Mohon tunggu...
A. Dhira N.
A. Dhira N. Mohon Tunggu... Dokter -

Fresh-graduate Medical Doctor knows nothing, but something.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Indonesia adalah Dokter-dokter yang Paling Hebat di Dunia!

17 Juli 2016   15:21 Diperbarui: 22 Desember 2016   18:39 16008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dok, Anda patut berbangga karena memenangkan peringkat ke-3! Wah, dalam kejuaraan apa, nih? Peringkat ke-3 yang paling sering dipersalahkan oleh rakyat Indonesia setelah Bapak Presiden Joko dan Bapak Gubernur Basuki. Waduuhh…

Emang bener kok. Obat anestesi palsu yang disalahkan anestesiolognya, padahal anestesiolog tidak ikut menempel label pada ampul obat anestesi. Vaksin palsu yang disalahkan pediatrisnya, padahal dokter anak tidak punya kompetensi memeriksa komposisi vaksin dalam setiap vial. Pasien BPJS sakit tapi tidak dapat ditanggung biayanya, yang disalahkan dokternya, padahal iuran BPJSnya nunggak satu tahun. 

Pasien telantar di rumah sakit, yang disalahkan dokternya, padahal dokternya dimutasi ke puskesmas karena berani protes kepada bupati. Protes kepada orthopedis, kok patah tulang saja harus diamputasi, padahal kondisi kaki sudah busuk akibat sebelumnya diurut di sangkal putung. Pasien bersalin meninggal yang disalahkan dokternya, padahal terlambat dirujuk akibat rundingan dengan bapaknya, budhenya, tetangga budhenya, selingkuhan simbahnya, dukun bayinya, dll. 

Being a doctor is like being a goalkeeper, no matter how many goals you save, some people will remember only the one that you missed. In other hand, being a ‘dukun’ is like being Jon Snow, you know nothing but people still worship you.

Bukan bermaksud cengeng, tapi kenapa ya nasib dokter Indonesia begitu memprihatinkan dan selalu saja jadi sasaran kemarahan masyarakat bila terjadi sentinel event di bidang kesehatan? Hmm…  Menurut analisis saya, ini akibat pencitraan dokter di film dan sinetron Indonesia yang hampir selalu antagonis. Bandingkan dengan serial TV dan film dari Amerika, Jepang, maupun Korea. Di sana dokter digambarkan dengan kecerdasan dan keterampilannya dalam belajar dan bekerja, hampir selalu berhasil menyelamatkan pasiennya, serta dapat menggapai kesuksesan from zero to hero. Lha kalau di Indonesia? Eh, maaf, maaf, kan nggak ada produser yang punya budget untuk bikin drama kedokteran yang berkualitas semacam itu. 

Di Indonesia dari zaman film layar tancap, sampai sekarang zaman FTV, dokter sering dicitrakan sebagai seorang yang kaya raya tujuh turunan, terlihat pintar, omongannya berat, sikapnya sombong cenderung arogan, kalau pasien meninggal tinggal bilang: “kami sudah berusaha sebaik mungkin”. Well, kalau Anda produser film atau sinetron semacam itu, ingatlah azab neraka itu pedih, om.

Belum lagi kalau ada berita buruk yang menyangkut dokter atau pelayanan kesehatan di koran maupun televisi, hampir pasti muncul kata-kata: malpraktik, penelantaran, kesengajaan, kesewenang-wenangan, dll. Dibumbui dan digoreng oleh perilaku kebanyakan orang Indonesia kekinian yang imatur, yang hobinya mem-bully di media sosial, menghujat, mengancam, menuntut permintaan maaf berulang-ulang, kalau perlu mempermalukan. Polisikan! Penjarakan! Copot! Miskinkan! Begitu jargon-jargon mereka. Padahal semuanya itu sering belum terbukti bahkan kebanyakan akhirnya tidak pernah terbukti di pengadilan. Tapi nama baik dokter dan dunia kedokteran sudah telanjur rusak, pada akhirnya tidak ada bisa yang memperbaiki.

Tontonan dan percakapan dunia maya seperti itu diulang terus-menerus, lama-lama dianggap sebagai kebenaran di masyarakat, dan menumpuklah rasa tidak suka, antipati, dan kebencian kepada dokter, yang sebenarnya tanpa adanya suatu alasan yang jelas. Bahkan rasa tidak suka ini sudah mulai didoktrinkan oleh orang tua pada anak-anaknya sejak dari balita: nanti kalau nakal disuntik dokter lho, itu lho ada pak dokter jangan rewel, dsb. Cih. Suatu sikap pecundang dan menunjukkan inkompetensi para orang tua prematur di Indonesia.

Jujur, mungkin gambaran dokter Indonesia yang menyebalkan memang pernah Anda temui di tataran nyata. Tapi percayalah, itu hanya oknum. Kalau Anda datang periksa ke seorang dokter jam 9 malam dan baru dilayani jam 10 malam, percayalah, dokter tersebut sudah visit pasien di rumah sakit umum sejak jam 6 pagi, dan masih harus melanjutkan praktik sampai nanti jam 12 malam saat Anda sudah minum obatnya dan tidur. 

Saya rasa wajar ada sedikit kesan lelah, apalagi bila beliau baru saja menjalani hari yang berat. Bila ada sebagian dokter yang selalu bersikap tidak menyenangkan, mungkin terpengaruh dengan pendidikan dokter di zaman kolonial Belanda. Mereka terinspirasi dokter kompeni yang memang penjajah, sehingga ikut-ikutan memperlakukan pasien (dan residennya, koassnya) seperti jajahannya. Tapi hal ini jangan langsung digeneralisir dong.

Lain halnya dengan dokter-dokter yang masih muda-muda sekarang ini, yang sudah lulus belasan SKS kuliah komunikasi, bioetika, patient safety, dan medikolegal. Kami sadar bahwa hubungan dokter dan pasien merupakan sejajar dalam relasi terapeutik. Dokter harus transparan, komunikatif, dan memberi kebebasan pasien untuk memilih metode terapi setelah diberikan penjelasan yang memadai, tanpa pernah boleh menjanjikan kesembuhan. Ini bukan berarti dokter harus menyenangkan semua pihak.  

Seringkali dokter harus memilih pilihan yang buruk daripada pilihan yang lebih buruk. Di sisi lain pasien tidak berhak mengancam, merendahkan martabat, bahkan melakukan penganiayaan terhadap dokter apabila keinginannya tidak dapat terpenuhi. Mungkin jargon ini klise, tapi memang harus terus diulang-ulang supaya Anda yakin: “tidak ada dokter yang ingin mencelakakan pasiennya”.

Saya punya cerita lain di mana dokter mungkin sering juga dianggap ‘serakah’ atau ‘mata duitan’ oleh masyarakat awam. Suatu saat, saya harus menjelaskan tentang kondisi seorang neonatus yang harus dirawat di ruang perinatologi kepada ayahnya. Saya bukan dokter spesialis anak, apalagi konsultan perinatologi, tapi hanya saya yang punya waktu untuk menjelaskan kepada keluarganya. Di akhir penjelasan bapak itu berbisik, “Dok, tolong ya, saya minta keringanan biaya, jangan mahal-mahal ya biaya dokternya, saya keluarga baru, baru pindah dari Jawa Barat, belum ada kerja tetap di sini”. 

Deg. Sakitnya tuh di sini, di pacemaker SA node. Sambil berusaha keras mengatur kontraksi otot-otot fasial untuk meng-adjust ekspresi di antara empati dan simpati saya menjawab,”Baik, pak, nanti bisa dibicarakan dengan bagian administrasi, tenang saja, di sini akan dirawat sebaik-baiknya”. Tidak perlu saya sampaikan saat itu bahwa tidak serupiah pun uang yang nanti dibayarkan keluarga tersebut akan masuk ke rekening saya maupun enam belas rekan saya lainnya yang menjadi dokter internsip di sana. Tapi inti dari kisah di atas adalah kuatnya stigma di masyarakat bahwa dokter di Indonesia sering memasang tarif seenaknya kepada pasien, ibarat pedagang lesehan di tempat wisata yang sering ‘nuthuk’ pembelinya. Padahal tidak seperti itu.

Perlu dipahami bahwa biaya perawatan di rumah sakit itu mencakup obat dan bahan habis pakai, jasa perawat, ahli gizi, makanan dan minuman, petugas kebersihan, administrasi, direksi, keamanan, kamar, dll. selain sebagian untuk jasa medis. Mahal pasti. Jadi memang orang miskin dilarang sakit, orang kaya juga dilarang sakit, semua orang dilarang sakit. Karena sakit itu mahal, hiduplah sehat dan (kalau bisa) jangan pernah sakit! Sayang duitnya kalau dipakai buat sakit-sakitan, mending dipakai buat bikin start-up! Ya kan?

Lucunya, setelah era JKN yang memungkinkan orang berobat gratis (atau paling tidak, bayar lebih murah) ini pun, masih banyak orang yang mempercayakan kesehatannya ke tangan amatir yang tidak pernah belajar dan berlatih di Fakultas Kedokteran: pengobatan alternatif dan herbal yang tidak didukung bukti ilmiah yang kuat. Sudah jelas-jelas kalau berobat di sana pasien harus membayar sendiri (tidak ditanggung BPJS) bahkan mungkin lebih mahal, yang tidak jelas justru adalah dasar ilmu yang mereka pakai. Ingat, testimoni mantan pasien tidak termasuk dalam hierarki evidence-based medicine lho.

Di Indonesia, terapi alternatif dan pengobatan herbal yang minim bukti ilmiah gencar melakukan tipu daya kepada pasien dengan embel-embel: pasti sembuh, tidak perlu operasi, dokter saja menyerah, tidak akan kumat lagi, tanpa nyeri, dll. Iklan yang mereka tayangkan di TV, radio, koran, dan internet selalu bombastis sekali. Pasien yang uneducated dan imatur mudah saja tertipu dan terkuras uangnya hingga puluhan juta. 

Padahal bila dari awal berobat dengan KIS, bisa saja gratis. Bedanya dengan dokter, entah mengapa terapi alternatif, sangkal putung, atau obat herbal ketika mengakibatkan celaka pada pasien jarang sekali dituntut secara hukum maupun diberitakan secara gencar di media massa. Mereka seolah-olah kebal hukum. Sedangkan dokter muda yang jaga malam pakai sandal di IGD saja difoto, dimasukkan koran.

Kondisi krisis kepercayaan kepada dokter Indonesia diperparah dengan banyaknya public figure yang berwisata rumah sakit di negara tetangga. Memang teknologi kedokteran di Indonesia pada beberapa disiplin ilmu masih tertinggal dari negara lain, jadi ada beberapa kasus yang harus dirujuk ke luar negeri, yang teknologinya lebih maju. Bolehlah kalau berobat/operasi di luar negeri karena instrumen operasi atau operatornya tidak ada di Indonesia. Tapi mbok ya kalau kasusnya bisa ditangani di dalam negeri berilah contoh untuk berobat di dokter Indonesia. 

Cintailah produk-produk (Fakultas Kedokteran) dalam negeri! Dokter Indonesia tidak kalah hebat kok. Ini ya, saya kasih tahu kalau belum tahu, kakak-kakak kami, para dokter senior itu sudah sangat terbiasa lho melakukan kateterisasi jantung, transplantasi ginjal, apalagi hanya sekedar operasi kanker payudara, itu rutinitasnya dokter bedah di RSUD, bro. Yaah, kita berdoa sih, jangan sampai bapak-bapak ini harus bertemu dengan dokter tersebut sebagai pasien.

Fenomena selebritis (termasuk artis, politisi, pejabat) dan horang-horang kayah berobat di luar negeri selain karena tidak perlu antre dan bertemu rakyat jelata di negaranya, mungkin memang karena pelayanan di sana yang lebih prima. Semua orang tersenyum ramah, dari petugas administrasi, perawat, cleaning service, bahkan katanya dokter mengajak dinner pasien sehari sebelum operasi. 

Ya jelas harus ramah, wong kalian membawa dollar masuk ke negara mereka je. Jer basuki mawa bea. Ini sebenarnya menjadi masukan bagi kita tenaga kesehatan dan karyawan RS yang bekerja di Indonesia, kita harus bisa memberi pelayanan terbaik kepada pasien dalam kondisi apapun.

Alasan selanjutnya adalah akibat gencarnya promosi dokter di negara tetangga. Dokter di Indonesia terikat UU Praktik Kedokteran yang tidak memperbolehkan memasang iklan tentang kehebatannya. Halah, wong pasang plang praktik saja harus seragam hitam putih kok, boro-boro boleh pasang iklan. Nah, kalau dokter di negara tetangga bebas saja gembar-gembor tentang kehebatannya dan menarik pasien-pasien dari Indonesia. Padahal mungkin sebenarnya pasien tersebut bisa ditangani oleh dokter di dalam negeri yang sama hebatnya. 

Bahkan ada di antara dokter-dokter di luar negri tersebut yang berani menjanjikan kesembuhan. Janji yang sebenarnya haram diucapkan oleh dokter di seluruh dunia. Bila suatu ketika terjadi malpraktik atau ketidakberesan oleh dokter atau RS di luar negeri, pasien dari Indonesia juga pasti akan sulit untuk menuntut dan mengajukan ke ranah hukum, maka dari itu mereka santai mengumbar janji-janji semacam itu.

Alasan terakhir, memang ada beberapa pelayanan mutakhir yang justru lebih murah bila dilakukan di luar negeri karena alat dan bahannya terkena pajak barang mewah saat masuk ke Indonesia. Hmm... Di luar negeri juga bisa sekalian belanja dan liburan keluarga sih.

Sejatinya, bila mau punya dokter Indonesia yang hebat dan nasibnya sejahtera, perlu dukungan politis dari masyarakat untuk menggerakkan pihak-pihak yang berwenang membuat kebijakan. Di Indonesia tidak pernah saya lihat ada pihak yang membela nasib dokter dan rela ikut berkorban untuk memperjuangkannya kecuali dari kalangan dokter itu sendiri. 

Bandingkan di Inggris, saat dokter mogok kerja untuk menuntut jam kerja yang manusiawi, masyarakat non-medis juga ikut berdemo membela para dokter, karena mereka sadar bahwa dokter yang sehat dan bahagia dapat bekerja dengan lebih maksimal. Dokter sejahtera, dokter makin hebat, negara makin sehat. Di negara kita tercinta ini, dokter berani menuntut hak dasarnya pasti dihujat masyarakat, bahkan sampai ada yang dimutasi. WTF?! What the filariasis?!

Salah satu tantangan besar dokter Indonesia juga seringnya mereka terjebak intrik politik dan permainan para penguasa. Bidang kesehatan merupakan bidang yang vital yang sangat dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu seringkali bidang kesehatan dijadikan alat jualan kampanye menjelang Pilkada: pilih saya nanti berobat gratis, puskesmas buka 24/7, pecat yang menolak pasien, mutasi yang minta bayaran ke pasien, nggak apa-apa Puskesmas nombok, kan pengabdian! 

Calon-calon pemimpin yang seperti ini jelas merusak sistem dan mental masyarakat. Pertama, sudah ada JKN yang diselenggarakan oleh BPJSK, sebenarnya di mana-mana berobat ya gratis asal sesuai dengan aturan BPJSK. Adanya kampanye berobat gratis di daerah seringkali tidak sejalan dengan sistem ini. Akibatnya masyarakat jadi enggan untuk menjadi peserta BPJSK. Kedua, orang Indonesia kalau ada yang gratis-gratisan ya pasti dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Wong berobat gratis kok, nggak perlu bayar premi, ngapain berhenti merokok, olahraga, dan diet sehat? 

Tidak jarang saya menegur orang rokokan di depan poliklinik Puskesmas atau lorong rumah sakit. Nanti kalau sakit ya tinggal berobat, gratis kok. Kalau mati ya tinggal dikubur. Mental seperti ini yang membuat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia terpuruk. Ya memang sih, valar morghulis, tapi valar dohaeris juga dong.

Kok dari tadi banyak mengeluh aja sih, jadi dokter kan pengabdian? Nggak usahlah singgung-singgung tentang pengabdian. Dokter Indonesia itu jago sejago-jagonya masalah pengabdian, men! Mungkin satu-satunya sarjana dan profesi yang masih diwajibkan kerja pengabdian di daerah selama satu tahun di Indonesia ya cuma sarjana dan profesi dokter. Sebutannya dokter internsip. Dokter internsip ini sudah jadi dokter sejati lho, punya sertifikat kompetensi hasil dari ujian nasional yang paling sistematis di Indonesia dan juga sudah punya STR. 

Di masa-masa awal program internsip dulu, sering terdengar nasib dokter internsip yang mengenaskan. Bukan lagi pengabdian, tapi perbudakan dan pemerasan. Memang efek samping program internsip ini adalah pemerataan tenaga kesehatan yang bisa dibayar murah, sayangnya tidak diikuti dengan pemerataan fasilitas kesehatan. Obatan-obatan dan peralatan medis  sering kosong di daerah-daerah. Bahkan obat-obatan gawat darurat esensial pun sering tidak tersedia berbulan-bulan. 

Dokter di daerah ibarat tentara yang pergi perang hanya dibekali pisau. Bisa sih dipakai untuk membunuh musuh, tapi bakal lama dan berisiko tinggi. Tapi nasib dokter internsip saat ini sudah lebih baik lah. Terimakasih banyak untuk Kemenkes dan KIDI yang selalu memperjuangkan nasib kami.  Dan saya juga bersyukur masih sempat memilih wahana internsip yang memungkinkan saya untuk benar-benar memantapkan keterampilan dan mengembangkan diri sesuai tujuan awal program ini.

Pesan untuk dokter Indonesia: mari bersama-sama kita tingkatkan kompetensi supaya bisa benar-benar menjadi dokter-dokter terhebat di dunia. Ajak ngobrol pasien dalam waktu yang cukup, dengarkan keluhannya, KIE dengan efektif dan efisien. Tulis appa yang dilakukan, lakukan apa yang ditulis, tandatangani surat persetujuan bersama dengan pasien atau keluarganya. Tapi jangan lupa jaga kesehatan diri sendiri juga, biar waktu melayani pasien tidak terbuang karena sakit. To be a doctor is to teach. To cure sometimes, to relieve often, to comfort always.

Pesan untuk saudara-saudaraku yang sedang atau akan berobat: mari cintai dan percayai dokter Anda dengan sabar. Katakan: “Saya ingin mengetahui lebih lanjut tentang penyakit saya dan rencana terapi ke depan, dok”. Niscaya dokter akan dengan senang hati menjelaskan. Jangan marah kalau dokter Anda bertanya macam-macam. Sampai 80% penegakan diagnosis penyakit bisa didapat hanya dari anamnesis saja, di luar pemeriksaan fisik yang ditutul-tutul itu atau pemeriksaan penunjang. Patuhi saran dokter, tanya lagi sampai mengerti. Love your doctor, love your health.

Lain dari pada yang lain, opini saya ini akan ditutup dengan doa. Wuiiih... Seperti upacara tujuh belasan kan.

Pak dokter dan bu dokter Indonesia, bersama-sama dengan masyarakat, baik dari kalangan medis dan non-medis, nanti malam saat akan beranjak tidur (kecuali yang jaga malam di IGD) mari tundukan kepala, pejamkan mata, dan berdoa, serta bermimpi seperti ini:

1. Semoga dokter dan calon dokter Indonesia diberi ilmu yang berkualitas dan selalu update. Semoga biaya Fakultas Kedokteran bisa diturunkan bahkan gratis, FK tidak lagi dijadikan sapi perah oleh universitas. Biaya seminar dan pelatihan kedokteran bisa diturunkan sehingga terjangkau bagi dokter dari semua tingkat ekonomi. Residen tidak perlu bayar SPP, bahkan digaji karena sudah bekerja untuk RS. Demi meningkatnya pengetahuan dan keterampilan kami. Demi kesembuhan pasien-pasien kami.

2. Semoga nominal anggaran kesehatan dari APBN dan APBD dapat dinaikkan, kepesertaan BPJSK bisa mendekati 100%, klaim INA-CBGs dapat dinaikkan tanpa menaikkan premi iuran. Sehingga dokter dapat memberikan terapi dengan lebih leluasa sesuai kebutuhan pasien, sehingga pasien mau berobat tanpa takut biaya yang besar. Demi kesembuhan pasien-pasien kami.

3. Semoga instrumen, alat diagnostik dan terapi medis yang masih perlu diimpor tidak lagi dikenakan pajak barang mewah agar biaya pelayanan kesehatan jauh lebih murah, sehingga pasien yang membutuhkannya dapat tertangani dengan semestinya. Demi kesembuhan pasien-pasien kami.

4. Semoga dokter internsip, PTT, dan dokter lainnya yang memilih maupun terpaksa bekerja di daerah 3T selalu diberikan keselamatan, kesehatan, dan kelancaran dalam bertugas di tengah segala keterbatasan, kesulitan, dan tantangan di daerah tersebut. Semoga Bantuan Biaya Hidup dan gaji mereka benar-benar cukup untuk bertahan hidup, syukur-syukur bisa ditabung untuk melanjutkan studi atau ikut seminar yang jutaan rupiah itu. Semoga dokter di sana tidak dijadikan kambing hitam dan bulan-bulanan penguasa yang semena-mena, serta dijauhkan dari intrik politik. Supaya dokter bisa fokus bekerja demi kesembuhan pasien-pasien kami.

5. Semoga dokter Indonesia dapat selalu menjaga integritas, kejujuran, dan ketulusan dalam melayani pasien. Selain itu, semoga dokter dapat berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan ilmunya kepada pasien dan keluarganya. Bukan hanya demi kesembuhan pasien-pasien kami, tetapi agar pasien, keluarga, dan lingkungannya bisa mencegah dari terkena penyakit di masa yang akan datang.

6. Semoga dokter Indonesia dijauhkan dari pasien dan keluarga pasien yang tidak mau diajak bekerja sama, jahat, sok tahu, dan hobi bermain ‘dokter-dokteran’. Yang selalu bernafsu menuntut dokter secara hukum, mempermalukan, dan memiskinkan dokter yang sebenarnya tidak bersalah. Terlebih, semoga masyarakat dijauhkan dari tipu daya terapi alternatif dan obat-obatan herbal yang minim bukti ilmiah. Semoga pemerintah menertibkan dan ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

7. Semoga pemerintah dan masyarakat benar-benar menyadari bahaya rokok, baik bagi diri sendiri maupun orang di sekitarnya. Semoga perokok aktif semakin berkurang, dan yang masih tersisa mau sadar diri untuk merokok di tempat pribadi, sehingga tidak meracuni orang lain. Semoga kemudian biaya penanganan penyakit-penyakit akibat rokok pada perokok aktif maupun pasif tidak membebani anggaran kesehatan yang sudah terbatas. Semoga masyarakan mau hidup sehat, berolahraga, makan minum yang  sehat, rekreasi, istirahat yang cukup sehingga tidak sakit dan tidak perlu sering-sering berobat ke dokter.

8. Terakhir, semoga dokter-dokter merana yang masih jomblo segera dipertemukan dengan calon mertua yang masih mencari menantu idaman. Semoga mereka dipersatukan dengan teman hidup yang setia serta mampu memahami dan mendukung dinamika kerja pelayanan dalam suka dan dukanya.

9. Gerakkan tangan kami, pikiran kami, hati kami, dan lidah kami agar ilmu yang telah Engkau singkapkan dapat kami bagikan dan terapkan kepada pasien. Kami berdoa semata-mata demi kesehatan jiwa dan raga serta kualitas hidup seluruh manusia Indonesia. Engkau berkati. Amin.

dr. GRA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun