Mohon tunggu...
Afzar Harianja
Afzar Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - Bhumi

Bumi Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Aku Seorang Petani

21 Februari 2017   12:16 Diperbarui: 21 Februari 2017   13:58 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU SEORANG PETANI

Selalu memberdaya diri untuk kesejahteraan manusia dan alam

AnakPetani

Setidaknya, kurang lebih 80 persen,  penduduk Kabupaten Tapanuli Utara bekerja sebagai petani. Dengan kata lain, hampir semua penduduknya adalah anak petani. Bertani begitu mendarah daging disini. Bahkan yang bekerja sebagi pengusaha atau pegawai negeri sipil pun tetap mempunyai lahan pertanian untuk diusahakan. Kenyataan ini dapat menjadi petunjuk jitu bahwa salah satu permasalahan yang paling penting dan paling banyak yang dihadapi penduduk Tapanali Utara setiap harinya  adalah masalah pertanian.

Bidang kesehatan dan pendidikan atau infrastruktur  memang penting, tetapi menurut saya, prioritas utama adalah masalah pertanian. Penting dan mendasar, karena masyarakat menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga.

Hutan : Kopi, Ekonomi, dan Kemarau

Saya masih ingat bagaimana usaha tani mempengaruhi begitu banyak aspek kehidupan masyarakat di Tapanuli Utara. Tahun 90-an adalah tahun penuh berkah bagi petani kopi. Saat itu, entah kenapa, meskipun tanpa teknik budidaya yang memadai, kebun-kebun kopi selalu memberikan hasil yang terbaik. Produksi tinggi dan serangan hama penyakitnya rendah. Saya masih ingat, waktu itu adalah ketika penggundulan hutan mulai dilakukan secara massal.

Waktu itu, hal yang langsung terlihat adalah perubahan selera rokok para bapak-bapak. Dulu mengisap rokok yang biasa saja sekarang berubah menjadi rokok yang lebih mahal. Perlahan-lahan rumah mulai diperbaiki. Sepeda motor mulai bermunculan. Dan yang paling mengasyikkan bagi anak sekolah adalah mereka bisa melanjutkan sekolah ke daerah perkotaan seperti ke Pematangsiantar atau Medan. Karena selama ini, kakak-kakak mereka hanya bisa melanjutkan sekolah di kampung atau paling banter di kota Tarutung, Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara.

Tapi begitu tahun 2000-an, entah kenapa juga, kopi andalan, kopi arabika sigarar utang, kopi sipembayar hutang, mulai mengalami penurunan produksi. Bahkan saat ini sudah banyak petani yang mengganti tanaman kopinya dengan tanaman lain karena sudah tidak menguntungkan lagi.  Tanpa pemeliharaan yang baik maka produksi kopi tidak bisa diandalkan lagi. Dan saya masih ingat waktu itu, hutan-hutan kami sudah  banyak yang menghilang. Para penebang kayu harus kerja keras cari kayu. Langka sudah.

Saya tidak bermaksud mengkaitkan antara  penebangan hutan, produksi kopi dan perubahan iklim. Tapi adalah kenyataan sejak 2010, produksi kopi mulai menurun drastis dan musim kemarau semakin panjang (4 bulan) dan tahun 2016, hampir 10 bulan!. Adalah ilmu pasti, jika hutan banyak maka produksi oksigen akan semakin banyak.  Dan oksigen yang melimpah akan meningkatkan kesehatan, daya tahan manusia dan tumbuhan. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita dan tidak mengulangi kesalahan yang sama  meskipun dampak dari apa yang kita lakukan baru terjadi setelah 20 tahun kemudian. Merubah hutan berarti merubah nasib manusia.

Bertani  dan  berjudi

Kembali ke awal…..salah satu permasalahan utama masyarakat di Kabupaten Tapanuli utara adalah masalah pertanian. Dan masalah pertanian yang paling banyak dihadapi petani adalah bagaimana cara pengendalian hama penyakit tanaman dan pengelolaan kesuburan tanah. Ini adalah hal yang wajar karena budidaya tanaman akan selalu mengundang kehadiran hama dan penyakit tanaman serta membutuhkan pemupukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

Selama ini petani selalu mengandalkan pestisida kimia dan pupuk kimia untuk mengatasi hal tersebut. Usaha ini tentu membutuhkan biaya yang besar. Tetapi hal ini pun tidak bisa menjadi jaminan usaha tani akan berhasil. Adalah hal yang biasa mendengar berita petani yang gagal bertani. Bahkan para petani pun sudah menyadari hal ini. Sehingga muncul anggapan bahwa bertani  seperti berjudi. Kadang kalah kadang menang.

Disisi lain, tanpa adanya dukungan biaya yang memadai maka usaha tani tidak begitu menjanjikan. Akibatnya pekerjaan bertani terkadang identik dengan kesederhanaan kalau bukan dengan kemiskinan. Dan kebanyakan petani kita memang berada pada situasi ini. Buah simalakama. Ada modal atau tidak, bertani tetap beresiko.

Generasi muda petani

Kenyataan ini membuat banyak anak-anak muda yang enggan menjadi petani. Dalam pikiran mereka, bertani sudah identik dengan biaya tinggi, resiko gagal atau kemiskinan. Citra seorang petani menjadi begitu buruk. Menjadi seorang petani tidak termasuk dalam daftar cita-cita  anak zaman sekarang. Mereka lebih memilih bekerja di luar bidang pertanian.

Hal ini menyebabkan setiap tahunnya banyak gelombang anak-anak muda yang pergi meninggalkan desa menuju kota-kota besar untuk mencoba peruntungan. Dampaknya, desa kehilangan tenaga-tenaga produktif dan regenerasi petani tidak berjalan.  Kondisi ini semakin memperburuk daya tarik dunia pertanian bagi anak-anak muda.

Pestisida : berkah dan serapah

 Sekarang ini petani tidak bisa lepas dari pestisida kimia. Dan seakan tidak bisa “hidup” tanpa pestisida dalam setiap usaha taninya. Meskipun biayanya tinggi dan beresiko, tetapi kebanyakan petani tetap memilih pestisida kimia karena pemakaiannya yang praktis, mudah didapat dan hasilnya yang langsung  terlihat  setelah digunakan. Ironisnya, petani memang tidak memiliki banyak pilihan. Dan pestisida kimia adalah pilihan yang tersedia.  Ironisnya lagi, pestisida kimia adalah solusi yang  membawa masalah juga. Kita harus sadar bahwa pestisida bukanlah obat pertanian tapi racun pertanian.

Penggunaan pestisida kimia dalam jangka panjang dan tidak bijaksana telah terbukti menimbulkan permasalahan baru. Nasahi (2010) melaporkan bahwa  pada tahun 1986 terdapat 447 spesies yang tahan terhadap pestisida, dan 60 spesies diantaranya adalah hama tanaman pertanian. Kemudian pada tahun 1993 jumlah serangga hama tahan bertambah menjadi 504 spesies. Selain itu, terdapat 150 patogen penyebab penyakit, 273 jenis gulma, 2 spesies nematoda dan 5 spesies hewan pengerat yang resisten terhadap pestisida kimia.

Ini hal yang wajar karena hama dan penyakitpun ingin bertahan hidup sehingga mereka juga berevolusi atau bermutasi dengan menghasilkan keturunan yang tahan terhadap pestisida. Kenyataan ini menjadi jawaban mengapa aplikasi pestisida kimia terkadang tidak mempan dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Jadi bukan selalu karena pestisidanya palsu atau kadar bahan aktif-“racunnya” rendah.

Berbahaya bagi kesehatan danlingkungan

Selain memicu timbulnya hama dan penyakit yang tahan. Pestisida kimia juga berbahaya bagi petani, konsumen dan lingkungan. Sudah banyak petani yang mengalami keracunan saat menggunakannya. Demikian juga dengan residu atau sisa racun yang tertinggal pada produk pertanian, sangat berbahaya bagi konsumen. Ada yang memberi alasan dengan ambang batas aman. Tapi racun tetaplah racun.

Belum lagi pencemaran lingkungan terutama air dan tanah. Sehingga kualitas air  dan kesuburan tanah menurun.  Selain itu, banyak mahluk hidup berguna yang mati karena pestisida kimia. Dengan kondisi seperti ini  kita menghadapi tantangan yang berat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan melahirkan generasi yang sehat.

Bukannya untuk membangun sikap anti pada pestisida kimia tapi kita harus menyadari  dengan terang benderang dampak buruk dari pestisida kimia dan tidak menutup-nutupinya. Kesadaran ini akan mendorong kita untuk secepatnya mencari alternatif lain yang lebih aman dan berkelanjutan bagi petani, konsumen dan lingkungan.

Dilema Pupuk kimia

 Saat ini, pupuk kimia adalah kebutuhan wajib petani.  Sama seperti pestisida kimia, pemakaian pupuk kimia memang memenuhi kebutuhan tanaman tetapi penggunaan dalam jangka waktu panjang akan merusak tanah itu sendiri. Karena beberapa kandungan pupuk kimia mampu merusak bahan organik tanah.

Menurut Nasahi (2010), penggunaan pupuk kimia yang terus menerus dapat menurunkan kandungan bahan organik tanah sehingga tanah semakin keras, asam, dan menyebabkan penurunan unsur mikro. Kondisi tersebut membuat tanaman semakin rentan terhadap serangan  hama penyakit.

Tanah sehat ditunjukkan dengan kandungan bahan organik yang tinggi dan keanekaragaman mikroorganisme didalamnya. Dan pemakaian pupuk kimia merusak semua itu. Kita bukan anti menggunakan pupuk kimia tetapi jika kita ingin mewariskan tanah ini dalam kondisi yang baik kepada anak cucu kita seribu tahun ke depan,  maka tidak ada pilihan lain selain mencari alternatif  pengganti pupuk kimia yang aman bagi lingkungan.

Belajar dari revolusi hijau

Laba (2010) mengungkapkan bahwa ketergantungan pada pemanfaatan pestisida kimia dan pupuk kimia adalah imbas dari program revolusi hijau sejak tahun 1970 yang menitikberatkan penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia dalam meningkatkan produksi  tanaman, terutama dalam usaha menuju program swasembada beras. Tujuan tersebut memang tercapai tetapi  tidak bertahan lama karena munculnya serangan hama penyakit yang resisten dan penurunan kesuburan tanah sehingga Indonesia kembali mengimpor beras.

Saat itu semua sangat percaya pada pestisida kimia dan pupuk kimia. Bahkan sampai pemerintah melakukan subsidi harga sehingga semua petani mampu membelinya. Belum lagi, “kabar burung” pemaksaan pemakaian pupuk-pupuk tertentu untuk meningkat produksi beras demi program swasembada pangan.

Penolakan kopi asal  Indonesia

Dampak dari adanya kandungan residu pestisida kimia  pada komoditi ekspor Indonesia  terjadi  pada tahun 2012.  Sebanyak 200 ton ekspor kopi Indonesia ke Jepang ditolak oleh badan karantina Jepang karena kopi Indonesia mengandung bahan aktif pestisida yang melebihi ambang batas maksimum residu. Kopi tersebut mengandung karbaril 0,1 millilgram sedangkan batas maksimum yang diperbolehkan adalah 0,01 millilgram. Senyawa kimia tersebut merupakan bahan aktif pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama (Maulana, 2012).

Bertindak bijaksana

Hendaknya kita belajar dari masa lalu sehingga tidak masuk ke dalam lobang yang sama. Keamanan pangan memang penting, sangat penting. Tapi harus dicapai dengan cara-cara yang berkelanjutan. Saat ini program swasembada diartikan dengan tanam terus tanpa istirahat. Menurut saya pribadi, hal ini tidak bijaksana. Tanah, bumi pertiwi, bukanlah benda mati, kita harus menghormatinya seperti Ibu kandung sendiri. Demikianlah anjuran budaya adiluhung kita.

Kita hidup dari kekayaan sang bunda. Eksploitasi atau menanaminya tanpa  henti, apalagi demi tujuan-tujuan yang tidak mulia seperti nama baik atau prestasi egois adalah tindakan yang gegabah dan serakah.  Hendaknya kita selalu mencari cara-cara  yang lebih santun dan bijaksana. Mulai dari teknologi yang ramah lingkungan sampai pengaturan populasi manusia. Bagaimanapun juga, bumi ini memiliki batasannya juga. Hal ini yang harus kita sadari. Janganlah kita mengorbankan banyak hal penting hanya demi keuntungan materi semata.

Peran Penting Pemerintah

Permasalahan ini memang tanggungjawab kita bersama namun pemerintahlah yang terdepan dalam mencari solusi yang kita perlukan. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk membangun dan mendorong kemandirian masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Oleh karena itu, setiap solusi yang diambil harus didasarkan pada permasalahan ril masyarakat  dan hasilnya terukur untuk di evalusi. Dan setiap program kegiatan yang dibentuk pemerintah bersama legislator adalah bagian dari solusi tersebut.

Berdasarkan hal inilah kita belajar. Apakah program-program yang ada selama ini telah mampu menjawab permasalahan utama masyarakat kita, apakah mereka semakin mandiri dan sejahtera, apakah mereka semakin peduli terhadap diri, sesama dan lingkungannya?.

Pertanyaan-pertanyaan kita harus realistis dan membumi bukan untuk mencari siapa yang salah tapi mencari apa yang tidak tepat untuk segera dibenahi.  Oleh karena itu, setiap solusi yang ditempuh haruslah menyentuh setiap aspek kemanusiaan kita.

Seorang humanis abad ini, Anand Krishna, memberikan panduan yang sangat realistis untuk menilai apakah setiap usaha kita, karya kita,  telah berada pada jalur yang tepat.  

Bila Kau Hanya Berkarya Demi Kepentingan Pribadi, Tak Pernah Berbagi dan Tak Peduli Terhadap Alam Yang Senantiasa Memberi Maka Sesungguhnya  Kau Seorang Maling.(Anand Krishna. Life Workbook. PT. Gramedia. 2007 )

Jika Anda Hidup Bagi Diri Anda Atau Keluarga Anda Saja, Bagi Kelompok Anda Saja atau Umat Anda Saja Maka Anda Tidak Lebih Baik Dari Hewan-Hewan Di Hutan.

(Anand Krishna. Sanyas Darma. PT. Gramedia. 2011)

Apakah setiap karya yang kita tempuh telah membuat kita semakin mandiri, sejahtera, tidak egois, mau berbagi dan peduli terhadap lingkungan ?

FOKUS PADA PERMASALAHAN UTAMA

Mengetahui apa permasalahan utama adalah langkah awal yang terpenting. Ini tidak berbeda dengan diagnosis penyakit. Bagaimana mungkin kita akan menyembuhkan penyakit jika kita tidak tahu apa penyakit kita. Mau berobat, tapi  pasien tidak tahu sakitnya dimana. Dan yang lebih parah lagi, sang dokter salah diagnosis pula.

Kita punya banyak masalah. Tapi mana yang paling  penting untuk diselesaikan dulu?. Dan menurut saya, permasalahan pertanian yang paling mendasar di Kabupaten Tapanuli Utara. Yaitu, permasalahan pengendalian hama penyakit tanaman dan pengelolaan kesuburan tanah secara mandiri dan lestari.

EFEKTIF, EKONOMIS DAN LESTARI

Bayangkan jika petani mampu membuat pestisidi hama penyakit dan pupuk  yang efektif, ekonomis dan lestari secara mandiri.  Efektif berarti pestisida buatan petani itu memang mampu mengendalikan hama penyakit tanaman. Mampu  menjamin keberhasilan produksi hingga 80 %. Demikian juga dengan pupuk yang dibuat petani harus mampu meningkatkan produksi tanaman.  Ekonomis artinya biaya pembuatan pestisida dan pupuk murah dan bahan-bahannya tersedia di alam sekitar petani.

Dan produknya harus lestari, artinya pestisida dan pupuk buatan petani bersumber dari alam dan ramah lingkungan. Produk pertanian yang lestari akan memberikan nilai jual dan daya saing global yang tinggi.  Ini artinya petani menjadi mandiri, sehat, selaras dengan alam dan mampu bersaing ditingkat global. Otomatis petani kita akan lebih sejahtera karena peluang yang lebih besar.

WHATEVER IT TAKES

Bagaimana untuk mendapatkan semua itu? Apakah mungkin ?. Sepertinya mustahil untuk mewujudkan semua itu. Memang banyak yang pesimis termasuk orang yang mengabdi di dunia pertanian sendiri.  Bagi mereka, hal itu tidak mungkin dan petani belum siap. Belum waktunya, begitu selalu dalih mereka. Sesungguhnya, alasan-alasan merekalah yang tidak masuk akal dan tidak sopan !.

Bentuk bantuan modal ke petani selama ini sudah terbukti tidak mampu membuat petani kita mandiri dan sejahtera. Kita telah melakukannya selama puluhan tahun. Saatnya melakukan evaluasi. Sudah waktunya  sumberdaya, kemampuan, keahlian petani menjadi fokus utama kita.

Adalah tugas kita untuk mencari semua teknologi itu sampai kemanapun juga. Dengan  mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan dan dana yang kita miliki. Lalu mengujinya bersama petani sampai berhasil, sampai menemukan teknologi yang kita butuhkan. Kemudian menyebarluaskannya kepada petani kita.

PETANI BUTUH BUKTI

Kita harus praktis. Petani hanya percaya pada bukti, pada hasil akhir. Contoh sederhana misalnya permasalahan pengendalian penyakit  yang sangat ditakuti petani yaitu, penyakit virus keriting dan  layu fusarium serta permasalahan pemupukan yang mahal.

Maka usaha kita adalah mencari teknologi ramah lingkungan yang sederhana dan efektif dalam mengendalikan penyakit keriting dan layu fusarium. Kumpulkan sebanyak-banyaknya, dimanapun itu dan semahal apapun itu.  Kemudian uji langsung sampai ke tingkat lahan pertanian hingga berhasil. Nah, teknologi yang berhasil di tingkat lapangan inilah  yang akan kita sebarkan ke tingkat petani. Dan karena petani melihat langsung keberhasilan pengujian teknologi tersebut maka penyebarannya akan sangat mudah. Petani yang akan datang dan menyebarkan sendiri teknologi tersebut. Hanya se sederhana itu !.

Pertanian Berkelanjutan

Salah satu solusi yang dapat kita tempuh adalah pertanian berkelanjutan. Definisi pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian menggunakan usaha-usaha ramah lingkungan yang didasarkan pada mekanisme keseimbangan alam dalam mengendalikan hama penyakit tanaman maupun dalam mengelola kesuburan tanah sehingga kondisi tanah selalu dalam keaadaan optimal untuk digunakan  dari waktu ke waktu.

Salah satu bentuk nyata dari pertanian berkelanjutan adalah penerapan pertanian organik. Saat ini sudah mulai banyak petani yang menerapkan pertanian organik dalam usaha taninya. Sebenarnya gaung pertanian organik sudah lama. Sudah dimulai sejak Go Organik 2010 sampai Gerakan Seribu Desa Organik 2016. Tapi nampaknya implementasinnya hingga saat ini masih sangat rendah.

Tantangan Globalisasi

Solusi pertanian organik menawarkan kesempatan yang lebih holistik. Karena, semua bahan yang dibutuhkan untuk pengendalian hama penyakit dan pupuk berasal dari alam sekitar. Bisa dibuat sendiri secara sederhana dan ramah lingkungan.

Dan yang lebih penting,  produk pertanian organik akan memberi nilai jual dan daya saing yang tinggi. Baik ditingkat domestik atau internasional. Pangsa pasarnya sangat luas dan meningkat setiap tahun karena munculnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan.  Sehingga petani kita mampu menghadapi tantangan pasar global.

PERAN CENDIKIAWAN DAN PENELITI (Quo Vadis?)

Seharusnya para cendikia dan peneliti, terutama di bidang pertanian, mengabdikan setiap usaha mereka untuk membantu sesama demi kesejahteraan petani dan alam. Bukan hanya demi kesejaheraan pribadi saja atau asal melakukan penelitian saja.

Menurut saya, sampai saat ini, sepertinya belum ada sumbangsih para cendikia kita yang betul-betul dapat membantu petani kita dalam menghadapi permasalahannya. Mungkin sudah jutaan penelitian dilaksanakan. Tapi apa dampaknya?

Banyak sekali hasil penelitian yang sangat dibutuhkan petani  tidak sampai kepada petani. permasalahnnya sangat beragam. Ada penelitian yang Efektif tapi sangat rumit dan tidak bisa dipraktekkan di tingkat petani. Atau efektif dan ekonomis tapi dibatasi oleh hak paten. Atau lebih tertarik dunia komersil ?. Demikian juga dengan dunia pendidikan. Suadah dimanakah  sumbangsih dunia pendidikan, terutama fakultas pertanian, terhadap permasalahan ril petani ?

Seharusnya para peneliti kita selalu mengingat darma mereka.  Apakah tidak pernah muncul dalam benak mereka untuk bersatu padu dalam mencari solusi yang dibutuhkan petani ?. Entahlah. Terkadang saya geleng-geleng kepala saat membaca begitu banyak hasil penelitian yang sangat dibutuhkan petani tapi tidak pernah bisa sampai ke petani.

Saya membayangkan adanya persatuan para peneliti dalam mencari solusi yang dibutuhkan petani dan langsung mengujinya bersama petani. Sungguh sebuah tindakan yang sangat mulia.  Semoga.

Pertanian  Organik dan Generasi Muda

Jika kita sudah menemukan teknologi pertanian organik/berkelanjutan/selaras alam/ramah lingkungan yang sudah teruji dalam mengendalikan hama penyakit tanaman dan meningkatkan kesuburan tanah maka kesejahteraan petani dan alam akan lebih mudah dicapai.

Dan hal ini akan menarik minat generasi muda kita. Mereka akan lebih memilih menjadi petani di tanah sendiri daripada keluar daerah untuk mencari nafkah.

Saatnya kita mulai berkarya. Aktif mencari teknologi pertanian selaras alam yang kita butuhkan. Menyebarkannya ke petani dan sekolah-sekolah (SMP, SMA, SMK).  Inilah takdir kita. Kita tinggal di daerah pertanian. Harus berhasil dari tanah pertanian. Petani sejahtera, alampun sejahtera.

Nasahi, C. 2010. Peran Mikroba dalam Pertanian Organik. Universitas Padjadjaran Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian. Bandung. 73 hal.

Laba, I. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (2) :120-137.

Maulana, F. 2012. Penerapan standar mutu kopi ekspor Indonesia. (On-Line). http ://www.academia.edu/6327723/economics of governance kasus penolakan kopi Indonesia oleh Jepang  diakses 19 Mei 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun