Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Juru Semangat

27 Desember 2012   23:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:56 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang ini berteman baik selama beberapa tahun berikutnya.

**

Pertemanan yang hangat. Tapi justru ini yang membuat Saidi kembali sedih. Semua bayangannya tentang seorang juru semangat, seorang pembawa masalah hidup dan semua cerita dari kalimat penghibur di antara keduanya seperti menggelayut pelan kemudian menghilang. Langit memang bisa saja runtuh untuk beberapa orang dalam sekejap, tapi kita tidak boleh kehilangan pijakan. Kalimat itu menjadi pegangannya bersama-sama beberapa kata penyemangat lain yang ia dapatkan dari seorang teman baik. Seorang juru semangat. Yang ia tak percaya ialah, bahwa roda itu terus berputar.

Malam ini, juru semangat itu berdiri di tepian Gedung Wisma Nusantara. Berdoa agar angin berpihak pada mereka.

Kedua topeng itu terbuka.

Firdaus membuka kembali matanya dan merasakan bahwa kengerian dari gambaran dirinya yang jatuh dari tapian gedung itu tak sepenuhnya menyenangkan. Mengejutkan, malah. Ia tiba-tiba merasakan kepalanya pening ketika membayangkan tubuhnya terpental dan jatuh bersimbah darah dengan kepala pecah. Ia merasakan ngilu di semua badannya ketika membayangkan bunyi belasan tulang yang patah. Ia bergetar, ketika membayangkan jeritan istrinya yang tak tertahan melihat dari ketinggian 30 lantai. Semua bayangan itu berganti-ganti, sampai akhirnya ia sadar ia masih merasakan angin di daun telinganya.

“Firdaus, turunlah.” Saidi kembali membujuk. “Lihat istrimu.” Laki-laki itu memegang lengan seorang perempuan berjaket hitam tebal. Perempuan itu menangis dengan matanya yang sembab meski kata-katanya tak keluar.

“Kalian mungkin saling tidak cinta lagi dan di ambang perceraian, tapi bukankah ini bukan akhir, Firdaus? Bukankah … kau selalu bilang bahwa roda hidup pasti berputar, dan semuanya soal menuai apa yang ditanam? Kita punya kesamaan soal siklus …”

“Aku tahu persis soal siklus hidup, Saidi!”

Firdaus membalik badan dengan amarahnya yang mendadak. “Aku tahu … siklus hidup akan membawa setiap orang pada keseimbangan garis Tuhan. Aku tahu itu, aku bahkan tahu, bahwa takdir kebersamaan aku dan Risma berakhir di atap gedung ini. Tak semua yang kau dengar dari seorang juru semangat itu benar, kawan. Tak semua juru semangat menyingkirkan kesedihan jauh di kedalaman sumur yang tersembunyi.”

Angin berhembus melengkung dan menghilang di tengah-tengah puncak gedung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun