Mohon tunggu...
Agistina Sekarini Kanika
Agistina Sekarini Kanika Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers Mahasiswa

Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pekalongan yang tertarik dibidang menulis dan jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktu Jawaban Kehidupan

30 Juli 2019   13:29 Diperbarui: 30 Juli 2019   13:42 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bisa tuliskan nomormu?" ujar laki-laki berbadan tinggi berparas rupawan, kemudian menyerahkan ponsel kepadaku. Aku mengambilnya dan mulai memainkan jari-jari di angka-angka ponselnya.

            "Badanku sudah tidak enak, ragaku sudah lelah. Lebih baik kita pulang dulu saja" kalimatku malam itu meminta sahabat wanitaku untuk segera pulang dan meninggalkan obrolan diwarung kopi bersama kumpulan manusia baru dalam suatu komunitas.

            Malam ini, aku bermalam dirumah sahabatku. Karena jarak rumahku begitu jauh tidak sanggup sahabat wanitaku ini mengarungi kerasnya jalanan malam-malam hanya untuk mengantarkan manusia merepotkan ini. Aku tidak tega. Dia dengan hati tulusnya menyiapkan selimut untuk menghangatkan badanku, padahal yang butuh kehangatan adalah hatiku. Hatiku dingin hingga sekarang, belum ada seseorang yang tepat menghangatkannya. Beberapa kali dia memintaku untuk tidur, namun pikiranku tidak berhenti bekerja. Layaknya pabrik yang tidak ada jadwal libur.

            "Bagaimana kabarmu dengannya?" tanyaku pada sahabatku.

            "Jarak memisahkan kita." Jawabnya sambil menata posisi terbaik untuk tidur

            "Kamu kuat dengan jarak?" pertanyaan seakan ingin tahu mendalam

            "Untuk saat ini."

            "Lalu, jika sudah tidak?"

            "Kita akan benar berpisah" jawabnya lalu memejamkan mata begitu cepat.

            "Tenang ini semua hanya perihal waktu" ujarku menatap langit-langit kamar.

            Alarm pagi membangunkanku lebih cepat dari biasanya, ku tengok sahabatku dia sudah lebih awal bangun pagi. Sial. Aku keluar dari kamar dengan kaki sedikit gontai, tanganku sibuk menata pandangan mataku yang masih kabur, suasana rumah sepi. Sahabatku, sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk kita berdua.

            "Sepi yaa?" Ujarku

            "Mereka berdua pergi pagi buta dan pulang larut malam. Hanya bisnis yang ada pikiran mereka" jawabnya sambil menggoreng nasi menu andalannya pagi ini. Aroma bumbunya menyengat hingga tulang rusuk, tidak sabar untuk menyantapnya.

            "Tak ada waktu untuk kami saling bercengkrama layaknya keluarga cemara"

            "Itu sebabnya kamu selalu datang kerumahku dan berbincang dengan ibuku?" sahutku

            Dia berhenti memasak, menoleh kearahku dan melemparkan senyum pertanda jawaban.

            Tak lama kemudian, dia membawakan sepiring nasi goreng dengan tatanan sayuran menambah cantik hiasannya. Aku tidak sabar mencicipinya. Dia kali ini sibuk menyiapkan minuman energy untuk pagi ini. Dia pantas menjadi calon peserta lomba memasak di televisi, aku akan menjadi pendukung pertamanya. Kini meja makan terisi penuh dengan menu sarapan pagi, akan penuh lagi jika kami berbincang menyoal percintaan. Bukan, aku sedang tidak mau membahas itu. Tetapi jika dia memaksaku, apa yang harus ku perbuat.

            "Dia sudah menghubungimu belum?" tanyanya

            "Belum." Jawabku singkat

            "Yasudah tunggu saja, ini masalah waktu. Mungkin saja, kamu adalah orang kesekian"

            Aku tersentak.

            "Maksudmu? Dia tidak sebaik apa yang aku pikirkan?"

            "Terpenting, jika kamu sudah mengenalnya kamu siap menerima resikonya"

            "Waktu tidak akan mengkhianatimu kok, dia akan berjalan sesuai takdir" lanjutnya

            Aku ingin cepat berganti topik, karena topik ini sedikit membuatku terpukul dan keluh!

            "Tenang, tidak usah dikhawatirkan" ucapnya sambil mengunyah makanan

            "Aku tahu, beberapa lama lagi kamu akan membuka hatimu. Tapi, jangan terlalu lebar"

            Aku ingin dia berhenti membahas itu, tapi aku penasaran setiap kalimat yang keluar.

            Lama sekali aku menunggu kalimatnya keluar namun, ia memilih untuk bergegas menghabiskan makanan, Ketika kami sedang menikmati sarapan pagi, datang remaja perempuan seusiaku ke rumah sahabatku ini. Dia datang dengan membawa beberapa sayuran dikeranjang belanjanya. Aku baru melihat dia kali ini.

            "Dia pembantu yang ibu suruh untuk mengatur rumah dikala siang hingga sore." Ujar sahabatku. Aku mengangguk, namun ada rasa heran dikepalaku. Mengapa pekerjaan seperti ini yang ia ambil? Memang, pekerjaan ini tidak menyimpang dari norma namun? Remaja itu menuju dapur dan berganti ke kamar sahabatku, menata ranjang dan semua hal yang perlu dibereskan. Aku heran, padahal sahabatku ini bisa mengatur rumahnya sendiri mengapa sang ibu menugaskan orang lain?

            "Ibuku bilang aku hanya mengatur komunitas, organisasi seakan aku ini aktivis yang sibuk tanpa memerhatikan rumahku sendiri" ujar sahabatku seolah dia tahu pikirkanku.

            "Dia punya cita-cita ingin kuliah seperti kita. Tapi, kondisi ekonomi. Dia memiliki harapan bahwa hal itu akan indah pada waktunya. Sungguh, ternyata masih ada seseorang seperti ku yang berharap dengan waktu" ujar sahabatku.

            Aku terdiam, mencari kata terbaik untuk menjawabnya.

            "Mbak, ponselnya sedari tadi berbunyi. Ada panggilan masuk dan pesan." Ujar pembantu kepadaku dari pintu kamar. Aku bergegas mencari ponselku. Aku terbelalak! Aku lupa jika memiliki janji dengan dosen pembimbing skripsi! Seribu energy ku kerahkan untuk bersiap, dan meminjam motor milik sahabatku ini untuk menuju kampus.

            "Hati-hati mbak, disiplin waktu itu perlu!" Ucap pembantu kepadaku yang terdengar samar-samar karena telingaku tertutup helm. Sepertinya perbincangan soal hati selalu menyita waktu seseorang dan merelakan semua hal yang harus dilakukannya saat itu juga. Dua jam kemudian, aku keluar dari ruang dosen. Raut wajahku nampak sumringah! Tulisan ACC adalah harapanku selama ini. Waktu sudah menjawab perjuanganku. Aku bergegas kembali ke rumah sahabatku, aku tidak mau dipatok tarif karena sudah meminjam motor selama 2 jam.

            "Lancar?" tanya sahabatku. Aku tersenyum dan duduk disampingnya.

            "Tapi aku tidak lancar." Sahutnya. Aku bingung.

            "Waktu menjawab dengan cepat. Aku memutuskan untuk tidak mengharap lagi tentang dia. Seharusnya aku yang ada disana, menemaninya"

            Tidak habis pikir, ternyata perihal waktu dapat menyisakan kebahagiaan maupun kesedihan. Ada seseorang yang berharap bahwa waktu akan memberinya jawaban kebahagiaan, namun adapula mereka yang mendapat kejutan dari waktu tentang kesedihan berujung penyesalan. Kita tidak bisa menyalahkan waktu. Waktu tidak salah. Biasanya, sikap kita yang salah terhadap waktu. Lantas, haruskah aku lanjutkan harapanku ini kepada dia yang kini mulai hadir dikehidupanku? Aku takut seperti kisah sahabatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun