"Ampu Cinok mana? Dia mati kah?"
Tidak ada yang berani menjawab. Trah berkeliling, mengguncang-guncang pundak ibu-ibu di situ, tak ada yang menjawab. Yang lainnya hanya tertunduk. Semua tahu siapa yang menadah anak perempuan ini ketika lahir, siapa yang mengikir giginya, siapa yang menimangnya, siapa yang memberkatinya. Lebih lanjut, semua dari mereka tahu bahwa gelaran Baca Akika bisa batal kalau Ampu Cinok benar-benar telah mati. Tertulis dalam aturan adat, anak keseratus hanya bisa digelar Akika oleh puncak pemimpin adat. Keistimewaan bulan purnama juga awalnya dihitung akan penuh jika Trah diberkati oleh orang yang pertama kali menyentuh darah kelahirannya.
Kini Ampu Cinok dipercaya benar-benar telah tiada. Demi kepercayaan menolak bala dan menunggu situasi lebih baik, tetua desa berkumpul di Gauk Tappu' dan memutuskan menunda gelaran Baca Akika sampai terpilih ketua adat yang baru. Anak keseratus itu, Trah, akhirnya dibolehkan untuk kembali meninggalkan desa, membawa kekecewaan yang tergambar jelas dari tiap langkahnya. Di gerbang pelepasan desa itu warga berkumpul, melepas Trah yang urung diberkati. Dua-tiga dari mereka berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan anak ini, berpikir mungkin kehidupan kota bisa melindunginya dari marabahaya dan ketidakberuntungan kakek-nenek moyang mereka.
Di tengah kerumunan itu berdiri pula Salim. Lelaki itu tersenyum dan tetap tak banyak bicara. Sesaat sebelum perempuan muda di kejauhan itu menutup pintu mobil yang akan membawanya pergi, Salim menangkap senyum. Sekilas saja, tapi ia menganggapnya jawaban panjang.
Sepulang ke rumah, laki-laki itu menghampiri seorang ibu dengan surat tergenggam di tangannya. Di amplop putih itu tertulis nama Salim, dan sebuah pengirim yang tersenyum di dekat kaca angin.
"Simpan rahasia yang bisa kau simpan, Nak," kata Puang Kilopa memberi isyarat secara misterius saat menyodorkan surat itu.
Trah kembali mengarungi kehidupan sehari-hari yang didambakannya, meninggalkan desanya sekali lagi dengan kekecewaan yang terasa seperti sesuatu yang berulang. Tapi kali ini, bukan ketiadan yang membuatnya lantas bisa tersenyum, tapi ketakutan-ketakutan yang menghantuinya kelak jika semua kelihaiannya ini terbongkar. Dalam surat yang dititipkan pada ibunya tertuang penjelasan panjang tentang bagaimana sekelumit drama ini bisa terjadi. Kunci-kunci terhadap rahasia-rahasia yang kekuatannya seperti mantra-mantra para tetua. Juga kebenaran tentang sebuah kejadian di kantor seorang perempuan muda dan tamunya yang meminta pembayaran uang muka. Kebenaran-kebenaran yang akan membuktikan pendapat bahwa kekolotan bisa dipermainkan lagi, dan kecerdasan bisa membuahkan mimpi-mimpi buruk. Di dalam surat itu termuat semua jawaban yang akan tetap menjadi rahasia, yang dititipkan hanya kepada seorang laki-laki muda.
Jawaban-jawaban itu akan menjawab pertanyaan berikut: Apakah Ampu Cinok benar-benar mati? dan "Jika tidak, di mana dia sekarang?"
Trah tersenyum dalam mobil yang kini melaju kencang menuju kota. Meniup remah daun dari tangannya. Ia baru saja menyelesaikan pengiriman sejumlah uang untuk kehidupan panjang seorang tetua.
-------------------------
Ilustrasi: 123rf.com.