“Selama beberapa tahun ini aku menganggap diriku orang yang paling beruntung di dunia. Punya semangat, kehidupan yang mapan, teman yang peduli.” Firdaus menangis dan mengangkat telapak tangannya mengarah ke Saidi. “Tapi ada hal-hal … yang bahkan bagian paling bersemangat dari dirimu sendiri pun tak bisa kendalikan.” Firdaus kembali menggerakkan kakinya mendekati pinggiran atap. “Hal-hal tentang perasaan cinta, tentang pertanyaan-pertanyaan kritis mengapa kau jadi orang yang paling dipercaya oleh banyak orang. Aku mencintai perempuan ini tanpa bisa lagi menebak apakah ia mencintaiku atau tidak. Tidak mudah, ketika kau mendapat sedikit masalah kemudian orang-orang menjadi tidak percaya lagi padamu. Kau tahu, itu bagian tersulit dari menjadi seorang juru semangat.”
Saidi merenungi kata-kata itu. Dan saat semua orang bersiap untuk sesuatu yang mengerikan, dan saat kamera-kamera menyala untuk rekaman terbaik, momen itu berakhir.
**
Februari 1980.
Saidi membuka warungnya dan memungut surat kabar langganannya dari pinggir jalan. Ia baca berita itu, menggeleng kemudian tersenyum. Nampaknya, teman lama yang paling berkesan di ingatannya, kini telah menemukan kehidupannya yang baru. Tidak bersama wanita yang dicintai, tapi puluhan orang lain yang memutuskan untuk melanjutkan hidup.
* Ilustrasi: bukitbarisan.wordpress.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H