"Maksudmu?"
"Aku tidak ingin dikenal banyak orang lewat buku-bukuku nantinya."
"O, pakai nama pena."
"Nama pena? Apakah boleh?"
"Tentu. Nama pena itu biasa dalam industri penerbitan. Banyak penulis fiksi, Franklin Eckhart, Elena Heinzt, Colin Foer, Emir Hasan, mereka pakai nama pena di banyak buku yang ditulisnya. Bahkan ada yang menyamar jadi perempuan, begitu pun sebaliknya."
"Oh, kalau begitu aku mau pakai nama pena."
"Oh ya? Pilih saja satu nama yang menurutmu bagus. Untung Asmalik, misalnya. Atau yang pendek singkat: Nukman Fins. Tetap elegan dan tidak boros ketikan."
"Tidak, tidak. Aku mau pilih sendiri."
Lim mengangguk paham. Untuk beberapa jam berikutnya di gerbong itu diselimuti hawa panas mengikuti gerak matahari yang meninggi. Lim masih sibuk membantu Anwar mendapatkan nama pena tapi tak kunjung ketemu. Mereka tiba di Jakarta lima belas menit lebih cepat dari jadwal.
Tiga bulan berikutnya toko-toko buku sudah diramaikan dengan koleksi seri buku fiksi baru. Judul yang paling dinantikan banyak orang adalah roman singkat berseri yang menceritakan seorang tokoh bernama Ginanjar, dalam pencarian masa remajanya, saat-saat bertemu dengan tokoh Kirana, hingga pertaruhannya membangun industri perkapalan dan perdagangan karet dan bangku kuliah yang dipaksakan oleh orang yang bukan keluarganya. Buku pertama berjudul Pengaruh, terjual lebih dari tiga ribu eksemplar dalam waktu satu bulan saja. Sementara jilid kedua berjudul Epos jadi yang paling cepat laku dalam dua minggu pertama penjualannya. Pembaca terbanyaknya datang dari kalangan pekerja yang bosan dengan rutinitas mereka, dan sebagian paruh baya yang rupanya mencari hiburan dari kehidupan mereka yang membosankan.
Publik banyak mengulas buku-buku ini akan tetapi tak satupun yang berhasil meraih langsung penulisnya. Tak ada sosok yang benar-benar terkenal kecuali nama penulis yang tercantum di sampul buku: CHARLES BADWIN.