Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trah

29 September 2013   11:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trah  bangun dari mimpinya. Ia tiba-tiba disergap ketakutan. Jendelanya seperti ada yang mengetuk-ngetuk. Kain gordin berkibar-kibar tak beraturan, angin lolos masuk lewat bilah angin yang lupa dikunci. Trah meloloskan dua kakinya keluar dari selimut, memperlihatkan jenjang betis dan pahanya yang tidak tertutupi appa-apa selain basuhan minyak zaitun. Ia membuka kancing paling atas dari kemeja putih longgar yang biasa dipakainya itu, membiarkan angin sejenak memasuki semua sela badannya sebelum menutup jendela. Dari lantai tujuh seperti itu, angin pagi buta lebih mirip ribuan jarum akupunktur yang menusuk sekaligus. Jendela tertutup. Saat kembali ke meja dan mengecek layar ponselnya, ia kembali teringat mimpi itu. Mimpi tentang Ampu Cinok. Di layar itu tertulis juga nama yang sama, frasa tunggal dari pengirim pesan yang sama. Trah terkejut, menjerit, berteriak pendek. Ia terkejut oleh foto mendiang ayahnya yang jatuh dari dinding. Gambar itu pecah membilah-bilah, menempatkan seutas senyuman bersahaja di gambar itu terpisah-pisah.

Siang berikutnya, Trah terdiam di dalam sebuah taksi menuju bandara. Di sampingnya, Salim memilih tak berkata apapun sampai perempuan ini menunjukkan keterbukaan yang dirindukannya sejak dulu.

**

"Ampu Cinok dikira mati!"

Warga bersahutan dalam bisik-bisik yang membingungkan. Desa itu gempar sejak subuh membuat Puang Kilopa lari tak bersandal dan mengangkat lilitan sarungnya setinggi betis, meninggalkan sayur buncis yang mendidih-didih dijaga tiga anak kecilnya yang tak tahu apa-apa. Warga desa berkumpul di balai panggung bertiang kayu kelapa tempat pertemuan adat biasa dihelat. Maipun, nelayan dari kaki gunung membawa kabar dengan sehelai kain basah yang berlumuran darah. Tiga tetua membelah kerumunan dan bejongkok di depan kain, saling menatap, menggeleng, lalu mengusap dagu sendiri-sendiri bergantian, takut menyimpulkan sebelum ada bukti lebih lanjut. Tapi warga desa tak perlu banyak bukti untuk menyimpulkan kejadian. Setiap yang dilihat adalah pertanda. Dan atas desakan itu pulalah, tetua mengumumkan keadaan darurat.

Trah terbangun dari tidur paginya. Punggungnya terasa sakit lantaran alas bambu berkait tak membiasakan tubuhnya yang kadung akrab dengan pegas baja dan bantalan busa.

"Bangun, bangun Nak!" sergah ibunya menepuk bahu. Puang Kilopa menaruh cangkir teh begitu saja kemudian membangunkan anaknya itu. Trah mengulat kemudian menggerutu, bertanya apa gerangan yang mengganggu tidurnya setelah semalaman dibuat begadang oleh bincang-bincang yang tidak dimengerti.

"Bohenu, bohenu, Ampu Cinok telah pergi! Dia mati!"

Trah langsung bangkit. Hanya berseru "apa?", tanpa sempat mandi dan berganti baju, perempuan itu turun dari rumah panggungnya, menginjak bilah-bilah bambu di tangga dengan kaki telanjang, lantas berlari ke arah kerumunan.

"Di mana Ampu Cinok, dia mati? Dia mati?" teriak Trah, membingunkan segenap warga di situ.

Maipun si nelayang, bangkit dengan ketakutan, ia merasa telah melihat orang kesurupan, dari sorot mata Trah yang berair, merah, rambut yang berantakan, dan kata-kata yang seperti penuh amarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun