Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Juru Semangat

27 Desember 2012   23:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:56 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

TIGABELAS TAHUN memiliki segalanya membuat laki-laki ini merasa ia telah memenuhi tugas hidupnya. Aset bermilyar, anak-anak yang pintar dan hubungan sosial yang meninggikan derajat. Ia utuh sebagai seorang pengusaha dan penyayang keluarga. Tapi itu tak bertahan lebih lama, saat ia baru menyadari bahwa roda itu benar-benar berputar pada porosnya.

Utang datang dan berlipat tanpa begitu jelas bagaimana awalnya. Aset digadaikan kalau tidak dijual pada akhir tahun ketiga. Laki-laki itu berusaha meyakinkan istri dan anaknya bahwa keluarga itu baik-baik saja. Tapi ia sendiri hanya bertahan selama dua tahun yang panjang, hingga akhirnya pada Desember 1979 ia sudah berdiri di tepian atap gedung Wisma Nusantara. Merasakan angin begitu ingin menuntaskan keinginannya sampai ke tanah.

“Ayo turunlah. Kita masih bisa membicarakan ini.”

Seorang pembujuk yang juga seorang sahabat diutus ke atap itu. Situasi meminta kematian membuat puluhan polisi hanya bisa menyediakan bantal angin raksasa di atas aspal di bawah sana, dan puluhan orang pulang kerja menutup mulut-mulut mereka dengan telapak tangan dan sambil berharap sebuah keajaiban terjadi. Sebagian lain mungkin ingin sesuatu yang mengejutkan terjadi dan kamera mereka bisa merekamnya untuk sebuah harga yang mahal.

“Lihat, kita memakai topeng yang sama. Topeng Semar ini telah menjadikan kita kawan baik, sahabatku. Apa kau tidak ingin kita berdiskusi banyak hal lagi soal Tanjung Priok atau Tana Toraja? Kukira kau masih senang juga dengan cerita-cerita kita soal tukik di Wakatobi atau Orangutan di Kapuas. Ayo, menghadaplah kemari dan lihat aku.”

Pembujuk mengenakan topeng Semar yang sama persis dengan yang dipakai calon pelaku bunuh diri itu. Dari bawah plasa, orang di tepian gedung setinggi tigapuluh lantai nampak seperti batang lidi, dan topeng itu tak banyak memberi petunjuk tentang siapa dia sebenarnya, atau apa cerita yang membuatnya ingin menyudahi kehidupannya sendiri.

“Kau masih mencintai istrimu?” tanya pembujuk itu setelah keheningan yang membingungkan. Orang di tepian atap tetap bungkam dan tak satu kata keluar dari mulutnya. Ia merasakan tubuhnya goyah karena angin dan kakinya mulai keram. Pikirannya berputar-putar soal banyak hal yang ingin sekali ia lupakan.

Di bawah sana, di antara kerumunan, seorang perempuan berjaket wol tebal berlari dengan sisa tenaganya kemudian menghilang di garis pintu utama.

“Aku tanya apa kau masih mencintai istrimu?!” tanya pembujuk itu lagi saat suara kereta dari kejauhan terdengar begitu jelas dan kilatan cahaya mulai mengganggu. Ia mulai kesal. Bayang-bayang tentang apa yang mungkin akan terjadi kadung hinggap di benak orang-orang. Angin kembali lewat untuk keheningan sejenak.

“Ya.” Kalimat balasan itu terdengar juga. Suaranya kurang jelas karena gerak bibirnya terhalang karton topeng yang bergerak-gerak.

Pembujuk itu, yang berjas biru langit rapi dan rambut tersisir klimis, akhirnya bernapas lega. Mungkin dengan balasan satu kata itu, orang di tepian atap mulai menyadari keadaannya, mulai bertanya apa yang dilakukannya, dan mungkin, mengakhiri aksinya demi semua orang dan apapun yang masih dipercayainya. Tapi tiba-tiba ia merasa bahwa dugaan itu bisa saja salah.

Orang di pinggiran atap menutup matanya. Dan hanya dalam satu kedipan itu, semuanya tergambarkan begitu sempurna.

Ia telah mendapatkan sebuah keberanian yang memuncak pada saat yang tepat. Angin membawanya pada keheningan lima detik dan berhenti pada saat semuanya seketika gelap. Bunyi geretuk menandai pendaratan keras sudah pasti setidaknya belasan ruas tulang patah. Orang-orang berteriak dan kamera berkabel bergerak ke arah lantai depan gedung saat lampu tanda merekam masih berkeli-kelip. Tubuh itu terhempas tanpa bisa ditahan bantal angin yang tak terpompa sepenuhnya. Darah pecah membuat polisi sigap menghalau orang-orang yang menyeka mulut. Lima detik kemudian, pintu darurat menuju atap terbuka dan seorang istri menjerit dalam tangisan.

Topeng Semar terlempar ke atas rumput.

**

Saidi Atmaja mendatangi seorang motivator ternama pada awal April 1978, saat baru saja menyadari bahwa vonis medis penyakit Leukimia atas dirinya bukanlah mimpi. Ia terkejut hanya beberapa hari sebelum memutuskan, atas restu keluarganya, kemudian mencari cara bagaimana, bukan hanya menyembuhkan penyakit itu, tetapi juga memanjangkan umurnya. Karena tak banyak yang tahu, ia sesungguhnya berada di batas tipis garis keputusasaan. Ia rela mengeluarkan hartanya untuk apapun, asalkan dia bisa melanjutkan hidup dan terus bermain pasir bersama cucu-cucunya.

“Untuk beberapa malam saya bermimpi bunuh diri, Pak.” Kalimat curahan hatinya melantun pelan di bilik kecil berukuran sebelas meter persegi itu.

Saidi mengetahui kiprah Firdaus Dim dari beberapa rekan  bisnis yang dulu pernah menggunakan jasa dari orang yang sama Motivator berkulit putih dan sesekali berkacamata ini dikenal melayani pelanggan kelas atas, dari direktur perusahaan minyak sampai pemimpin redaksi kantor berita yang akhirnya tutup. Tutur katanya lembut dan gerak tubuhnya seakan tak pernah salah. Ia selalu menyambut pelanggannya dengan jabat tangan rapat dan tepukan halus di siku atau lengan atas. Sambutan sama yang diterima Saidi beberapa menit selepas magrib itu.

Hanya ada dua kursi dan satu meja. Terpasang di tengah ruangan dengan penerangan lampu cahaya kuning lembut kecil dan dua jendela kaca tertutup. Satu kursi ditempati Saidi sendiri, sementara kursi satunya diduduki sang motivator yang dengan senyuman simpati setia menunggu kelanjutan kalimat dari kliennya yang nampak sangat membutuhkan bantuan itu.

“Coba ceritakan.”

Saidi mengangguk kepada sang motivator yang ia percayai. Merapatkan jari-jari tangannya seiring dengan lututnya yang mulai rileks. Darah mengalir turun dari kepala dan memenuhi hampir semua rongga dadanya dengan desiran yang menghangat. Ia merasakan dirinya mulai terobati.

“Pada intinya, saya bangkrut.” Klien itu memulai kisahnya.

“Dulu saya pengusaha industri garmen yang sukses. Tapi tahun-tahun belakangan bisnis di bidang ini mulai lesu. Penjualan menyusut dan tahun kemarin saya harus memberhentikan seribu lima puluh karyawan. Semuanya saya kasih pesangon dan sebetulnya waktu itu tidak ada masalah. Masalah baru muncul ketika orang-orang India dari Sumatra dan Sabah datang dan membuka bisnis. Mereka menguasai pasar garmen di Tanah Abang, Merak bahkan mengunci penyuplaian melalui Tanjung Pinang. Kemudian saya berpikir Toraja, tanah indah yang terkenal dengan tenunnya, tapi tak jadi. Kalah bersaing di produksi dan beban biaya bahan baku yang tidak lebih murah membuat saya mengambil keputusan pahit. Perusahaan garmen kami tutup dan saya kehilangan sumber pendapatan. Tabungan dipakai untuk melunasi cicilan aset dan sebagian untuk pesangon sisa dan pajak bulan terakhir. Praktis uang saya cukup hanya untuk membiayai rumah baru yang kami kontrak, yang ukurannya tiga kali lebih kecil. Anak-anak saya tertunda masuk kuliah hingga kami memutuskan dengan sisa modal sepuluh juta, membuka toko kelontong kecil di Mojokerto, kampung istri saya.”

“Saya bisa pahami perjalanan itu tidak mudah,” komentar Firdaus bersimpati. Melepaskan kaitan jemarinya dan memasang telapak tangannya lebih banyak menghadap keluar kalau tidak ke atas. “Silakan lanjutkan.”

“Nah begitulah, Pak Firdaus. Saya tidak tahu bagaimana mengembalikan kepercayaan diri saya, terlebih lagi … kepercayaan istri dan anak-anak saya. Karena jatuh bangkrut, beberapa kali kami harus menutup diri dari pergaulan sosial, dari teman-teman bisnis pun kami memutus kontak. Istri saya kalau keluar menggunakan ojek atau angkot, suka merasa risih karena dicemooh orang. Tidak tahan, dan saya pahami itu. Tapi belakangan rupanya ia sudah tidak tahan, dan meminta cerai.”

Saidi menghela napasnya sejenak setelah mengucapkan kalimat terakhir itu. Di bangku sebelah, Firdaus menegakkan badannya dan coba memahami lebih baik. Bangkrut sudah buruk, dan digugat cerai tentu akan lebih pahit. Belum lagi ia kadung mengetahui bahwa kliennya ini mengidap Leukimia yang bukanlah penyakit main-main.

“Ketakutan-ketakutan berpisah dari istri, ditagih janji oleh anak-anak dan dikejar-kejar sisa utang, membuat saya bingung harus mengadu ke mana, Pak Firdaus. Ya, mungkin Anda akan bilang mengadulah ke Tuhan. Tapi maaf, saya sedang tidak merasakan kehadiran Tuhan di ruangan ini atau di manapun. Saya justru yakin, ini semua adalah rencana Tuhan untuk saya, dan Dia akan duduk saja melihat bagaimana saya jatuh perlahan-lahan.”

Firdaus tersenyum mendengar keluhan kliennya yang mulai gemetar.

“Dulu memang saya beberapa kali mencurangi orang, merekayasa keuangan sampai membohongi keluarga. Tapi itu dulu, apakah saya harus membayar itu semua saat ini? Kalau ini karma untuk saya, saya ingin tahu paling tidak, ke mana tujuan yang ditunjukkan Tuhan itu untuk saya? Saya ingin cepat-cepat sampai di sana, mengakhiri kepahitan-kepahitan ini. Saya ingin cepat tahu apa takdir untuk saya, Pak.”

Firdaus masih tersenyum. Kali ini badannya kembali dicondongkan ke arah meja.

“Pak Saidi, saya minta maaf. Tapi kiranya saya tidak bisa membantu Anda, untuk masalah Anda ini.” Motivator itu lantas berkata tegas meski nada bicaranya tak sampai meninggi.

“Lo, mengapa? Bukannya tugas Anda adalah menyemangati orang? Pekerjaan Anda seperti di spanduk-spanduk itu, seorang juru semangat kan? Untuk siapa saja, untuk masalah apa saja.”

“Itu benar.”

“Lalu mengapa tidak mau membantu saya untuk masalah-masalah saya?”

Firdaus tak langsung membalas melainkan menggelengkan kepalanya beberapa jenak.

“Anda harus menghadapi masalah ini sendirian, Pak Saidi. Anda telah banyak berbuat buruk di masa lalu, dan Anda harus membayarnya di hari-hari ini. Anda menanam duri dan hari ini Anda akan menuainya. Tugas saya tidak akan bisa lebih jauh daripada menemani Anda mengambil tindakan tepat, semata-mata agar Anda tidak terjebak lebih buruk. Pada dasarnya, semua orang punya kesamaan.”

“Kalau begitu tolong bantu saya untuk melalui ini, Pak.”

Keheningan menyergap lagi seisi ruangan itu saat Firdaus seperti meraba-raba pikirannya sendiri.

“Soal permintaan Anda, akan saya kabari dalam tiga hari ini.”

Saidi berterima kasih dan mereka berpisah malam itu. Tiga hari kemudian Saidi mendapat kabar baik bahwa masalah-masalahnya akan ditangani atas bantuan juru semangat itu.

Tiga bulan pendampingan intensif membuat Saidi merasa sedikit tercerahkan. Ia mendapat petunjuk-petunjuk teknis tentang bagaimana menghadapi para pengutang yang marah, berbicara pada anaknya bahkan melakukan kontak kembali dengan istrinya. Firdaus memberi cara untuk melihat masa depan dengan mata tertutup, menentukan jalan hidup yang diinginkan sama seperti menebak garis Tuhan untuk diri kita. “Anda akan mengetahui masa depan jika terus-menerus memikirkannya.” Kehidupan mantan pengusaha besar itu perlahan-lahan kembali terisi dengan udara hangat yang turun di malam hari dan udara sejuk di tengah hari. Laki-laki enampuluh itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada juru semangatnya. Tapi Firdaus juga beberapa kali hanya mengucapkan kalimat yang sama.

“Pada dasarnya semua manusia punya kesamaan, Pak Saidi. Keputusan-keputusan Anda sendiri yang memengaruhi jalan hidup Anda.”

Dua orang ini berteman baik selama beberapa tahun berikutnya.

**

Pertemanan yang hangat. Tapi justru ini yang membuat Saidi kembali sedih. Semua bayangannya tentang seorang juru semangat, seorang pembawa masalah hidup dan semua cerita dari kalimat penghibur di antara keduanya seperti menggelayut pelan kemudian menghilang. Langit memang bisa saja runtuh untuk beberapa orang dalam sekejap, tapi kita tidak boleh kehilangan pijakan. Kalimat itu menjadi pegangannya bersama-sama beberapa kata penyemangat lain yang ia dapatkan dari seorang teman baik. Seorang juru semangat. Yang ia tak percaya ialah, bahwa roda itu terus berputar.

Malam ini, juru semangat itu berdiri di tepian Gedung Wisma Nusantara. Berdoa agar angin berpihak pada mereka.

Kedua topeng itu terbuka.

Firdaus membuka kembali matanya dan merasakan bahwa kengerian dari gambaran dirinya yang jatuh dari tapian gedung itu tak sepenuhnya menyenangkan. Mengejutkan, malah. Ia tiba-tiba merasakan kepalanya pening ketika membayangkan tubuhnya terpental dan jatuh bersimbah darah dengan kepala pecah. Ia merasakan ngilu di semua badannya ketika membayangkan bunyi belasan tulang yang patah. Ia bergetar, ketika membayangkan jeritan istrinya yang tak tertahan melihat dari ketinggian 30 lantai. Semua bayangan itu berganti-ganti, sampai akhirnya ia sadar ia masih merasakan angin di daun telinganya.

“Firdaus, turunlah.” Saidi kembali membujuk. “Lihat istrimu.” Laki-laki itu memegang lengan seorang perempuan berjaket hitam tebal. Perempuan itu menangis dengan matanya yang sembab meski kata-katanya tak keluar.

“Kalian mungkin saling tidak cinta lagi dan di ambang perceraian, tapi bukankah ini bukan akhir, Firdaus? Bukankah … kau selalu bilang bahwa roda hidup pasti berputar, dan semuanya soal menuai apa yang ditanam? Kita punya kesamaan soal siklus …”

“Aku tahu persis soal siklus hidup, Saidi!”

Firdaus membalik badan dengan amarahnya yang mendadak. “Aku tahu … siklus hidup akan membawa setiap orang pada keseimbangan garis Tuhan. Aku tahu itu, aku bahkan tahu, bahwa takdir kebersamaan aku dan Risma berakhir di atap gedung ini. Tak semua yang kau dengar dari seorang juru semangat itu benar, kawan. Tak semua juru semangat menyingkirkan kesedihan jauh di kedalaman sumur yang tersembunyi.”

Angin berhembus melengkung dan menghilang di tengah-tengah puncak gedung.

“Selama beberapa tahun ini aku menganggap diriku orang yang paling beruntung di dunia. Punya semangat, kehidupan yang mapan, teman yang peduli.” Firdaus menangis dan mengangkat telapak tangannya mengarah ke Saidi. “Tapi ada hal-hal … yang bahkan bagian paling bersemangat dari dirimu sendiri pun tak bisa kendalikan.” Firdaus kembali menggerakkan kakinya mendekati pinggiran atap. “Hal-hal tentang perasaan cinta, tentang pertanyaan-pertanyaan kritis mengapa kau jadi orang yang paling dipercaya oleh banyak orang. Aku mencintai perempuan ini tanpa bisa lagi menebak apakah ia mencintaiku atau tidak. Tidak mudah, ketika kau mendapat sedikit masalah kemudian orang-orang menjadi tidak percaya lagi padamu. Kau tahu, itu bagian tersulit dari menjadi seorang juru semangat.”

Saidi merenungi kata-kata itu. Dan saat semua orang bersiap untuk sesuatu yang mengerikan, dan saat kamera-kamera menyala untuk rekaman terbaik, momen itu berakhir.

**

Februari 1980.

Saidi membuka warungnya dan memungut surat kabar langganannya dari pinggir jalan. Ia baca berita itu, menggeleng kemudian tersenyum. Nampaknya, teman lama yang paling berkesan di ingatannya, kini telah menemukan kehidupannya yang baru. Tidak bersama wanita yang dicintai, tapi puluhan orang lain yang memutuskan untuk melanjutkan hidup.

* Ilustrasi: bukitbarisan.wordpress.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun