Alasan selanjutnya adalah akibat gencarnya promosi dokter di negara tetangga. Dokter di Indonesia terikat UU Praktik Kedokteran yang tidak memperbolehkan memasang iklan tentang kehebatannya. Halah, wong pasang plang praktik saja harus seragam hitam putih kok, boro-boro boleh pasang iklan. Nah, kalau dokter di negara tetangga bebas saja gembar-gembor tentang kehebatannya dan menarik pasien-pasien dari Indonesia. Padahal mungkin sebenarnya pasien tersebut bisa ditangani oleh dokter di dalam negeri yang sama hebatnya.Â
Bahkan ada di antara dokter-dokter di luar negri tersebut yang berani menjanjikan kesembuhan. Janji yang sebenarnya haram diucapkan oleh dokter di seluruh dunia. Bila suatu ketika terjadi malpraktik atau ketidakberesan oleh dokter atau RS di luar negeri, pasien dari Indonesia juga pasti akan sulit untuk menuntut dan mengajukan ke ranah hukum, maka dari itu mereka santai mengumbar janji-janji semacam itu.
Alasan terakhir, memang ada beberapa pelayanan mutakhir yang justru lebih murah bila dilakukan di luar negeri karena alat dan bahannya terkena pajak barang mewah saat masuk ke Indonesia. Hmm... Di luar negeri juga bisa sekalian belanja dan liburan keluarga sih.
Sejatinya, bila mau punya dokter Indonesia yang hebat dan nasibnya sejahtera, perlu dukungan politis dari masyarakat untuk menggerakkan pihak-pihak yang berwenang membuat kebijakan. Di Indonesia tidak pernah saya lihat ada pihak yang membela nasib dokter dan rela ikut berkorban untuk memperjuangkannya kecuali dari kalangan dokter itu sendiri.Â
Bandingkan di Inggris, saat dokter mogok kerja untuk menuntut jam kerja yang manusiawi, masyarakat non-medis juga ikut berdemo membela para dokter, karena mereka sadar bahwa dokter yang sehat dan bahagia dapat bekerja dengan lebih maksimal. Dokter sejahtera, dokter makin hebat, negara makin sehat. Di negara kita tercinta ini, dokter berani menuntut hak dasarnya pasti dihujat masyarakat, bahkan sampai ada yang dimutasi. WTF?! What the filariasis?!
Salah satu tantangan besar dokter Indonesia juga seringnya mereka terjebak intrik politik dan permainan para penguasa. Bidang kesehatan merupakan bidang yang vital yang sangat dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu seringkali bidang kesehatan dijadikan alat jualan kampanye menjelang Pilkada: pilih saya nanti berobat gratis, puskesmas buka 24/7, pecat yang menolak pasien, mutasi yang minta bayaran ke pasien, nggak apa-apa Puskesmas nombok, kan pengabdian!Â
Calon-calon pemimpin yang seperti ini jelas merusak sistem dan mental masyarakat. Pertama, sudah ada JKN yang diselenggarakan oleh BPJSK, sebenarnya di mana-mana berobat ya gratis asal sesuai dengan aturan BPJSK. Adanya kampanye berobat gratis di daerah seringkali tidak sejalan dengan sistem ini. Akibatnya masyarakat jadi enggan untuk menjadi peserta BPJSK. Kedua, orang Indonesia kalau ada yang gratis-gratisan ya pasti dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Wong berobat gratis kok, nggak perlu bayar premi, ngapain berhenti merokok, olahraga, dan diet sehat?Â
Tidak jarang saya menegur orang rokokan di depan poliklinik Puskesmas atau lorong rumah sakit. Nanti kalau sakit ya tinggal berobat, gratis kok. Kalau mati ya tinggal dikubur. Mental seperti ini yang membuat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia terpuruk. Ya memang sih, valar morghulis, tapi valar dohaeris juga dong.
Kok dari tadi banyak mengeluh aja sih, jadi dokter kan pengabdian? Nggak usahlah singgung-singgung tentang pengabdian. Dokter Indonesia itu jago sejago-jagonya masalah pengabdian, men! Mungkin satu-satunya sarjana dan profesi yang masih diwajibkan kerja pengabdian di daerah selama satu tahun di Indonesia ya cuma sarjana dan profesi dokter. Sebutannya dokter internsip. Dokter internsip ini sudah jadi dokter sejati lho, punya sertifikat kompetensi hasil dari ujian nasional yang paling sistematis di Indonesia dan juga sudah punya STR.Â
Di masa-masa awal program internsip dulu, sering terdengar nasib dokter internsip yang mengenaskan. Bukan lagi pengabdian, tapi perbudakan dan pemerasan. Memang efek samping program internsip ini adalah pemerataan tenaga kesehatan yang bisa dibayar murah, sayangnya tidak diikuti dengan pemerataan fasilitas kesehatan. Obatan-obatan dan peralatan medis  sering kosong di daerah-daerah. Bahkan obat-obatan gawat darurat esensial pun sering tidak tersedia berbulan-bulan.Â
Dokter di daerah ibarat tentara yang pergi perang hanya dibekali pisau. Bisa sih dipakai untuk membunuh musuh, tapi bakal lama dan berisiko tinggi. Tapi nasib dokter internsip saat ini sudah lebih baik lah. Terimakasih banyak untuk Kemenkes dan KIDI yang selalu memperjuangkan nasib kami. Â Dan saya juga bersyukur masih sempat memilih wahana internsip yang memungkinkan saya untuk benar-benar memantapkan keterampilan dan mengembangkan diri sesuai tujuan awal program ini.