yang sangat tinggi, sehingga hanya peserta yang benar-benar faham yang dapat menjawabnya secara benar.

Kerepotan dalam menjawab soal juga saya alami ketika harus mengerjakan soal-soal pedagogik. Beberapa soal masih merujuk pada Kurikulum 2013 generasi pertama, padahal Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah merevisinya, dan beberapa permendikbud tentang itu sudah digantikan dengan permendikbud baru. Tetapi tetap saja, soal harus dikerjakan. Saya tetap berprasangka baik, panitia menguji peserta dengan semua ketentuan pada kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia.

Ketika peringatan waktu tinggal 10 menit diberikan, saya baru selesai pada nomor soal 80. Masih ada 20 soal yang belum saya kerjakan. Berarti saya hanya punya waktu rata-rata setengah menit untuk mencermati setiap soal. Saya diuntungkan oleh sering ditugaskan oleh Direktorat Pembinaan SMA dalam pelatihan dan penyegaran kurikulum 2013 sebagai salah seorang IN (Instruktur Nasional). 

Permasalahan atau pertanyaan yang diungkap dalam soal yang masih 20 butir itu sudah sering saya hadapi dalam tugas, maka selesai lah saya mengerjakan 100 butir soal dalam 90 menit. Tentang hasil, saya tidak begitu mempedulikan, yang penting bagi saya, saya telah mengerjakan dengan kemampuan maksimal jiwa raga saya, sampai pandangan mata gelap dalam melihat kejauhan karena selama 90 menit lebih banyak menundukkan wajah dan melihat kertas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun