Seringkali dokter harus memilih pilihan yang buruk daripada pilihan yang lebih buruk. Di sisi lain pasien tidak berhak mengancam, merendahkan martabat, bahkan melakukan penganiayaan terhadap dokter apabila keinginannya tidak dapat terpenuhi. Mungkin jargon ini klise, tapi memang harus terus diulang-ulang supaya Anda yakin: “tidak ada dokter yang ingin mencelakakan pasiennya”.
Saya punya cerita lain di mana dokter mungkin sering juga dianggap ‘serakah’ atau ‘mata duitan’ oleh masyarakat awam. Suatu saat, saya harus menjelaskan tentang kondisi seorang neonatus yang harus dirawat di ruang perinatologi kepada ayahnya. Saya bukan dokter spesialis anak, apalagi konsultan perinatologi, tapi hanya saya yang punya waktu untuk menjelaskan kepada keluarganya. Di akhir penjelasan bapak itu berbisik, “Dok, tolong ya, saya minta keringanan biaya, jangan mahal-mahal ya biaya dokternya, saya keluarga baru, baru pindah dari Jawa Barat, belum ada kerja tetap di sini”.
Deg. Sakitnya tuh di sini, di pacemaker SA node. Sambil berusaha keras mengatur kontraksi otot-otot fasial untuk meng-adjust ekspresi di antara empati dan simpati saya menjawab,”Baik, pak, nanti bisa dibicarakan dengan bagian administrasi, tenang saja, di sini akan dirawat sebaik-baiknya”. Tidak perlu saya sampaikan saat itu bahwa tidak serupiah pun uang yang nanti dibayarkan keluarga tersebut akan masuk ke rekening saya maupun enam belas rekan saya lainnya yang menjadi dokter internsip di sana. Tapi inti dari kisah di atas adalah kuatnya stigma di masyarakat bahwa dokter di Indonesia sering memasang tarif seenaknya kepada pasien, ibarat pedagang lesehan di tempat wisata yang sering ‘nuthuk’ pembelinya. Padahal tidak seperti itu.
Perlu dipahami bahwa biaya perawatan di rumah sakit itu mencakup obat dan bahan habis pakai, jasa perawat, ahli gizi, makanan dan minuman, petugas kebersihan, administrasi, direksi, keamanan, kamar, dll. selain sebagian untuk jasa medis. Mahal pasti. Jadi memang orang miskin dilarang sakit, orang kaya juga dilarang sakit, semua orang dilarang sakit. Karena sakit itu mahal, hiduplah sehat dan (kalau bisa) jangan pernah sakit! Sayang duitnya kalau dipakai buat sakit-sakitan, mending dipakai buat bikin start-up! Ya kan?
Lucunya, setelah era JKN yang memungkinkan orang berobat gratis (atau paling tidak, bayar lebih murah) ini pun, masih banyak orang yang mempercayakan kesehatannya ke tangan amatir yang tidak pernah belajar dan berlatih di Fakultas Kedokteran: pengobatan alternatif dan herbal yang tidak didukung bukti ilmiah yang kuat. Sudah jelas-jelas kalau berobat di sana pasien harus membayar sendiri (tidak ditanggung BPJS) bahkan mungkin lebih mahal, yang tidak jelas justru adalah dasar ilmu yang mereka pakai. Ingat, testimoni mantan pasien tidak termasuk dalam hierarki evidence-based medicine lho.
Di Indonesia, terapi alternatif dan pengobatan herbal yang minim bukti ilmiah gencar melakukan tipu daya kepada pasien dengan embel-embel: pasti sembuh, tidak perlu operasi, dokter saja menyerah, tidak akan kumat lagi, tanpa nyeri, dll. Iklan yang mereka tayangkan di TV, radio, koran, dan internet selalu bombastis sekali. Pasien yang uneducated dan imatur mudah saja tertipu dan terkuras uangnya hingga puluhan juta.
Padahal bila dari awal berobat dengan KIS, bisa saja gratis. Bedanya dengan dokter, entah mengapa terapi alternatif, sangkal putung, atau obat herbal ketika mengakibatkan celaka pada pasien jarang sekali dituntut secara hukum maupun diberitakan secara gencar di media massa. Mereka seolah-olah kebal hukum. Sedangkan dokter muda yang jaga malam pakai sandal di IGD saja difoto, dimasukkan koran.
Kondisi krisis kepercayaan kepada dokter Indonesia diperparah dengan banyaknya public figure yang berwisata rumah sakit di negara tetangga. Memang teknologi kedokteran di Indonesia pada beberapa disiplin ilmu masih tertinggal dari negara lain, jadi ada beberapa kasus yang harus dirujuk ke luar negeri, yang teknologinya lebih maju. Bolehlah kalau berobat/operasi di luar negeri karena instrumen operasi atau operatornya tidak ada di Indonesia. Tapi mbok ya kalau kasusnya bisa ditangani di dalam negeri berilah contoh untuk berobat di dokter Indonesia.
Cintailah produk-produk (Fakultas Kedokteran) dalam negeri! Dokter Indonesia tidak kalah hebat kok. Ini ya, saya kasih tahu kalau belum tahu, kakak-kakak kami, para dokter senior itu sudah sangat terbiasa lho melakukan kateterisasi jantung, transplantasi ginjal, apalagi hanya sekedar operasi kanker payudara, itu rutinitasnya dokter bedah di RSUD, bro. Yaah, kita berdoa sih, jangan sampai bapak-bapak ini harus bertemu dengan dokter tersebut sebagai pasien.
Fenomena selebritis (termasuk artis, politisi, pejabat) dan horang-horang kayah berobat di luar negeri selain karena tidak perlu antre dan bertemu rakyat jelata di negaranya, mungkin memang karena pelayanan di sana yang lebih prima. Semua orang tersenyum ramah, dari petugas administrasi, perawat, cleaning service, bahkan katanya dokter mengajak dinner pasien sehari sebelum operasi.
Ya jelas harus ramah, wong kalian membawa dollar masuk ke negara mereka je. Jer basuki mawa bea. Ini sebenarnya menjadi masukan bagi kita tenaga kesehatan dan karyawan RS yang bekerja di Indonesia, kita harus bisa memberi pelayanan terbaik kepada pasien dalam kondisi apapun.