***
Ya Ibu, aku masih membencimu. Kamu dengar itu?
Aku tahu, kamu cukup baik padaku saat melahirkanku. Kamu bisa saja mati saat melahirkanku, namun kamu dengan usaha kerasmu, pada akhirnya membuatku ada di dunia ini. Tapi, apanya yang spesial? Jutaan orang lain juga melakukan hal itu bukan? Meskipun, yah, nyaris mati bukanlah hal yang kecil.
Aku tahu kamu juga cukup baik saat menjual perhiasanmu yang paling berharga, cincin emas pemberian almarhum Ayah, demi mencarikan dana kuliah untukku. Tapi, semua orangtua akan melakukan hal itu juga bukan? Itu bukan sesuatu yang spesial. Meskipun, yah, perhiasan itu adalah benda yang benar-benar berharga.
Ah, mengingat-ingat ‘sedikit’ kebaikanmu membuatku memikirkan hal itu. Kamu ingat saat aku putus dengan pacar pertamaku? Iya, waktu itu aku dicampakkan dan merasa bagaikan orang paling hina di dunia. Aku kesulitan tidur selama satu minggu, dan kamu melihatku. Kamu merasakan kesakitanku waktu itu. Lalu kamu menuliskan status di Facebook (sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan, meskipun kamu sudah memiliki account facebook sejak bertahun-tahun yang lalu) tentang kesedihanmu yang melihat aku sedih. Dan kamu tahu? Tindakanmu itu telah membuat aku untuk pertama kalinya setelah putus, menangis. Ya, aku menangis gara-gara kamu. Aku tidak meneteskan sedikitpun air mata ketika aku putus, tapi ketika melihat kamu sedih gara-gara melihatku sedih, aku menangis. Aku menyesal karena telah membuatmu sedih. Anak macam apa aku ini?
Hei, tunggu dulu. Kenapa aku jadi melantur begini? Aku sedang membicarakan keburukanmu dan menunjukan pada semua orang bahwa Ibu itu bukanlah ‘hal terindah’ di dunia ini. Lalu mengapa tiba-tiba aku mengingat hal indah tentang kamu?
Ataukah jangan-jangan, Ibu memang merupakan ‘hal terindah’ dalam hidup ini?
***
Baiklah, aku menyerah. Aku mencoba untuk membencimu ibu. Tapi semakin aku mencoba, rasanya justru semakin mustahil bagiku untuk membencimu. Mungkin kau memang tidak sempurna, tidak selalu ada untukku di waktu aku kecil, atau tidak memberiku kehidupan yang bergelimang harta, atau juga tidak bisa sepenuhnya melihatku sebagai orang yang mandiri. Tapi, dari sedikit ketidaksempurnaanmu itu, tetap saja terselip keindahan yang tidak dapat dilogikakan.
Bahkan, saat otakku berusaha mati-matian untuk membencimu, hatiku terus saja mengingatkan tentang kata ‘C’ itu. Kata keramat yang rasanya tidak pantas diucapkan oleh seorang bajingan seperti aku ini.
Aku yakin, jika kamu tahu betapa aku membencimu sekarang, kamu tetap akan tersenyum hangat untukku bukan? Seperti yang selalu kamu lakukan selama ini.