Membaca buku ini saya seperti diingatkan bahwa saya perlu “pulang”: membalikkan badang dan melihat ke orang-orang yang menyayangi dan merawat saya dengan penuh kasih sayang, dan berhenti mencemaskan banyak hal.
“Pulang” bagi saya adalah kembali kepada makna dan martabat keluarga. Keluarga, institusi terkecil dan paling strategis untuk membuat manusia menjadi lebih manusia ini, sering kali dilecehkan martabatnya. Hidup bersama tanpa menikah, perselingkuhan, perceraian, poligami, ataupun kualitas hidup keluarga yang minus karena pola parenting yang keliru membuat keluarga menjadi kehilangan maknanya.
Seandainya Martha tidak punya keluarga yang kuat, pasti susah baginya untuk “pulang”. Kesulitan yang sama yang dialami oleh Patar, teman Nathan, dalam cerita “Menyimpan Sakit”. Kita sulit melihat orang-orang yang menyayangi kita biarpun orang itu berdiri persis di depan kita dan mata kita sehat walafiat karena luka-luka yang ditimbulkan oleh minusnya kualitas hidup berkeluarga.
“Pulang” bagi saya adalah semacam rekoleksi: mengumpulkan kembali serpihan-serpihan diri saya yang tercerai berai karena sakit dan berbagai masalah yang lain. “Pulang” bagi saya adalah saat hening dengan diri saya sendiri. Mengkoreksi, memaafkan, menerima, memahami, dan menyayangi diri saya sendiri. “Pulang” adalah refleksi besar-besaran: saya kembali ke diri saya sendiri (and not pointing finger to others). Seperti yang dikatakan di akhir cerita “Hening”:
“Tapi, semakin keras gemuruhnya, semakin ruang ibadah ini terasa hening. Lalu kulipat tanganku dan menundukkan kepala, mencoba masuk ke dalam keheningan itu.”
“Pulang” bagi saya tentu saja kembali kepadaNya. Cerita “Rahasia” yang secara sangat mencubit hati menceritakan tentang kembalinya Ruben, adik Martha, ke Rumah Bapa, mengingatkan saya bahwa setiap saat pun saya bisa “pulang”, bukan hanya pulang seperti Ruben, tetapi bertemu Bapa saya: melalui doa, melalui pikiran-perkataan-perbuatan yang pantas pada semua ciptaan Bapa saya. Dengan itu, “pulang” adalah “Hidup Yang Hari Ini”, cerita di halaman empatpuluh delapan yang sangat tepat sekali menggambarkan visi saya tentang “pulang”: mengalir dan optimis dengan iman, harapan, dan kasih.
Itulah makna “pulang” dalam novel “Pulang” karya FRS ini.
Saya rasa, tanpa harus mengalami hal subyektif semacam saya, setiap pembaca bisa menikmati novel ini.
Cerita-ceritanya sederhana, sangat menyentuh, dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Saya merekomendasikan novel ini untuk siapa saja yang membutuhkan bacaan yang dalam namun tersampaikan dengan ringan, sederhana, dan manis. Secara khusus saya memuji kaver buku ini. Menurut saya ini adalah desain yang paling bagus di antara tiga buku yang sebelumnya, diikuti “Tuang Ringo”.
Sebagai sesama penulis, saya rasa Fidelis R. Situmorang adalah penulis yang harus diperhitungkan. Yang satu ini bisa-bisa menjadi ancaman buat eksistensi saya (:p). Tapi, saya tidak keberatan.
Pekanbaru, 29 Maret 2014
Agnes Bemoe