"Tapi..."
"Bukan tapi-tapian. Lagipula ngapain kamu sampai ke Semarang Cuma untuk membawaku pulang? Kau bukan suamiku, kakakku apalagi pengasuhku. Masa lalu kita Cuma semasa remaja dan semua yang ada sekarang tidak lagi seperti dulu."
"Iya aku paham itu."
"Bagus. Sekarang permisi."
"Trah!" Salim berlari kecil mengejar, berkelok melewati dua koridor sampai kembali mencegat perempuan itu sebelum melewati lobi. "Ampu Cinok menghilang."
Trah menghentikan langkahnya. Ia menunduk, berpikir, mengingat. Kemudian setelah kesenyapan mereka berdua yang sama-sama membingungkan, Trah kembali melangkah.
"Trah! Ampu Cinok itu yang menadahmu ketika lahir di kebun dulu. Tidakkah kau khawatir dengan keadaan orang tua yang sudah seperti bapak dan kakekmu sendiri?"
Perempuan itu berlari kecil. Pikirannya kalut seketika. Menyadari ia tak bisa memenangkan perdebatan berkait masa lalu dan kodrat seperti ini, ia berlari kecil. Pintu mobil taksi itu tertutup kemudian berlalu, meninggalkan Salim yang menggeleng di lobi.
Di dalam kamarnya Trah tidak bisa tidur. Selama beberapa jam belakangan ia tak banyak makan dan membiarkan setumpuk salmon panggang itu tergeletak saja di atas meja dapurnya. Ruangan apartemen itu senyap. Boneka magnet berbentuk kucing hanya bergerak-gerak tanpa menghibur cukup dan mendatangkan ketenangan pikiran yang didambakan. Trah berbaring di kasurnya hingga matanya menatap langit-langit. Gelap, suram, seperti ada kabut pekat yang masuk ke semua rongga di kepalanya.
Ampu Cinok menghilang. Dia pernah bilang, kalau sudah waktunya, ia akan pergi dan warga desa, dan cucu-cucunya, tak perlu mencarinya. Itu adalah awal keabadian yang akan menenteramkan orang-orang hidup. Penggalan perkataan itu terngiang-ngiang meski didengarnya dalam sembilan belas tahun silam. Ampu Cinok adalah seorang bapak, pekerja yang memberi makan, penghibur yang memberi ajaran, pelindung yang memberi tuntunan. Trah ingat, namanya diberikan oleh Ampu Cinok setelah melihat sebuah bintang cerah melintas kala malam.
"Itu adalah wujud rezeki untuk semua keluarga di kampung ini. Trah, kekuatan persamaan dan kemakmuran tempat kelahiran, itu akan jadi nama anak ini," kata Ampu Cinok saat memegang kepala bayi perempuan yang lahir masih berdarah-darah dua puluh lima tahun lalu itu.