Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dua Perempuan

19 Desember 2012   02:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lukman Baihaki, nama laki-laki itu. Ada satu nama lagi perempuan, saya lupa. Ibu saya bercerita, konon di awal kedatangannya, Bu Laksmi tiba-tiba bingung karena tak tahu bagaimana mengembalikan selembar sapu tangan pada saudagar yang menjatuhkannya dari mobil. Menurutnya, sapu tangan itu pasti berarti bagi saudagar itu, karena dua nama itu disulam berdekatan. Mungkin, Lukman dan istrinya. Atau kekasihnya. Nah, Bu Laksmi, mulai hari itu, akhirnya duduk di bangku itu, berharap Lukman ini lewat lagi dengan mobilnya seberangkat atau sepulang kerja. Tapi ... setelah berpuluh tahun, tak pernah ada yang mencari sapu tangan itu."

Orang lalu lalang di pasar itu, ramai dengan perdebatan mereka soal harga dan tanah yang becek. Davina sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin, seorang perempuan rela menunggu hingga duapuluh sekian tahun demi selembar sapu tangan.

"Bu Laksmi pernah bilang, ia tidak akan berhenti menunggu pemilik sapu tangan itu sampai mati, atau sampai orangnya kembali. Perempuan itu seperti paham sekali apa artinya kehilangan."

"Saya yakin itu. Tapi maaf, apa Bu Laksmi tak punya keluarga?"

"Punya. Tapi anak-anaknya sepertinya sudah rela membiarkan ibu mereka melakukan kebaikan yang bagi mereka terdengar sebagai kegilaan hidup. Baru lima tahun terakhir ini anak-anak mereka pengerti. Membawakan nasi kotak setiap pagi secara bergantian, kadang membawakan cucu-cucu dan baju hangat baru. Mereka sudah tinggal jauh dari sini dan Bu Laksmi sebatang kara. Ia hanya punya kami di pasar ini sebagai keluarga barunya."

"Suaminya?"

"Meninggal jatuh dari atap sebulan setelah mereka menyambut anak ketiganya."

Davina menghubungkan setiap pesan yang ia dengar dari penjelasan itu. Tentang Cut Hajra, tentang keluarganya, tentang sapu tangan itu, tentanga pasar ini, terlebih lagi ... tentang dirinya sendiri. Ia merasa nasib dirinya dan Cut Hajra sejatinya sama. Mengharapkan seorang laki-laki untuk kembali pada garis waktu yang tak benar-benar pasti. Bedanya, Cut Hajra menahan masa lalu sementara dirinya berusaha membuat garis hidup yang baru.

Davina tiba-tiba cemas apa yang terjadi pada Cut Hajra. Pedagang itu sudah kembali pada kesibukannya setelah mengutarakan kekhawatiran yang sama bahwa Bu Laksmi tak lagi menunggu di bangkunya. Sebagian ibu-ibu pedagang berceloteh bahwa mungkin ia sudah mendapatkan Lukman Baihaki. Sebagian lain khawatir terjadi apa-apa pada perempuan tua itu. Seorang utusan kemudian dikirim memeriksa rumah Bu Laksmi.

Davina memutuskan ikut. Rumah itu cukup besar untuk didiami sendiri. Dindingnya kayu dan atapnya dari genteng tua. Beberapa pedagang sayur yang ikut memeriksa dengan was-was lalu mengelus dada dan sebagiannya menangis. Sepucuk surat terselip di daun pintu itu membawa pesan terima kasih untuk puluhan tahun berarti.

Perempuan itu menemukan laki-lakinya. Dan mungkin, sapu tangan itu menemukan rumahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun