Tes teori dilaksanakan pada hari pertama, Selasa, 18 Juli 2017, mulai pukul 20.00 sampai dengan 21.30. Setiap peserta diharuskan duduk di kursi yang telah ditentukan di Ball Room Hotel. Peserta tidak boleh menggunakan alat hitung apapun. HP harus dalam keadaan mati dan dimasukkan dalam tas masing-masing.Â
Pengawasan sangat ketat, oleh Bapak/Ibu dari Puspendik Balitbang Kemdikbud. Setiap peserta dalam tes ini harus menyelesaikan 100 soal pilihan ganda yang terdiri atas 50 butir soal sesuai dengan bidang keilmuan dan 50 soal pedagogik. Waktu yang disediakan 90 menit. Peserta menjawab menggunakan LJK (Lembar Jawab Komputer). Saya memulai dengan doa dalam mengerjakan soal-soal tes teori ini. Menghitamkan bundaran dalam LJK dengan pensil 2B yang dipinjamkan oleh panitia ternyata cukup merepotkan bagi saya. Saya lupa kapan terakhir melakukan pekerjaan ini, pasti sudah lebih dari lima tahun yang lalu.
Detik demi detik berlalu, soal-soal bidang keilmuan relatif menguras pikiran. Dengan stam (pernyataan) pada beberapa soal yang sukar dipahami dan panjang-panjang cukup melelahkan mata dan pikiran. Beberapa soal bahkan membuat saya tidak dapat menemukan jawabannya.Â
Beberapa soal lagi membuat saya gemas, karena permasalahan pada aspek materi, konstruksi, dan bahasa yang menurut hemat saya tidak memenuhi kriteria sebagai soal yang baik. Hampir saja saya memosisikan diri sebagai reviewer soal, lupa kalau ini tes yang sebagai peserta saya harus mengerjakan dan menyelesaikannya.Â
Kegemasan juga muncul ketika saya mendapatkan soal dengan tingkat kognitif yang rendah, yaitu mengingat, "Perubahan sosial adalah ... Definisi tersebut dikemukakan oleh ... muncul empat option: A. Kingsley Davis, B. Emmile Durkheim, C. ... ". Kalau dalam tugas review soal, jelas soal demikian saya serahkan kembali kepada pembuat untuk dirombak total. Apalagi sekarang ini sedang gencar-gencarnya pelatihan penyusunan soal HOTS (Higher Order Thinking Skills). Saya berprasangka baik, barangkali memang soal-soal ini dibuat dengan tuntutan presisi kebenaran yang sangat tinggi, sehingga hanya peserta yang benar-benar faham yang dapat menjawabnya secara benar.
Kerepotan dalam menjawab soal juga saya alami ketika harus mengerjakan soal-soal pedagogik. Beberapa soal masih merujuk pada Kurikulum 2013 generasi pertama, padahal Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah merevisinya, dan beberapa permendikbud tentang itu sudah digantikan dengan permendikbud baru. Tetapi tetap saja, soal harus dikerjakan. Saya tetap berprasangka baik, panitia menguji peserta dengan semua ketentuan pada kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia.
Ketika peringatan waktu tinggal 10 menit diberikan, saya baru selesai pada nomor soal 80. Masih ada 20 soal yang belum saya kerjakan. Berarti saya hanya punya waktu rata-rata setengah menit untuk mencermati setiap soal. Saya diuntungkan oleh sering ditugaskan oleh Direktorat Pembinaan SMA dalam pelatihan dan penyegaran kurikulum 2013 sebagai salah seorang IN (Instruktur Nasional).Â
Permasalahan atau pertanyaan yang diungkap dalam soal yang masih 20 butir itu sudah sering saya hadapi dalam tugas, maka selesai lah saya mengerjakan 100 butir soal dalam 90 menit. Tentang hasil, saya tidak begitu mempedulikan, yang penting bagi saya, saya telah mengerjakan dengan kemampuan maksimal jiwa raga saya, sampai pandangan mata gelap dalam melihat kejauhan karena selama 90 menit lebih banyak menundukkan wajah dan melihat kertas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H