Mohon tunggu...
Agi Julianto Martuah Purba
Agi Julianto Martuah Purba Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya senang mengamati, membaca, merasakan dan menyatukan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah: Tempat yang (Harusnya) Menyenangkan

2 November 2024   19:45 Diperbarui: 2 November 2024   21:14 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akses yang luas ke media sosial dan teknologi dapat memperburuk perundungan. Bullying siber, di mana siswa diintimidasi melalui platform online, semakin umum dan dapat memiliki dampak yang sama seriusnya dengan perundungan fisik di sekolah. Teknologi memang memungkinkan segala tindakan dapat dilaksanakan dengan jauh lebih mudah dan dapat memangkas waktu dalam melakukan tujuannya sebagaimana perundungan juga dilakukan dengan cara yang sama. 

Beredar banyak sekali tontonan yang disuguhkan di sosial media yang menampilkan tindak perundungan yang meliputi tutur kata dan perilaku. Selain itu, laporan dari UNICEF juga menyatakan bahwa konten yang mempromosikan perundungan dan kekerasan semakin banyak dijumpai di platform media sosial, dengan tingginya tingkat interaksi dan tontonan pada video-video yang menampilkan perilaku tersebut. 

Misalnya, satu video perundungan dapat mencapai jutaan tontonan, memperlihatkan betapa mudahnya konten semacam ini menyebar dan mempengaruhi audiens, terutama anak-anak dan remaja. Normalisai terhadap Tindakan perundungan menjadi dapat diterima karna mereka melihat banyak sekali tindak perundungan ini beredar di setiap linimasa sosial media mereka. 

Pendidikan melalui sekolah harusnya hadir sebagai tempat layanan proses pembelajaran yang aman dan nyaman bagi setiap siswa. Pembelajaran dapat berjalan dengan menyenangkan dan bermakna bagi kehidupan siswa. Sebuah proses belajar dari tidak tahu menjadi tahu, bahkan ingin tahu lebih jauh adalah peran sekolah melalui aktivitas pembelajaran. 

Kata "school" dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin "schola" yang awalnya berarti waktu luang, rekreasi, atau waktu untuk belajar. Dalam budaya Yunani Kuno, schol (bahasa Yunani: ) mengacu pada waktu yang dihabiskan untuk kegiatan intelektual, seperti diskusi, pembelajaran, atau pemikiran, yang dianggap sebagai bentuk kegiatan yang produktif dan bermakna saat waktu luang. 

Awalnya, konsep sekolah tidak terikat pada tempat fisik seperti yang kita kenal saat ini. Sebaliknya, itu lebih berkaitan dengan waktu dan kesempatan untuk merenung dan belajar. Para filsuf dan pemikir pada masa itu menganggap pentingnya pendidikan yang bersifat informal, di mana siswa dapat terlibat dalam dialog dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai subjek. Ini menciptakan fondasi bagi apa yang kemudian menjadi sistem pendidikan formal. 

Sejalan dengan hal tersebut baha di Indonesia Taman Siswa adalah sebuah organisasi pendidikan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922 di Indonesia. Secara harfiah, kata "taman" di sini berarti tempat yang nyaman atau lingkungan yang asri, sementara "siswa" merujuk pada peserta didik. Jadi, Taman Siswa bisa diartikan sebagai "tempat belajar yang nyaman bagi siswa." 

Nama ini mencerminkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu menciptakan lingkungan belajar yang mendidik dan ramah, di mana siswa merasa bebas untuk mengembangkan diri tanpa paksaan. Dalam Taman Siswa, siswa didorong untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka dalam suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial, dengan asas "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" --- yang berarti di depan memberi teladan, di tengah memberi dorongan, dan di belakang memberi dukungan. 

Dengan berkembangnya zaman, pendidikan menjadi lebih sekuler dan diakses oleh lapisan masyarakat yang lebih luas. Sekolah modern berfungsi tidak hanya sebagai tempat belajar akademis, tetapi juga sebagai ruang untuk sosialisasi dan perkembangan keterampilan sosial. Dalam banyak budaya, sekolah telah menjadi bagian integral dari masyarakat, memainkan peran penting dalam membentuk individu yang berpengetahuan dan bertanggung jawab. 

Beberapa program pemerintah melalui Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengenai program Sekolah Ramah Anak (SRA) mulai berlaku secara resmi pada tahun 2021. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak-anak, serta mencegah segala bentuk kekerasan dan diskriminasi di sekolah. Dalam pelaksanaannya, sekolah diharuskan memenuhi beberapa standar, seperti menyediakan lingkungan yang sehat dan bersih, mendorong partisipasi orang tua, serta melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan dan praktik di sekolah. 

Kedua, Program Roots. Ini adalah inisiatif yang bertujuan untuk memberdayakan siswa sebagai agen perubahan dalam upaya mencegah perundungan dan kekerasan di sekolah. Program ini melibatkan pelatihan bagi siswa dan guru, dengan melibatkan 30 siswa terpilih dari setiap sekolah untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan anti-kekerasan. Pada tahun 2022, program ini telah melahirkan lebih dari 43.000 agen perubahan di sekolah-sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun