Judul Buku: Ikan Adalah Pertapa
Penerjemah: Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit: 2023
Tebal:xxiii+259 hlm
      Mei 2023, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan antologi puisi terjemahan dalam Bahasa Indonesia yang berjudul Ikan adalah Pertapa. Antologi tersebut, berisi 60 puisi dari antologi Bahasa Korea Pada Saat Merenung Hal-Hal yang Kuno yang tersebar dalam 4 bab, yang masing-masing berisi 15 puisi.
       Ikan adalah Pertapa memiliki tema besar, seperti kritik sosial dalam puisi "Ruang tamu yang Pilu", keindahan Korea Selatan dalam puisi "Dapatkah Menjadi Ibu untuk Aronia Berry", dan perenungan atas diri dalam puisi "Di dalam Suatu Waktu yang sama Sekali Tidak Sedih".
      Beberapa judul yang disebutkan di atas ditulis oleh Ko Hyeong Ryeol atau akrab disapa dengan sebutan Penyair Ko. Beliau lahir pada 8 November 1954. Puisi "Chuangthzu" yang terbit di majalah sastra Hyundaemoonhak, menjadi awal bagi Penyair Ko yang memulai debutnya di ranah sastra Korea. Tak berhenti di situ, tahun 1985, buku kumpulan puisinya Perkebunan Semangka Puncak Daechong terbit. Adapun kumpulan puisi yang telah ia terbitkan antara lain, Bagaimana Kabarnya Kota Seoul, serta Aku Tidak Berada di Candi Erdene Zuu, Pada saat Merenung Hal-Hal Kuno, Pagi Hari ini, di Vladivostok, Melintasi Tubuh Kristal di Jepang, Grasshoppers' Eyes di Amerika Serikat, dan Air Terjun Matahari di Vietnam. Sebagai penyair yang telah menerbitkan banyak buku, Penyair Ko telah menerima hadiah penghargaan Hyundaemunhak, Hadiah Penghargaan dan Kesenian Republik Korea, dan Hadiah Penghargaan Era Penulisan Esai. Bahkan, penyair Ko pernah menyelenggarakan ASEAN-Korea Poets Literature Festival yang telah diselenggarakan di Seoul, Sokcho, dan di Pekanbaru, Riau.
***
Dalam buku Pengkajian Puisi karya Rachmat Djoko Pradopo, saya mengenal Shelley. Menurutnya, puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Maksud keindahan yang diungkapkan Shelley, bukan hanya soal kebahagiaan yang memuncak, tetapi juga kesedihan yang meninggalkan kesan yang mendalam. Penyair Ko membuktikan apa yang dikatakan Shelley. Dalam Antologi puisi Ikan Adalah Pertapa dapat kita temukan kejadian-kejadian yang menyayat atau membuat kita terdiam sejenak karena merenungkan tulisan yang kita baca. Misalnya dalam puisi "Langit Petang Hari"
Keluarga itu tinggal di serambi apartemen pencakar langit
Mereka pindah kegedung pencakar langit itu bukan karena
      Melarikan diri, apalagi menyombongkan diri
Mereka tidur di sebelah awan
Â
Putri mereka dalam bahaya. Jangkrik menangis cemasÂ
("Langit Petang Hari", Ko Hyeong Ryeol, hlm 98)
      Kata yang dicetak tebal memberikan kesan yang mendalam bagi pembaca karena keadaan mereka lirik dinyatakan dua kali dalam satu bait yang sama. Dalam puisi, hal tersebut merupakan sarana retorika tautologi. Pertama, sebuah keluarga tinggal di serambi (selasar) apartemen yang amat tinggi. Meskipun diksi pencakar langit klise, tetapi mampu mengontraskan keadaan keluarga lirik yang justru tinggal di selasar suatu apartemen. Ya, di selasarnya. Bukan di dalamnya. Kemudian, ditegaskan sekali lagi kalau mereka pindah bukan karena untuk menyombongkan diri. Tidak ada yang bisa mereka sombongkan karena mereka hanya tinggal di selasar saja sampai-sampai mereka tidur di sebelah awan. Secara harfiah, di sebelah memiliki makna di samping, di sisi, atau di dekat sesuatu. Artinya, mereka lirik tidur amat dekat dengan awan. Namun, apakah itu awan sesungguhnya? Penyair, meminjam awan guna memunculkan kegetiran di benak pembaca.
      Selain penggunaan sarana retorika tautologi, penyair Ko menggunakan ironi di dalam puisinya. Misalnya dalam penggalan puisi "Melihat Langit-Langit" berikut
...langit-langit rumah kita adalah lantai
      Mereka
("Melihat Langit-Langit", Ko Hyeong Ryeol, hlm. 82)
      Ironi dalam penggalan di atas menginsyaratkan, bahwa langit-langit yang secara harfiah bermakna plafon (bagian atas ruangan) rumah kita lirik, ternyata bagi mereka lirik hanyalah lantai yang berarti bagian bawah suatu ruangan atau bangunan. Penyair Ko berhasil menggambarkan kesenjangan sosial yang terjadi di sekitarnya.
      Kedua puisi di atas hanya sebagian contoh puisi yang berisi bagaimana kemiskinan di Korea Selatan. Selain kedua puisi itu, masih banyak puisi lain yang menggambarkan sisi hitam negeri ginseng itu, seperti puisi "Apakah Makanan Bebek untuk Petang ini", "Anak di Rumah itu", "Dua Ekor Kucing", "Aku telah Mati Pada Waktu itu", "Menangkap Cahaya yang tak Dapat Menyeberang", "Apel yang Bulat", "Kesewenang-Wenangan kepada Sang Surya", dll.
      Selain menggambarkan sisi "hitam" negerinya, Penyair Ko juga menuliskan tentang keindahan negerinya. Misalnya dalam penggalan puisi "Woiseorak" berikut.
Pergi ke Woiseorak dan dengan tenang duduk di kursi cermin
Â
      Danau Cheongdo
Â
Untuk melihat Gunung Seorak yang dekat, terdengar musik
Â
      Misteri dari lembah-
Â
Lembah dan punggung-punggung gunung tinggi dan rendah
Â
Bukan alat musik tiup dari kayu atau logam ataupun alat musik
Â
      Petik
("Woiseorak", Ko Hyeong Ryeol, hlm. 66)
Â
      Pada puisi di atas, Penyair Ko menggunakan imaji alam yang ada di Provinsi Gangwon, Korea. Penggunaan imaji tersebut memberikan suasana khas dan memberikan warna setempat yang kuat. Selain itu, penggunaan imaji alam menunjukan kesatuan citraan sehingga untuk memahami puisi nya pun menjadi lebih mudah.
Â
***
Â
      Buku Ikan Adalah Pertapa, didesain dengan cover warna biru. Setelah membacanya hingga selesai, agaknya saya mengerti kenapa diberikan warna demikian. Hal tersebut, karena warna biru memiliki makna kesedihan sekaligus ketenangan. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, buku ini berisi sisi gelap Korea Selatan sekaligus keindahan alamnya yang menenangkan. Pemilihan warna pada cover buku yang menyiratkan isi di dalam bukunya perlu diacungi jempol.
Â
      Meskipun kebanyakan gaya bahasa yang digunakan penyair Ko rumit, tetapi ada puisinya yang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti sehingga mudah menyentuh hati pembaca misalnya puisi "Anak di Rumah itu", Apa kesalahan anak kami/ sehingga berdiri tegak di depan Anda/ Dan tangan kecilnya yang terbuka seperti buku/dipukul seperti itu//. ("Anak di Rumah itu", Ko Hyeong Ryeol, hlm 38).
Â
       Ikan adalah Pertapa, selain berisi puisi terjemahan, di dalamnya terdapat puisi yang ditulis dalam bahasa aslinya (Bahasa Korea). Pemilihan penulisan puisi diwibahasa (Indonesia dan Korea) menjadi daya tarik selanjutnya. Pembaca akan bisa mengetahui bagaimana puisi-puisi itu dalam bahasa aslinya. Buku ini bisa dibaca oleh siapapun. Hanya saja jika dibaca oleh orang yang menganggap Korea Selatan negeri tanpa cela, akan kurang berkenan ketika membacanya.
Â
(Aghnia Tazqiah, mahasiswi Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI