Pikiran itu membuat Trah sering ditegur karena melamun saat rapat. Kebimbangan seorang perempuan sering kali muncul tiba-tiba dan berlangsung secara tidak masuk akal, meninggalkannya pada pilihan-pilihan sulit yang sebetulnya bisa dibuat mudah dengan keputusan. Hanya saja, bagi Trah, alasan penting kenapa ia tak ingin kembali ke desanya adalah karena ia tak ingin jadi orang yang disanjung dan dijadikan tumpuan harapan berlebih. Ia sudah dengar banyak dongeng tentang perempuan sukses yang kembali ke kampung halamannya, dan kemudian merasa dimiliki, dirangkul, di sisi lain dihakimi macam-macam stigma perkotaan. Dia tak begitu percaya dengan kebanggaan semacam itu. Menurutnya, perempuan maju yang meretas peradaban baru harus bisa berlaku lebih baik, lebih membatasi diri, walaupun tidak harus berlaku sombong dan melakukan pembedaan sosial. Tahu kapan memberi harapan dan kapan melepaskan. Semua pikiran itu bercampur di kepalanya, membuatnya tak efektif bekerja dan sering kali terbawa mimpi.
Di hari Minggu petang ketika baru saja keluar dari lift, Trah dikejutkan oleh seseorang yang sudah berada di depan pintu apartemennya.
"Kau?"
"Trah."
"Sudah kubilang aku tidak akan pulang. Kau lihat sendiri, pekerjaanku di sini banyak."
"Tapi Pak Faisal sudah memberimu cuti dua minggu."
"Dari mana kau tahu bosku mengambil keputusan semacam itu?"
"Temanmu yang kasih tahu."
Barulah Trah sadar, kalau Salim -yang kini berdiri tersenyum di depannya-- tidak sendirian. Di belakang laki-laki itu berdiri teman kantornya yang menyeringai seperti takut-takut sekaligus puas menjahili. Akhirnya ia menyerah, melemaskan pundaknya kemudian jalan berlalu.
"Trah, tunggu," cegat Salim tak sampai menyentuh lengan perempuan itu.
"Salim, laku spiritual seperti itu bukan bidangku. Dan kau dulu pernah bilang sendiri, bahwa hal-hal kolot di desa bisa ditinggalkan kalau kita punya pandangan sendiri terhadap peradaban dan cara-cara manusia menilai perubahan hidupnya. Nah, sekarang aku memilih cara pandangku sendiri."