Mohon tunggu...
Agi Julianto Martuah Purba
Agi Julianto Martuah Purba Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya senang mengamati, membaca, merasakan dan menyatukan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah: Tempat yang (Harusnya) Menyenangkan

2 November 2024   19:45 Diperbarui: 2 November 2024   21:14 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023, dengan hampir separuhnya terjadi di lingkungan Pendidikan sebagaimana data terbaru dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lebih mengejutkan bahwa menurut data terbaru dari UNICEF, perundungan di Indonesia menjadi isu serius yang memengaruhi kesejahteraan anak.

Sekitar 2 dari 3 anak berusia 13 hingga 17 tahun di Indonesia telah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan dalam hidup mereka. 41% siswa berusia 15 tahun melaporkan pernah mengalami perundungan lebih dari beberapa kali dalam sebulan. Dalam survei yang melibatkan 2.777 anak muda berusia 14 hingga 24 tahun, 45% mengaku telah mengalami perundungan siber. 

Perundungan di sekolah dapat dianggap sebagai salah satu "dosa pendidikan" karena bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan yang seharusnya menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa. Banyak sekali dampak dari Tindakan perundungan yang akhir-akhir ini marak terjadi di lingkungan Pendidikan. 

Dampak Negatif pada Kesehatan Mental: Perundungan dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada korban. Menurut UNICEF, anak yang mengalami perundungan cenderung memiliki masalah kesehatan mental yang berkelanjutan, yang dapat mengganggu proses pembelajaran mereka. 

Menghambat Pembelajaran: Lingkungan sekolah yang penuh dengan kekerasan dan intimidasi mengganggu konsentrasi siswa dan mengurangi partisipasi mereka dalam kegiatan akademik. Hal ini dapat berdampak langsung pada prestasi akademik dan motivasi belajar siswa

Membentuk Budaya Kekerasan

Jika perundungan tidak ditangani dengan serius, hal itu dapat menciptakan budaya kekerasan di sekolah, di mana siswa merasa bahwa tindakan agresif dianggap biasa. Ini dapat memperpanjang siklus kekerasan di masyarakat.  Dari banyaknya penyebab dorongan siswa untuk melakukan tindakan perundungan, ada dua hal yang paling mencolok yaitu peran serta ketidakamanan diri dan peran serta media teknologi. 

Ketidakamanan Diri 

Siswa yang merasa tidak aman atau memiliki masalah kepercayaan diri sering kali terlibat dalam perundungan untuk mengalihkan perhatian dari ketidakamanan mereka sendiri. Mereka mungkin merasa bahwa dengan menindas orang lain, mereka dapat mendapatkan rasa kekuatan atau kontrol. Teman sebaya sering sekali dijadikan sebagai objek untuk pengalihan rasa tidak aman dan percaya dirinya untuk mendapatkan rasa percaya diri dari sumber yang keliru, yaitu dari tindak perundungan temannya. 

Media dan Teknologi 

Akses yang luas ke media sosial dan teknologi dapat memperburuk perundungan. Bullying siber, di mana siswa diintimidasi melalui platform online, semakin umum dan dapat memiliki dampak yang sama seriusnya dengan perundungan fisik di sekolah. Teknologi memang memungkinkan segala tindakan dapat dilaksanakan dengan jauh lebih mudah dan dapat memangkas waktu dalam melakukan tujuannya sebagaimana perundungan juga dilakukan dengan cara yang sama. 

Beredar banyak sekali tontonan yang disuguhkan di sosial media yang menampilkan tindak perundungan yang meliputi tutur kata dan perilaku. Selain itu, laporan dari UNICEF juga menyatakan bahwa konten yang mempromosikan perundungan dan kekerasan semakin banyak dijumpai di platform media sosial, dengan tingginya tingkat interaksi dan tontonan pada video-video yang menampilkan perilaku tersebut. 

Misalnya, satu video perundungan dapat mencapai jutaan tontonan, memperlihatkan betapa mudahnya konten semacam ini menyebar dan mempengaruhi audiens, terutama anak-anak dan remaja. Normalisai terhadap Tindakan perundungan menjadi dapat diterima karna mereka melihat banyak sekali tindak perundungan ini beredar di setiap linimasa sosial media mereka. 

Pendidikan melalui sekolah harusnya hadir sebagai tempat layanan proses pembelajaran yang aman dan nyaman bagi setiap siswa. Pembelajaran dapat berjalan dengan menyenangkan dan bermakna bagi kehidupan siswa. Sebuah proses belajar dari tidak tahu menjadi tahu, bahkan ingin tahu lebih jauh adalah peran sekolah melalui aktivitas pembelajaran. 

Kata "school" dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin "schola" yang awalnya berarti waktu luang, rekreasi, atau waktu untuk belajar. Dalam budaya Yunani Kuno, schol (bahasa Yunani: ) mengacu pada waktu yang dihabiskan untuk kegiatan intelektual, seperti diskusi, pembelajaran, atau pemikiran, yang dianggap sebagai bentuk kegiatan yang produktif dan bermakna saat waktu luang. 

Awalnya, konsep sekolah tidak terikat pada tempat fisik seperti yang kita kenal saat ini. Sebaliknya, itu lebih berkaitan dengan waktu dan kesempatan untuk merenung dan belajar. Para filsuf dan pemikir pada masa itu menganggap pentingnya pendidikan yang bersifat informal, di mana siswa dapat terlibat dalam dialog dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai subjek. Ini menciptakan fondasi bagi apa yang kemudian menjadi sistem pendidikan formal. 

Sejalan dengan hal tersebut baha di Indonesia Taman Siswa adalah sebuah organisasi pendidikan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922 di Indonesia. Secara harfiah, kata "taman" di sini berarti tempat yang nyaman atau lingkungan yang asri, sementara "siswa" merujuk pada peserta didik. Jadi, Taman Siswa bisa diartikan sebagai "tempat belajar yang nyaman bagi siswa." 

Nama ini mencerminkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu menciptakan lingkungan belajar yang mendidik dan ramah, di mana siswa merasa bebas untuk mengembangkan diri tanpa paksaan. Dalam Taman Siswa, siswa didorong untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka dalam suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial, dengan asas "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" --- yang berarti di depan memberi teladan, di tengah memberi dorongan, dan di belakang memberi dukungan. 

Dengan berkembangnya zaman, pendidikan menjadi lebih sekuler dan diakses oleh lapisan masyarakat yang lebih luas. Sekolah modern berfungsi tidak hanya sebagai tempat belajar akademis, tetapi juga sebagai ruang untuk sosialisasi dan perkembangan keterampilan sosial. Dalam banyak budaya, sekolah telah menjadi bagian integral dari masyarakat, memainkan peran penting dalam membentuk individu yang berpengetahuan dan bertanggung jawab. 

Beberapa program pemerintah melalui Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengenai program Sekolah Ramah Anak (SRA) mulai berlaku secara resmi pada tahun 2021. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak-anak, serta mencegah segala bentuk kekerasan dan diskriminasi di sekolah. Dalam pelaksanaannya, sekolah diharuskan memenuhi beberapa standar, seperti menyediakan lingkungan yang sehat dan bersih, mendorong partisipasi orang tua, serta melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan dan praktik di sekolah. 

Kedua, Program Roots. Ini adalah inisiatif yang bertujuan untuk memberdayakan siswa sebagai agen perubahan dalam upaya mencegah perundungan dan kekerasan di sekolah. Program ini melibatkan pelatihan bagi siswa dan guru, dengan melibatkan 30 siswa terpilih dari setiap sekolah untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan anti-kekerasan. Pada tahun 2022, program ini telah melahirkan lebih dari 43.000 agen perubahan di sekolah-sekolah. 

Perundungan adalah sebuah benih kejahatan yag jika dibiarkan ruang dan waktu untuk bertumbuh akan membuahkan buah yang pahit bagi setiap individu disekitarnya. Beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh seorang siswa dalam memngambil peran untuk mencegah perilaku bullying adalah sebagai berikut: 

  • Komunikasi Terbuka dengan Teman dan Guru 

Selalu berkomunikasi dengan teman sekelas dan guru. Jika siswa merasa ada yang tidak beres, mereka harus berbicara dengan orang dewasa yang dipercaya. Membuat hubungan yang baik dengan guru juga bisa membantu siswa merasa lebih nyaman dalam melaporkan perilaku bullying yang mereka saksikan atau alami. 

Jarang disadari bahwa banyak siswa, baik pelaku maupun korban, mungkin tidak memiliki keterampilan komunikasi yang memadai untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang sehat. Korban bullying mungkin kesulitan untuk mengatakan "tidak" atau meminta bantuan, sementara pelaku mungkin tidak memahami dampak dari kata-kata atau tindakan mereka. 

Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena berdiam dirinya orang-orang baik. Maka, kemampuan generasi hari ini yang dikenal dengan generasi strawberry yang merujuk pada tingginya sensitivitas emosional namun memiliki ketakutan dalam penilian membuat mereka lemah dalam berkomunikasi dan menyuarakana pa yang mereka alami dan tengah hadapi. 

  • Belajar Mengelola Konflik 

Dengan berkembangnya sensitivitas emosional dan ketergantungan terhadap teknologi membuat siswa hari ini mengalami kesulitan dalam mengelola konflik. Dengan banyaknya referensi dan sumber infomasi yang mereka mampu jelajahi di internet, membuat benturan di antara mereka tidak dapat terhindarkan. 

Pengelolaan konflik ini juga menjadi pembelajaran yang tidak kalah penting dengan pembelajaran akademik. Ini merujuk pada data bahwa tingkat stres di kalangan siswa di Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan data yang dihimpun, sekitar 6,1% dari penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental, yang mencakup stres dan depresi. Pada remaja, khususnya, data menunjukkan bahwa 19% dari mereka memiliki ide untuk melakukan bunuh diri, sementara 45% telah melakukan tindakan menyakiti diri sendiri. 

Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10-17 tahun menghadapi masalah kesehatan mental. Jenis gangguan yang paling umum adalah gangguan kecemasan, dengan prevalensi 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1%) dan gangguan perilaku (0,9%).

Sebagai sebuah contoh konflik yang marak terjadi dan melibatkan siswa adalah kasus geng motor. Di Sumatera Utara, masalah keterlibatan siswa dalam geng motor telah menjadi perhatian serius. Menurut Polda Sumut, banyak pelajar di bawah usia 20 tahun terlibat dalam aksi geng motor, yang sering kali melibatkan konvoi di jalan raya, serta membawa senjata tajam dan melakukan tindakan yang mengancam keselamatan pengguna jalan lain. Penegakan hukum terhadap mereka akan dilakukan secara tegas, meskipun terdapat mekanisme khusus untuk anak di bawah umur.

Siswa yang terlatih dalam keterampilan ini dapat berperan sebagai mediator di antara teman-teman mereka yang berselisih. Keterampilan ini hanya dapat diperoleh oleh siswa hanya jika ada Kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk Sekolah. Kegiatan pembelajaran seperti Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), Sekolah Ramah Anak, Penguatan peran Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dan beragam kegiatan positif dan bermakna di sekolah harus menjadi pilihan dan solusi bagi siswa dalam mencegah tindak perundungan melalui diskusi dan pertemuan yang mematangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan manajemen konflik. 

Seorang guru sebagai seorang pribadi juga seyogianya mampu menjalankan peran untuk mencegah tindak perundungan di dalam kelas dan lingkungan belajar terlepas dengan penyusunan kebijakan-kebijakan sekolah, sebagai berikut: 

Memberikan waktu untuk mendengar keluhan dan cerita siswa 

Ini adalah Langkah paling dekat dan sederhana yang bisa dilakukan seorang guru untuk mengambil peran dalam mencegah Tindakan perundungan. Banyak persoalan siswa yang berujung pada Guru Bimbingan Konseling (BK), padahal tidak jarang siswa merasa takut dan malu jika sudah masuk ke ruangan BK. Mereka merasa bersalah dan tersorot sebagai siswa yang bermasalah. 

Seyogoanya semua guru wajib mampu untuk membantu siswa dalam memecahkan kendala-kendala yang dihadapinya. Tidak serta merta melimpahkan semua kendala tersebut kepada satu sosok guru saja. Kita bisa menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan siswa dan mendengar bagaimana mereka menjalani hari-harinya. Lewat diskusi dan percakapan ini, kita akan mendapati hal-hal yang tidak kita sadari sebelumnya karena kita hanya fokusi pada proses penyampaian materi saja. 

Dengan memberikan siswa kesempatan untuk berbagi pengalaman dan perasaan mereka, guru dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan siswa. Keterbukaan ini memungkinkan siswa merasa lebih aman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi, termasuk bullying. Menurut penelitian, hubungan yang positif antara siswa dan guru dapat mengurangi insiden bullying. 

Siswa sering kali enggan melaporkan bullying karena takut akan konsekuensi atau merasa tidak didengar. Dengan menyediakan ruang untuk bercerita, guru dapat lebih mudah mendeteksi tanda-tanda bullying atau perilaku menyimpang lainnya sebelum situasi menjadi lebih parah. Hal ini memungkinkan tindakan pencegahan yang lebih cepat dan tepat sasaran. 

Melalui tahap ini, mereka merasa dihargai dan memiliki suara. Ini dapat memberdayakan mereka untuk berbicara tentang pengalaman mereka dan bahkan nantinya mampu untuk berperan sama untuk mendengar masalah dari teman-teman mereka. Memberdayakan siswa dalam hal ini dapat menciptakan budaya anti-bullying yang lebih kuat di sekolah. 

Dengan semua aspek penting yang telah dibahas, sudah saatnya sekolah kembali menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Lingkungan belajar yang positif dan mendukung tidak hanya akan meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa, tetapi juga mendukung kesehatan mental dan perkembangan sosial mereka. Dalam upaya menciptakan suasana yang menyenangkan, penting bagi semua pihak---guru, orang tua, dan siswa---untuk berkolaborasi dalam merancang kegiatan yang menarik dan inklusif. 

Dengan mengedepankan pendekatan yang holistic dan humanis, kita dapat memastikan bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk belajar, tetapi juga sebagai ruang untuk tumbuh, bersosialisasi, dan menemukan kebahagiaan dalam proses belajar. Dengan demikian, kita tidak hanya membekali siswa dengan pengetahuan, tetapi juga pengalaman yang membentuk karakter dan kebahagiaan mereka dalam perjalanan pendidikan. 

Berada pada kondisi dimana kita melihat siswa antusias untuk berangkat ke sekolah dan merasa aman, nyaman, dan Bahagia dalam melalui aktivitas pembelajaran adalah alasan seyogianya sekolah tetap berfungsi dan memberi dampak positif pada lingkungan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun