Judul Buku: Pulang
Penulis: Fidelis R. Situmorang
Cover : Ray Vanray
Penerbit: Penerbit Sinar David
Genre: Novel
Jumlah Halaman: 106 halaman
Tahun Terbit: Februari 2014
[caption id="attachment_329122" align="alignleft" width="312" caption="Karangan Fidelis R. Situmorang"][/caption]
Sebelumnya saya harus mengakui resensi ini pasti akan menjadi resensi paling subyektif yang pernah saya tulis. Pertama, sebelum membaca, saya tidak lagi punya high expectation terhadap buku ini. Saya sudah langsung percaya bahwa saya akan mendapatkan kepuasan yang sama seperti saya membaca buku-buku Fidelis R. Situmorang sebelumnya (“Remah-Remah Kehidupan”, “Tuan Ringo”, dan “Aku Menciptakan Ibu”). Sama seperti saya akan langsung membeli sebuah buku hanya karena pengarangnya bernama “Sydney Sheldon” atau “Clara Ng”.
Kedua, selama proses membaca, saya menemukan bahwa sangat banyak hal dalam buku ini terkait langsung secara personal kepada saya. Seolah-olah, buku ini ditulis untuk saya pribadi. Oleh karena kedua alasan di atas, sekali lagi saya mengingatkan pembaca, resensi berikut ini pasti sangat subyektif.
Apakah saya mendapatkan kepuasan yang sama seperti saya membaca buku-buku FRS sebelumnya? Jawaban saya “ya” dengan y dan a huruf besar. Cara bertutur FRS yang halus, romantis, manis, sangat membuai tanpa terkesan gombal. Humor-humor kecil yang diselipkan pun sangat pas. Penuturannya tentang kedukaan pun tidak lebay sehingga benar-benar menyentuh.
Dalam resensi saya untuk buku “Remah-Remah Kehidupan” saya menulis:
Fidelis dengan sangat pas menggunakan kata-kata sehari-hari yang langsung terasa dan tertangkap. Fidelis mengisinya dengan kehalusan rasa dan ketulusan. Saya rasa kejeniusannya terletak pada kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang “biasa” menjadi dalam bermakna serta menjaga agar puisi cinta ini tidak jatuh pada barisan rayuan gombal semata.
Saya rasa saya masih akan menggunakan kata-kata yang sama untuk menggambarkan cara kemampuan FRS mengelola emosinya sendiri (dan mempermainkan emosi pembaca).
“Pulang” terdiri dari 24 bab pendek-pendek. Terus terang, awalnya saya menyangka buku ini adalah kumpulan cerpen dengan satu tema besar. Ini karena bab-babnya yang relatif pendek untuk sebuah bab dalam novel. Selain itu POV yang diambil untuk setiap bab pun berbeda-beda.
POV berbeda dalam satu novel memang bukan hal baru. Namun, karena cerita dalam satu bab-nya pendek, saya merasa tidak ada hubungan langsung antara satu cerita dengan cerita lain, kecuali suatu tema besar.
Terlepas dari teknik penulisan yang eksperimental itu, cerita-ceritanya sendiri sungguh luar biasa. Duapuluh empat cerita yang berputar pada keluarga Nathan-Martha, masing-masingnya sungguh kuat menggambarkan pesannya. Saya kagum pada kemampuan FRS menjaga kualitas setiap ceritanya. Ada satu-dua bab yang saya anggap agak lemah, “Buku Doa” misalnya. Tapi untuk cerita ini saya “memaafkan” karena ada twist kisah Amir Sjariffoedin yang menurut saya keren sekali.
Novel ini diawali dengan “Rumah Masa Kecil” yang menggambarkan kegalauan Martha menjelang operasi di payudaranya. “Pulang” yang dijadikan judul novel ini adalah salah satu bab yang menggambarkan kepulangan Martha dari rumah sakit, selepas operasi itu.
Menurut saya, biarpun ada beberapa cerita yang seolah-olah mengajak pembaca untuk pulang secara harafiah (pulang ke rumah, pulang kampung, dll), seperti di cerita-cerita “Kakek”, “Menyimpan Sakit”, “Malam Tahun Baru, “November”, FRS tidak sedang menggunakan kata “pulang” hanya untuk makna denotatifnya saja. FRS mengajak saya untuk jauh mengunyah makna “pulang”. (Sudah saya peringatkan kan, ini resensi yang subyektif).
Ketika membaca buku ini saya sedang dalam keadaan sakit (seperti Martha). Empat bulan saya “invalid” dan hampir dua bulan saya ditangani oleh seorang psikiater (benar, seorang yang bergelar SpKJ, bukan hanya psikolog) karena depresi.
“Pulang” bagi saya adalah kembali ke keluarga. Keluarga bagi saya bukan hanya karena darah melainkan siapa yang benar-benar tulus menyayangi, menemani, dan memperhatikan kita. Martha memiliki Nathan. Untunglah saya juga punya orang sebaik Nathan di sisi saya. Tapi, bila anda pernah sakit, anda pasti tahu bahwa tidak mudah melihat keuntungan seperti itu. Kadang-kadang yang ada di depan hidung kita tidak tampak oleh mata karena kesuntukan pikiran.
Saya memahami sekali ketika dalam cerita “Syukur” Martha berkata:
“Iya… Setelah aku sadari, ternyata derita sakit yang kita alami bisa semakin parah karena rasa takut yang menguasai pikiran kita. Kepala sampai sakit, Than, setiap hari aku disiksa pikiranku sendiri, memikirkan sesuatu yang belum tentu akan terjadi.”
Saya paham karena saya mengalaminya langsung.
Membaca buku ini saya seperti diingatkan bahwa saya perlu “pulang”: membalikkan badang dan melihat ke orang-orang yang menyayangi dan merawat saya dengan penuh kasih sayang, dan berhenti mencemaskan banyak hal.
“Pulang” bagi saya adalah kembali kepada makna dan martabat keluarga. Keluarga, institusi terkecil dan paling strategis untuk membuat manusia menjadi lebih manusia ini, sering kali dilecehkan martabatnya. Hidup bersama tanpa menikah, perselingkuhan, perceraian, poligami, ataupun kualitas hidup keluarga yang minus karena pola parenting yang keliru membuat keluarga menjadi kehilangan maknanya.
Seandainya Martha tidak punya keluarga yang kuat, pasti susah baginya untuk “pulang”. Kesulitan yang sama yang dialami oleh Patar, teman Nathan, dalam cerita “Menyimpan Sakit”. Kita sulit melihat orang-orang yang menyayangi kita biarpun orang itu berdiri persis di depan kita dan mata kita sehat walafiat karena luka-luka yang ditimbulkan oleh minusnya kualitas hidup berkeluarga.
“Pulang” bagi saya adalah semacam rekoleksi: mengumpulkan kembali serpihan-serpihan diri saya yang tercerai berai karena sakit dan berbagai masalah yang lain. “Pulang” bagi saya adalah saat hening dengan diri saya sendiri. Mengkoreksi, memaafkan, menerima, memahami, dan menyayangi diri saya sendiri. “Pulang” adalah refleksi besar-besaran: saya kembali ke diri saya sendiri (and not pointing finger to others). Seperti yang dikatakan di akhir cerita “Hening”:
“Tapi, semakin keras gemuruhnya, semakin ruang ibadah ini terasa hening. Lalu kulipat tanganku dan menundukkan kepala, mencoba masuk ke dalam keheningan itu.”
“Pulang” bagi saya tentu saja kembali kepadaNya. Cerita “Rahasia” yang secara sangat mencubit hati menceritakan tentang kembalinya Ruben, adik Martha, ke Rumah Bapa, mengingatkan saya bahwa setiap saat pun saya bisa “pulang”, bukan hanya pulang seperti Ruben, tetapi bertemu Bapa saya: melalui doa, melalui pikiran-perkataan-perbuatan yang pantas pada semua ciptaan Bapa saya. Dengan itu, “pulang” adalah “Hidup Yang Hari Ini”, cerita di halaman empatpuluh delapan yang sangat tepat sekali menggambarkan visi saya tentang “pulang”: mengalir dan optimis dengan iman, harapan, dan kasih.
Itulah makna “pulang” dalam novel “Pulang” karya FRS ini.
Saya rasa, tanpa harus mengalami hal subyektif semacam saya, setiap pembaca bisa menikmati novel ini.
Cerita-ceritanya sederhana, sangat menyentuh, dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Saya merekomendasikan novel ini untuk siapa saja yang membutuhkan bacaan yang dalam namun tersampaikan dengan ringan, sederhana, dan manis. Secara khusus saya memuji kaver buku ini. Menurut saya ini adalah desain yang paling bagus di antara tiga buku yang sebelumnya, diikuti “Tuang Ringo”.
Sebagai sesama penulis, saya rasa Fidelis R. Situmorang adalah penulis yang harus diperhitungkan. Yang satu ini bisa-bisa menjadi ancaman buat eksistensi saya (:p). Tapi, saya tidak keberatan.
Pekanbaru, 29 Maret 2014
Agnes Bemoe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H