“Lo, mengapa? Bukannya tugas Anda adalah menyemangati orang? Pekerjaan Anda seperti di spanduk-spanduk itu, seorang juru semangat kan? Untuk siapa saja, untuk masalah apa saja.”
“Itu benar.”
“Lalu mengapa tidak mau membantu saya untuk masalah-masalah saya?”
Firdaus tak langsung membalas melainkan menggelengkan kepalanya beberapa jenak.
“Anda harus menghadapi masalah ini sendirian, Pak Saidi. Anda telah banyak berbuat buruk di masa lalu, dan Anda harus membayarnya di hari-hari ini. Anda menanam duri dan hari ini Anda akan menuainya. Tugas saya tidak akan bisa lebih jauh daripada menemani Anda mengambil tindakan tepat, semata-mata agar Anda tidak terjebak lebih buruk. Pada dasarnya, semua orang punya kesamaan.”
“Kalau begitu tolong bantu saya untuk melalui ini, Pak.”
Keheningan menyergap lagi seisi ruangan itu saat Firdaus seperti meraba-raba pikirannya sendiri.
“Soal permintaan Anda, akan saya kabari dalam tiga hari ini.”
Saidi berterima kasih dan mereka berpisah malam itu. Tiga hari kemudian Saidi mendapat kabar baik bahwa masalah-masalahnya akan ditangani atas bantuan juru semangat itu.
Tiga bulan pendampingan intensif membuat Saidi merasa sedikit tercerahkan. Ia mendapat petunjuk-petunjuk teknis tentang bagaimana menghadapi para pengutang yang marah, berbicara pada anaknya bahkan melakukan kontak kembali dengan istrinya. Firdaus memberi cara untuk melihat masa depan dengan mata tertutup, menentukan jalan hidup yang diinginkan sama seperti menebak garis Tuhan untuk diri kita. “Anda akan mengetahui masa depan jika terus-menerus memikirkannya.” Kehidupan mantan pengusaha besar itu perlahan-lahan kembali terisi dengan udara hangat yang turun di malam hari dan udara sejuk di tengah hari. Laki-laki enampuluh itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada juru semangatnya. Tapi Firdaus juga beberapa kali hanya mengucapkan kalimat yang sama.
“Pada dasarnya semua manusia punya kesamaan, Pak Saidi. Keputusan-keputusan Anda sendiri yang memengaruhi jalan hidup Anda.”