"Kau tahu aku sayang matamu itu, sayang," ujar istrinya.
"Iya. Iya. Dan aku menyayangimu dari kaki sampai ujung rambut." Pengetik membalas manis sambil memegang pinggang istriya.
"Sampai kapan?" canda istrinya. Membuat mereka cekikikan dalam rangkulan. Mereka kemudian menghilang ke lantai bawah rumah mungil itu.
**
Malang. Musim panas 1997.
Anwar Hazidi berusia lima puluh tujuh ketika mendapatkan pesta kejutan itu. Saat dirinya meyakini harus tiba di rumah dalam keadaan lelah dan langsung ingin merebahkan diri di dalam kegelapan antara sofa dan meja televisi, cahaya tiba-tiba menyergap ruangan itu, menyilaukan matanya.
Seratusan orang berkumpul di rumah gaya 70-annya yang berlantai dua dengan ornamen indah yang meliputi tangga melingkar dari kayu mahoni. Dandanan mereka lucu-lucu, penuh pita tapi tetap dengan setelan formal. Istrinya, Risa, berjalan dengan kue kentang berhias lilin kemiri kecil sebagaimana tradisi-tradisi keluarga mereka sebelumnya. Seperti biasa, sambutan diberikan oleh yang berulang tahun dan saatnya memberi kesan baik kepada semua tamu. Lampu tidak terlalu terang dengan cahaya kuning kemerahan menambah kehangatan minuman yang sebetulnya di banyak bagian telah ditambahkan es.
"Kalian bisa mendirikan kelab mafia untuk sebuah niat jahat atau kartel narkoba, pasti untung besar." Tuan rumah membuka candaan yang disambut tawa sebagian orang. Agaknya sebagian yang lain punya selera humor yang berbeda. Setelah berdeham beberapa kali dan tepuk tangan mereda, Anwar melanjutkan.
"Pengalaman saya selalu baru di setiap hari ulang tahun. Tak selalu hingar bingar, tapi mengesankan. Dan saya rasa, untuk tahun ini, sepertinya yang paling ramai. Kalian semua, teman-teman di Fransis Inc., Sedayu Grup, hei... bahkan ada yang dari yayasan Fidelius!" Ia menunjuk satu-satu dari hadirinnya yang membalas dengan lambaian tangan. "... Risa, istri saya tercinta, Saya merasa seperti anak SMA yang mendapatkan kado pertamanya. Terima kasih."
Pesta itu berlangsung meriah, orang-orang membaur dan mendapatkan kenikmatan sosial yang jarang mereka temui di tempat kerja. Beberapa pekerja dari kalangan bawah bahkan dapat kesempatan menjabat tangan dan mendapatkan kartu nama pejabat direksi perusahaan idamannya. Kebahagiaan bagi Anwar nyaris lengkap, beberapa dari temannya menghampiri tapi tak banyak yang menyantol ngobrol cukup lama, kecuali satu orang.
Ignatius Lim bersetelan putih gading di jas dan celana sementara warna lumpur di kemeja dan sebagian dasinya. Banyak kilau di perhiasan leher dan pergelangan tangannya sepertinya jadi alasan mengapa matanya nampak semakin sipit, di samping memang dari awalnya sudah begitu. Anwar menyambut temannya itu dengan jabat tangan, bahkan peluk hangat.