Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengubah Sisa Jadi Berkah: Peran Perempuan dan Energi Surya dalam Transisi Energi Adil untuk Semua

13 Juni 2024   11:52 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:56 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kriuk yang dibuat dari gorengan otak-otak sisa | Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Sudah hampir enam tahun terakhir ini saya dan istri menjalankan usaha sampingan berjualan 'gorengan'. Beberapa jenis makanan goreng seperti pisang goreng , martabak tahu, ubi goreng, sosis goreng, sampai dengan otak-otak goreng telah menjadi bagian dari produk yang kami jajakan.

Pada dua sampai tiga tahun pertama menjalankan usaha tersebut, martabak tahu merupakan produk yang paling laris. Hingga kemudian berangsur-angsur turun dan kurang diminati. Coba-coba produk lain pun kami lakukan. Akan tetapi, daya jual pisang goreng, sosis goreng, sampai ubi goreng masih kalah jauh dibandingkan 'masa kejayaan' martabak tahu.

Baru sekitar satu terakhir ini, penjualan otak-otak goreng istri saya mulai menanjak. Sehingga porsi jualan produk ini pun perlahan kami tambah. Namun, yang namanya jualan tentu ada kalanya naik dan turun. Ada hari-hari tertentu ketika otak-otak goreng kami habis terjual, namun pada hari yang lainnya masih banyak tersisa.

Istri saya biasanya membagi-bagikan gorengan tersisa tersebut kepada beberapa teman kerjanya. Atau kadang-kadang kami berikan juga ke tetangga.

Sekali dua kali mungkin itu hal yang biasa. Akan tetapi, jika terus-terusan kami merasa aneh juga. Selain khawatir dengan omongan orang-orang, dari sudut pandang bisnis hal itu tentu bukanlah sesuatu yang menguntungkan juga bagi kami.

Bahkan kami sempat beberapa kali membuang gorengan sisa jualan itu karena kelupaan tersimpan lama di jok motor saat hendak dibawa pulang ke rumah.

Membusuk. Menjadi sampah. Terbuang percuma.

Kondisi tersebut terjadi berulang kali. Sampai suatu ketika ibu saya datang berkunjung dari kampung dan melihat keadaan dari gorengan jualan kami yang tersisa itu. Beliau pun menyayangkan sekali tatkala melihat ada sejumlah otak-otak goreng sisa jualan kami mangkrak begitu saja.

Puncaknya, suatu hari ketika saya dan istri pulang kerja dan membawa gorengan otak-otak sisa, kami terkejut melihat deretan seperti kerupuk mentah yang diiris tipis-tipis sedang terjemur di depan rumah.

Awalnya saya sendiri bertanya-tanya apa gerangan benda tersebut. Begitupun dengan istri saya. Tetapi, setelah mencium baunya, saya dan istri pun ngeh bahwa ini adalah aroma dari otak-otak.

Irisan otak-otak sedang dijemur | Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Irisan otak-otak sedang dijemur | Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Singkat kata, ibupun bercerita bahwa beliau sengaja memotong-motong sisa gorengan otak-otak kemarin yang kami taruh di kulkas. Kebetulan, ibu melihatnya dan memberikan sentuhan yang menurut kami terbilang out of the box kala itu. Membuat sebuah kriuk dari bahan otak-otak sisa.

Cukup dengan memotongnya menjadi irisan tipis-tipis kemudian menjemurnya dibawah panas terik sinar matahari seraya membiarkannya hingga cukup kering dan siap digoreng menjadi snack atau kriuk yang gurih dan nikmat.

Budaya "Eman-eman" dan Prinsip Daur Ulang

Semasa kecil dulu saat tinggal di perkampungan salah satu desa di Jawa Timur, sering sekali saya melihat bagimana orang tua zaman dulu begitu terampil mengolah dan memberdayakan beberapa jenis makanan sisa menjadi suatu jenis makanan baru yang ternyata juga nikmat untuk disantap.

Pertama, dengan masih langkanya pemilik rice cooker atau penanak nasi elektrik pada masa itu, penampakan banyaknya nasi sisa kemarin terbuang karena basi merupakan pemandangan yang jamak ditemui.

Nenek saya biasanya menggelar nasi basi tersebut ke atas tampah atau nampan yang lebar dan kemudian menjemurnya diatas atap rumah atau di depan teras agar mendapatkan paparan sinar matahari.

Sekali dua kali kami ditugasi beliau untuk mengusir ayam-ayam tetangga yang datang mendekat mencoba menjadikan jemuran nasi itu sebagai santapan mereka.

Butuh waktu sekitar tiga hari untuk mengeringkan nasi tersebut. Bisa lebih cepat atau lebih lambat tergantung cuaca. Kalau musim hujan bisa menelan waktu hingga satu minggu. Kalau matahari sedang terik-teriknya, waktu dua hari pun sudah cukup.

Ketika suatu waktu saya bertanya ke nenek mengapa nasi basi itu tidak langsung dibuang saja atau diberikan ke ayam atau bebek, beliau menjawab singkat, "Eman-eman, Le.". Saya pun hanya diam sembari mengangguk.

Tidak lama berselang pasca nasi sisa yang kami jemur mengering sempurna, nenek pun mencucinya kembali sampai bersih. Meskipun bentuknya tidaklah kembali utuh layaknya beras biasa. Tampak sedikit kecoklatan dan gosong imbas terpapar panas matahari.

Di tempat kami, kami menyebut nasi sisa yang dikeringkan tersebut dengan sebutan "karak". Dan setelah karak tersebut ditanak kembali layaknya menanak nasi pada umumnya maka kami pun menyebutnya sebagai "nasi karak". Sebagian orang mungkin lebih familiar menyebutnya sebagai nasi aking.

Cuma, bedanya dengan nasi aking, untuk nasi karak yang sudah matang akan dipadukan dan diaduk rata dengan parutan kelapa sehingga terasa gurih saat dimakan. Sedangkan sebagai pendamping lauknya ada teri goreng kering yang digerus dengan sambal terasi.

Emmh, yummy.. Saya jadi merasa lapar saat menulis ini. Hehehehe. By the way, ada yang mau mencobanya ?

Kedua, tentang pengolahan krupuk puli. Mungkin di daerah lain memiliki sebutan yang berbeda untuk kerupuk jenis ini. Tetapi, pada intinya bahan bakunya adalah nasi sisa yang dicampur dengan terigu, garam bleng, air panas, serta beberapa bahan lain.

Bahan-bahan tersebut kemudian diaduk sedemikian rupa sehingga berbentuk adonan. Biasanya ibu saya membuat bentuk batangan. Yang kemudian dikukus selama sekitar tiga puluh menit. Selanjutnya, adonan tadi dijemur dibawah terik sinar matahari sampai mengeras.

Sebenarnya bisa saja ditaruh di dalam lemari es untuk mengeringkan. Hanya saja penggunaan cahaya matahari bisa dibilang lebih menghemat energi karena memanfaatkan energi alam secara langsung.

Adonan yang sudah mengeras itupun kemudian diiris tipis-tipis menjadi lembaran-lembaran kerupuk puli. Untuk membuat tampilannya lebih menarik, sebelum direbus biasanya adonan akan direndam sejenak ke dalam pewarna makanan.

Sehingga ketika nanti sudah selesai diiris menjadi lembaran kecil dan siap digoreng, tepian kerupuk akan terlihat warna-warni sehingga terlihat lebih menarik untuk dimakan.

Saya menduga bahwa cara pemanfaatan nasi sisa menjadi makanan baru inilah yang lantas mengilhami ibu saya untuk mengolah otak-otak sisa jualan kami menjadi kriuk..

Pandangan atau budaya eman-eman yang melekat dibenak ibu saya, yang mungkin juga merupakan warisan dari nenek dan para pendahulu kami, sepertinya memiliki keterkaitan besar dengan prinsip daur ulang untuk keberlanjutan.

Kebijaksanaan orang tua kita dulu untuk memanfaatkan sumber energi alam terbarukan seperti energi surya dalam rupa sinar matahari mengindikasikan bahwa ada cukup banyak hal yang bisa kita lakukan dengan energi itu.

Apa yang dikerjakan oleh nenek dan ibu saya sekaligus menunjukkan pada kita bahwasanya perempuan juga bisa berperan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Meskipun tidak dalam rupa teknologi tingkat tinggi seperti mengkreasi pembangkit listrik atau sejenisnya, akan tetapi cara-cara sederhana mengeringkan makanan sisa untuk diolah menjadi makanan baru yang bernilai tambah juga merupakan tindakan bijaksana.

Saya kira apa yang telah nenek dan ibu kami lakukan saat ini merupakan bagian dari upaya transisi energi adil yang meskipun sederhana dan murah tetapi nyata manfaatnya. Paling tidak, saya bisa menikmati hidangan murah dan enak dari nasi karak nenek. Atau memperoleh penghasilan baru dari jualan kriuk otak-otak sisa.

Kriuk otak-otak yang sudah dibungkus | Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Kriuk otak-otak yang sudah dibungkus | Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Melihat Kembali Kearifan Kita

Entah disadari atau tidak, peran perempuan di peradaban kita sebenarnya cukup dominan, setidaknya terkait peranannya dalam menyampaikan tradisi ke generasi berikut.

Saya mengenal nasi karak dari mendiang nenek saya. Saya tahu krupuk puli dari ibu saya. Semuanya perempuan. Bisa jadi karena itu terkait aspek makanan dan kaum ibu zaman dulu memang identik dengan dunia masak-memasak macam ini.

Namun, saya menilainya lebih dari itu. Kaum ibu atau kaum perempuan memang sudah disabda sebagai tempat belajar paling awal. Al ummu madrasatul ula. Ibu adalah sekolah pertama. Sebuah rumah tanpa keberadaan ibu tidak akan hidup selayaknya. Ibu akan menularkan banyak hal kepada segenap anggota keluarga.

Dengan kata lain, peran kaum ibu sangatlah krusial khususnya dalam menjembatani tradisi dan teknologi. Lebih dari itu, ada cukup banyak kearifan dalam hidup kita yang bisa dibawa untuk mengarungi hidup di masa modern seperti sekarang. Caranya ? Melihat ke belakang, merenung, dan belajar.

Selama ini kita tahu bahwa sumber energi matahari di negara kita melimpah. Begitupun dengan air, angin, dan lain sebagainya. Apakah kita sudah cukup banyak belajar dari para pendahulu terkait bagaimana cara mereka mengoptimalkan kekayaan alam tadi? Apakah kita sudah cukup bertanya kepada ibu dan nenek kita?

Boleh saja kita belajar dari luar, tapi jangan pernah melupakan bahwa kita juga harus belajar dari dalam, dari akar budaya kita sendiri.

Kita patut bersyukur dan mendukung penuh upaya Oxfam, terutama di Indonesia, karena memberikan perhatian besar terhadap upaya mengatasi ketimpangan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak muda. Khususnya terkait optimalisasi peran perempuan dalam upaya transisi menuju energi terbarukan.

Karena dengan perhatian seperti yang diberikan oleh Oxfam ini maka kaum perempuan bisa mendapatkan ruang yang sama untuk ikut berperan serta dalam karya.

Sebagai kaum yang sering termarjinalkan, perempuan sering dianggap hanya mampu menjadi pengikut (follower). Padahal mereka sebenarnya sangat mampu menjadi pemimpin (leader), serta memberi keteladanan menggerakkan peradaban baru yang berkelanjutan.

Saya kira transisi menuju energi adil dan berkeadilan sangat mungkin terwujud apabila dikelola dan didukung oleh sosok-sosok perempuan yang mengayomi semua.

Tetapi, kembali lagi, semua itu membutuhkan upaya nyata dan dukungan penuh semua pihak untuk melihat sejauh mana peran perempuan sanggup mempengaruhi perubahan suatu peradaban.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun