Keluarga itu tinggal di serambi apartemen pencakar langit
Mereka pindah kegedung pencakar langit itu bukan karena
      Melarikan diri, apalagi menyombongkan diri
Mereka tidur di sebelah awan
Â
Putri mereka dalam bahaya. Jangkrik menangis cemasÂ
("Langit Petang Hari", Ko Hyeong Ryeol, hlm 98)
      Kata yang dicetak tebal memberikan kesan yang mendalam bagi pembaca karena keadaan mereka lirik dinyatakan dua kali dalam satu bait yang sama. Dalam puisi, hal tersebut merupakan sarana retorika tautologi. Pertama, sebuah keluarga tinggal di serambi (selasar) apartemen yang amat tinggi. Meskipun diksi pencakar langit klise, tetapi mampu mengontraskan keadaan keluarga lirik yang justru tinggal di selasar suatu apartemen. Ya, di selasarnya. Bukan di dalamnya. Kemudian, ditegaskan sekali lagi kalau mereka pindah bukan karena untuk menyombongkan diri. Tidak ada yang bisa mereka sombongkan karena mereka hanya tinggal di selasar saja sampai-sampai mereka tidur di sebelah awan. Secara harfiah, di sebelah memiliki makna di samping, di sisi, atau di dekat sesuatu. Artinya, mereka lirik tidur amat dekat dengan awan. Namun, apakah itu awan sesungguhnya? Penyair, meminjam awan guna memunculkan kegetiran di benak pembaca.
      Selain penggunaan sarana retorika tautologi, penyair Ko menggunakan ironi di dalam puisinya. Misalnya dalam penggalan puisi "Melihat Langit-Langit" berikut
...langit-langit rumah kita adalah lantai
      Mereka