Sadar belum pernah mendapatkan ilmu tentang bagaimana menuliskan praktik baik menjadi sebuah tulisan BP (best practice), saya pun mencari tahu tentang hal ini, dan seperti biasanya, langkah pertama adalah mencarinya di internet. Kecuali itu, saya pun bertanya kepada guru-guru di sekolah tempat saya mengajar yang menurut pengetahuan saya tahu banyak tentang BP.Â
Pertama kepada pak Didik Purwaka, guru pembimbing OSN dan OPSI, cukup banyak informasi dari pak Didik. Banyak hal tentang BP juga saya dapat dari Guru Pembimbing TIK, Bu Devy Estu Anna Putri yang baru saja menyelesaikan studi S2-nya, juga dari pak Ichwan dan bu Nanik Rahayu. Merujuk pada seluk-beluk per-BP-an yang telah saya dapatkan, saya pun mengingat-ingat, tepatnya mencari-cari, praktik baik apa yang pernah saya lakukan di sekolah ini.
Suatu pagi saya mengungkapkan tentang kebingungan saya, tepatnya mengeluh, kepada pak Ichwan Aryono, guru fisika dan wakasek kurikulum yang meja kerjanya di samping saya. "aku ra duwe praktik baik sik tau tak lokoni nggon mulangke sosiologi, je. Padahal nggon OGN kudu gawe best practice" demikian keluhan saya dalam bahasa Jawa kepada pak Ichwan pagi itu.Â
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya, saya tidak punya pengalaman praktik baik dalam mengajarkan sosiologi, padahal dalam mengikuti OGN harus punya tulisan tentang BP. Spontan pak Ichwan menjawab dalam bahasa Jawa, "lha nek bocah-bocah do klarahan nang ngisor kae, jarene iso luwih detail memperhatikan murid", artinya kurang lebih "kalau anak-anak belajar sosiologi sambil lesehan di lantai itu, katanya menjadi lebih punya waktu untuk memperhatikan murid".Â
Saya memang sering dan cenderung membelajarkan siswa-siswa saya dalam suasana yang santai dan dengan rasa senang. Para murid belajar sosiologi dapat di mana saja, kadang duduk-duduk lesehan di sepanjang teras (koridor) di depan kelas, kadang di taman kotak, taman bundar, atau di bawah pohon yang sangat rindang di halaman tengah sekolah. Kadang yang lain, menonton film di ruang multi media 1.
Suatu malam, tiba-tiba saya mendapatkan ide tentang apa yang harus saya tulis menjadi tulisan BP. Ketika itu kurang lebih jam sembilan malam, saya teringat tentang kegelisahan saya yang tidak pernah saya tampakkan di hadapan siapa saja, bahwa anak-anak IPS SMA Negeri 3 Yogyakarta itu adalah anak-anak yang berpotensi untuk prestasi tinggi, tetapi mengapa hasil UN (Ujian Nasional)-nya, khususnya sosiologi, akhir-akhir ini tidak pernah menjadi yang terbaik di DIY.Â
Saya merasa pembelajaran sosiologi kurang menarik bagi anak-anak murid saya dari segi konten atau materinya. Murid-murid pun kurang aktif dalam belajar. Di kelas sosiologi saya masih sering mendapatkan beberapa murid saya yang tidak konsen dalam belajar, bahkan di kelas pembelajaran sosiologi masih saja ada yang membicarakan hal-hal yang di luar topik pembelajaran. Mereka --anak-anak-anak murid saya itu-- hanya tertarik oleh gaya kesantaian saya dalam membelajarkan sosiologi kepada mereka.Â
Pemahaman mereka tentang sosiologi kurang maksimal. Dalam penilaian harian maupun penilaian akhir semester, masih saja ada yang capaian kompetensinya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Sangat jarang yang mencapai kriteria nilai AMAT BAIK. Paling banyak pada nilai BAIK atau CUKUP saja. Padahal mereka adalah murid-murid terbaik di DIY,
Saya ingat, dalam silaturahmi dan berbagai pakai informasi antara MGMP Sosiologi Kota Yogyakarta dengan para dosen Departemen Sosiologi UGM pada sekitar bulan Nobember 2016, hari tanggalnya lupa, ada Pak Arie Djito, pak Najib Azca, pak Andreas, mbak Wahyu, mbak atau bu Amel, pak Muhammad Supraja, dan lain-lainnya, kami sempat mendapatkan pencerahan dan juga tentang ketegasan tentang "kebenaran konsep" sosiologi yang ada di buku-buku sosiologi SMA yang beredar di pasaran buku sekolah.Â
Pada pertemuan itu juga, kami mendapatkan beberapa film dokumenter yang dapat digunakan sebagai media untuk lebih memahamkan murid terhadap konsep-konsep bahan-bahan kajian sosiologi. Saya ingat bahwa beberapa film dokumenter dari UGM itu pernah saya gunakan sebagai media membelajarkan anak-anak murid saya tentang konflik, kekerasan, dan perdamaian.Â
Dua film yang saya gunakan, yaitu "Di Belakang Hotel", sebuah film tentang permasalah seputar dampak dari menjamurnya hotel-hotel di Yogyakarta, dan "Samin versus Semen", yaitu film tentang konflik yang muncul sebagai dampak dibangunnya pabrik Semen di kawasan Gunung Kendeng Jawa Tengah.Â